UAS: Catatan bagi Para Penceramah

A man gives speech in front of thousand audiences
18 August 2019

IYA, ini jelas ada hubungannya dengan UAS yang itu, kok.

Dorongan menulis tentang ini berawal dari sebuah pertanyaan sederhana: “Buddha pernah bilang sesuatu, enggak, sih, ngasitau gimana seharusnya seseorang berbicara? Atau, ya, semacam guideline ketika memaparkan Dhamma, berceramah?

Pertanyaan ini memang dilontarkan dan dibahas secara internal di antara sesama Buddhis, lantaran dipicu beredarnya video tanya jawab majelis kajian Ustaz Abdul Somad yang akrab disingkat UAS (diunggah ke Facebook 15 Agustus), hingga kemudian beliau resmi dilaporkan ke polisi 17 Agustus, kemarin.

Dalam hal ini, ada beberapa hal yang saya yakini terjadi secara universal.

  1. Setiap agama, sebagai sebuah institusi, pasti memiliki pakem atau tata cara dalam berbicara, baik sebagai aktivitas sosial maupun dalam pembabaran ajaran atau berkhotbah. Ada ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan; harus dihormati; harus dihindari; dan yang dianjurkan.
  2. Setiap orang, apalagi pembicara publik dalam label profesi apa pun, memiliki karakteristik dan gaya berkomunikasi masing-masing. Mereka pun umumnya mampu melakukan penyesuaian di berbagai lingkungan atau suasana. Bukan dengan mengganti isi yang akan disampaikan, tetapi gaya penyampaiannya.
  3. Ada sebagian orang yang gemar sekali berkelakar, ada pula yang cenderung gemar berolok-olok. Bedanya, kelakar dapat disampaikan secara terbuka kepada khalayak heterogen, sedangkan olok-olok yang sedemikian sensitif seringkali dicetuskan dalam lingkungan tertutup kepada khalayak homogen. Walaupun pada dasarnya, olok-olok tidak sepatutnya dikemukakan karena tidak berfaedah, bertujuan tiada lain daripada menghina, serta tidak berkontribusi apa-apa dalam narasi penjelasan yang tengah dibawakan.
  4. Di berbagai kasus, kelakar atau bahkan olok-olok digunakan untuk memantik tawa dalam sesi public speaking, menarik kembali perhatian penonton hingga akhir durasi.
  5. Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan figur pengkhotbah yang kerap memanfaatkan kelakar dan olok-olok tak hanya UAS seorang. Bisa jadi ada di seluruh agama, di Indonesia. Termasuk yang Buddhis.

Poin 1

Sebagai seorang Buddhis, saya mencoba menukil salah satu bagian mikro terkait hal ini (Aṅguttara Nikāya, 5.159 Udāyī). Yaitu, setidaknya ada lima kualitas internal yang harus ditegakkan seseorang sebelum berkhotbah atau memaparkan Dhamma.

  • Menyampaikan khotbah secara bertingkat,
  • Menyampaikan khotbah berisi alasan-alasan (di balik penjelasan),
  • Menyampaikan khotbah yang simpatik,
  • Menyampaikan khotbah bukan demi materi (dan perolehan-perolehan lainnya),
  • Menyampaikan khotbah yang tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Sekilas disimak, tidak ada yang teramat spesifik dari hal-hal di atas. Seseorang pun tak perlu menjadi Buddhis untuk menyadari bahwa lima kualitas internal tersebut sebaiknya diperhatikan sebelum menggegaskan sebuah pesan kepada orang banyak.

Penyampaian secara bertingkat berarti menyesuaikan bobot pesan dengan penerimanya. Jangan terlalu canggih, terlalu tinggi, terlalu sulit dijangkau tetapi tidak bisa dipahami orang lain. Lalu, jelaskan menggunakan alasan-alasan, agar yang disampaikan benar-benar riil, mengundang untuk dipikirkan lebih jauh, memahamkan. Sikap dan penyampaian yang simpatik menyentuh sisi manusiawi dalam berceramah, tujuannya pun untuk menanamkan pengertian, bukan menghakimi atau malah mendorong banyak orang melakukan keburukan, terlebih demi mengumpulkan donasi bagi pribadi dan popularitas. Terakhir, bijaklah dalam bersikap. Sampaikanlah sesuatu yang tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain, bukan terkait hinaan atau cercaan, melainkan situasi yang terjadi. Tentu ini baru aspek sederhananya saja.

Mengingat hal-hal di atas bersifat universal dan tidak ekslusif milik Buddha dan umat Buddha semata, mari kita exercise sejenak. Merujuk pada video tanya jawab UAS, hal-hal mana saja yang terpenuhi dan tidak?

Poin 2

Para pemuka agama sejatinya adalah public speaker, sekaligus marketer. Tatkala berceramah, tentu ada tujuan yang ingin dicapai. Kala menjelaskan sesuatu, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan praktis (berkaitan dengan kehidupan keseharian) dari perorangan, idealnya ada berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan. Jawaban bagi seseorang, belum tentu cocok disampaikan bagi orang lain. Asumsi yang dijatuhkan kepada kondisi seseorang, pastinya tidak patut ditimpakan kepada orang lain.

Belum lagi tidak ada yang bisa menjamin, jawaban yang disampaikan itu benar ataukah hanya akal-akalan. Ada ungkapannya dalam bahasa Inggris: “Think on your feet.” Direspons secepatnya, sebisanya. Bisa tergesa-gesa, dan jadi sebuah langkah gegabah.

Poin 3 & Poin 4

Banyak penyimak khotbah yang haus untuk dihibur. Ketika pengkhotbahnya lihai membuat tertawa, besar kemungkinan beliau akan terkenal setelahnya. Makin sering diundang, makin sering tampil, makin sering mendapatkan banyak hal.

Terkait itu, banyak juga narasi-narasi yang bisa bikin ketawa, termasuk olok-olok. Siapa pun yang terbiasa berpikir cepat, mampu melihat celah di balik sesuatu, pasti bisa berseloroh dengan lancarnya. Lihat saja para pelawak verbal yang terkenal di Indonesia dalam sepuluh tahun belakangan. Begitu cergasnya mereka melemparkan lelucon berupa olok-olok, yang membuat para penontonnya–kadang-kadang termasuk kita–ngakak luar biasa.

https://twitter.com/nickoakbar/status/1147842821002387458
Lelucon verbal yang spontan.

Dalam konteks perbincangan bertema keagamaan, bahan olok-olokan tersebar di semua agama dalam berbagai aspeknya. Yang sayangnya, justru malah atau sering diperparah oleh umat agama yang diperolok itu sendiri. Tidak mampu bersikap tenang dan menjadi reaktif, padahal olok-olok yang dilontarkan pada hakikatnya hanyalah omong kosong, sesuatu yang mengada-ada alias dusta, dan mestinya cukup diperlakukan tak ubahnya seorang balita yang menendang bola: Meleset lalu terpeleset sendiri. Jadi, kalau diolok-olok, senyumin aja, “balas” dengan sesuatu yang lebih elegan. Don’t get that low too, dan khusus bagi para Buddhis, amatilah apa pun gejolak batin yang muncul begitu mengindra (melihat, mendengar, mengingat) sebuah olok-olok. Lebih penting ketimbang turut hanyut dalam dangkal pikir seperti itu.

Yang pasti, dasar argumentasi dua agama saling invalid satu sama lain, tak akan bisa kompatibel, selalu selisih. Penjabaran dari UAS tidak berlaku dalam referensi Katolik (dan Kristen pada umumnya), begitu pula sebaliknya. Misalnya, kedua agama punya definisi “kafir” masing-masing, atau juga, apakah ada konsep “jin” dalam kekristenan?

Selain rekaman video UAS tadi, ambillah contoh lain… ah, tak usahlah saya tampilkan di sini. Daripada mesti berhadapan dengan orang-orang reaktif dari kedua belah pihak.

Nah, itu pula masalahnya. Ada penceramah, ada yang mendengar ceramah, ada yang dijadikan objek olok-olok dalam ceramah. Penceramah mengutarakan olok-olok yang merupakan ucapan minim faedah. Umat objek olok-olok dalam ceramah bisa memilih untuk tetap bersikap tenang, dan cukup membalas lewat senyuman. Sementara itu, jangan lupa ada yang mendengar ceramah dan mungkin ikut tertawa-tawa tentang olok-olok yang disampaikan. Manakala mereka menyerap informasi olok-olok tersebut begitu saja, siapa yang bisa menjamin mereka tidak akan meneruskan olok-olok tersebut di masyarakat, atau justru terang-terangan melontarkannya untuk menghina?

Poin 5

Di era jejak digital sekarang ini, tinggal cari atau tunggu saja unggahan video atau rekamannya. Hanya perkara apa yang disampaikan, dan apes atau tidak apesnya saja.

Namun, satu hal terkait ini yang perlu diperhatikan para pengkhotbah. Katakanlah, sepeninggalnya Anda nanti, dan yang tersisa hanyalah video-video ceramah, Anda ingin dikenal dan dikenang sebagai seseorang yang bagaimana?

Sejujurnya, ini merupakan salah satu alasan yang sempat membuat saya enggan mengisi, atau berbicara soal agama di depan banyak orang.

[]