Agama Anak Mesti Sama dengan Orang Tuanya?

Oil lamp in Chinese temple
28 June 2019
2

“AGAMA anak” dan “beda agama”. Seringnya menjadi mimpi buruk paling mengerikan bagi para orang tua konservatif, ketika kedua frasa ini berada dalam satu kalimat yang sama.

Sebuah kewajiban, setiap orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Meliputi pemenuhan kebutuhan dasar demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup–sandang, pangan, papan–termasuk juga pendidikan, maupun segala hal yang memampukan sang anak hidup mandiri, terpuji, dan berbudi di dalam masyarakat.

Agama, menurut kebanyakan orang, adalah salah satunya. Dijadikan prinsip yang ditanamkan dan diindoktrinasi, berharap sang anak bisa tumbuh menjadi orang baik; orang saleh; seseorang yang “lurus” hidupnya; seseorang yang memiliki kualitas religius dan membanggakan komunitas keagamaan tersebut; hingga pada akhirnya–entah siapa tahu–bisa masuk surga.

Agama-agama pada umumnya bersifat ekslusif: “Hanya ini yang benar. Selain ini, salah!” Oleh karena itu, salah satu syarat agar anak-anak kita tetap berada di jalan yang benar adalah menjaga mereka jangan sampai berpindah agama.

Benarkah demikian?

Ada dua sudut pandang yang saya tawarkan di sini: (1) Perspektif para orang tua sebagai umat sebuah agama, dan (2) Perspektif agama sebagai sebuah institusi.

Iya. Agama ialah sebuah institusi, sebuah lembaga, yang seiring perjalanan waktu dibentuk serta dikelola oleh para manusia … atas nama tuhan.

Perspektif 1: Orang tua sebagai umat sebuah agama

Telah menjadi anggapan umum bahwa anak-anak adalah pengirim doa kepada arwah mendiang orang tuanya setelah meninggal. Anggapan umum berikutnya, doa harus dipanjatkan dan disampaikan dengan cara atau metode yang sesuai supaya nyampe. Cara atau metode inilah yang diperoleh dari ajaran agama. Supaya kompatibel, agamanya harus sama. Supaya doanya tidak nyasar.

Lagi, benarkah demikian?

Kesamaan metode berarti kesamaan agama. Tanpa kompatibilitas seperti ini, mustahil doa-doa yang dipanjatkan bakal diterima. Tuhannya saja berbeda, kan? 😅

Dalam sejumlah agama, malah diajarkan apabila anak berbeda agama dengan orang tuanya, maka para orang tua akan mendapatkan keadaan yang sengsara di alam kubur sana. Menjadi semacam siksaan pra akhirat. Pandangan yang biasanya dimiliki oleh agama-agama samawi. Mereka dianggap gagal sebagai orang tua.

Penjelasan semacam di atas telah diterima umum, serta dianggap sebagai kebenaran yang lazim. Karena itu hampir semua orang tua di Indonesia mengagamakan anak-anak mereka sejak baru lahir, membesarkan mereka dengan indoktrinasi agama, memasukkan mereka ke sekolah-sekolah agama yang sama, dan seterusnya. Pokoknya, anak-anak harus beragama sama seperti orang tuanya.

Sebisa mungkin juga para orang tua “melindungi” anak-anak mereka dari “pengaruh” atau paparan agama lain, entah apa pun mereka menyebutnya (misal: tipu daya iblis, kuasa gelap, dan lain-lain). Termasuk yang kian marak akhir-akhir ini; membatasi serta melarang anak-anak mereka bergaul dengan anak-anak yang beragama lain.

Fokus pada pemilih opsi kedua dan keempat. Setidaknya ada lebih dari seribu orang yang tidak pernah dan tidak mau punya teman dekat berbeda agama, atau yang pernah punya tetapi sudah tidak lagi.

Apakah tindakan para orang tua tersebut salah? Tentu saja tidak. Bagi para orang tua itu, agama merekalah yang paling benar. Titik. Sehingga membesarkan anak-anak mereka sesuai “satu-satunya” ajaran agama yang benar merupakan sebuah keniscayaan. Harga mati tak bisa ditawar-tawar lagi. Lagipula hanya ajaran agama itu saja yang mereka pahami, tidak ada lainnya. Bakal menjadi sebuah keanehan sosial, saat sepasang orang tua beragama A membesarkan anak-anaknya dengan ajaran agama B.


Ada sebuah pengecualian di Indonesia, utamanya pada keluarga-keluarga Tionghoa. Para orang tua yang menjalankan kepercayaan tradisional—yang kerap mereka sebut sebagai “agama Khonghucu” padahal berbeda dengan Khonghucu yang baru saja diresmikan sebagai agama keenam—membesarkan anak-anak mereka dengan ajaran tradisi warisan, tanpa penjelasan keagamaan yang memadai. Sembahyang di meja altar, hayuk. Sembahyang di kelenteng juga oke.

Saat menginjak usia sekolah, anak-anak tersebut banyak yang dikirimkan ke sekolah Kristen maupun Katolik. Berkat paparan ilmu dan pemahaman agama yang intensif, tak mustahil beberapa dari mereka pun berpindah agama.

Bagaimana para orang tua Tionghoa Indonesia menyikapi perpindahan agama yang dilakukan oleh anak-anak mereka? Ada yang gusar dan tidak terima, tetapi banyak juga yang biasa-biasa saja.

Masalah baru muncul ketika anak-anak mereka yang menjadi umat gereja konservatif dan/atau karismatik, mati-matian menolak menjalankan tradisi Tionghoa. Sebagai jemaat denominasi gereja tersebut, semua ritual tradisional Tionghoa dianggap sesat.

A girl performing Chinese offering ritual for deceased ancestor in front of a cemetery.
Sembahyang (di) kuburan, salah satu tradisi Tionghoa setiap tahun yang semestinya bisa dijalankan tanpa sekat agama. Kecuali, jika terang-terangan dilarang oleh ajaran-ajaran agama lain.

Berbeda dengan umat Katolik, mereka (yang Kristen karismatik) tidak boleh memegang hio, tidak boleh memasak-menyantap makanan bekas sajian di altar, dan menuding patung-patung dewata Tionghoa dilingkupi muslihat setan. Berbarengan dengan itu, mereka pun berusaha keras untuk mengajak orang tua untuk turut berpindah agama. Meninggalkan semua praktik-praktik purba dan primitif.

Bagi para anak-anak tersebut, keberhasilan mengubah agama kedua orang tua mereka tentu memiliki nilai ibadah. Hanya saja saking obsesifnya mengejar nilai ibadah itu, tidak jarang suasananya tak mengenakkan. Misalnya, para orang tua didesak berpindah agama justru menjelang masa-masa kematiannya. Deathbed conversion semacam ini merupakan kisah biasa di kalangan warga Tionghoa Indonesia. Ketika sang orang tua sudah dalam keadaan setengah sadar di tempat tidur, anaknya terus meminta agar calon mendiang menerima agama baru. Peristiwa ini bisa menimbulkan perselisihan di antara saudara. Baik saudara si anak, maupun saudara si mendiang.


Beragama, dan bisa menjalankan kehidupan keagamaan sesuai preferensi masing-masing tentu merupakan salah satu hak asasi manusia. Namun, konsep ini baru benar-benar dipahami, dan dijalankan secara menyeluruh oleh orang dewasa. Lalu, apa yang terjadi pada anak-anak? Pengagamaan anak, ya, kurang lebih pemaksaan agama. 😅

Si anak belum memiliki kuasa untuk memilih agamanya sendiri, tetapi harus dibuat tunduk pada kehendak/keinginan orang tuanya. Pastinya tanpa informasi yang berimbang, bahkan bias referensi. Membuat sang anak tumbuh dengan anggapan-anggapan yang bisa menjadi stigma dan stereotip terhadap penganut agama lain.

Sebuah ilustrasi. Melihat tayangan berita tentang perayaan Vesak, seorang anak bertanya kepada orang tuanya.

Anak: “Ma, kenapa orang-orang itu kok sujud ke depan patung?
Ibu: “Mereka lagi sembahyang.
Anak: “Kok cara sembahyangnya beda dengan kita?
Ibu: “Iya, karena agama mereka tidak sama dengan kita.
Anak: “Kok agama mereka lain? Tuhan mereka beda juga? Berarti mereka berdosa, dong, Ma?

Pertanyaan si anak tidak akan berakhir sampai di situ. Itu pun akan sangat bergantung pada jawaban dan penjelasan yang disampaikan, serta cara penyampaiannya. Meskipun berstatus orang tua, tak semua orang tua memiliki ketenangan dan kebijaksanaan yang sama terkait ini. Belum lagi jika si anak sudah mendapatkan pelajaran agama sejak usia dini, terutama di jenjang-jenjang informal. Proses berpikir berlangsung dalam benak si anak kendati masih amat terbatas, terutama mengenai apa yang diterimanya selama ini dan yang sedang dia hadapi.

Jangan lupa, si anak akan tumbuh dewasa. Kemampuannya berpikir, mempertimbangkan, dan memutuskan sesuatu juga bakal berubah. Akses informasi dan ruang interaksi akan banyak terbuka, dan akan ada lebih banyak orang dengan beragam latar belakang yang mereka temui.

Kita ubah pertanyaannya, bagi Anda para orang tua. Bagaimana jika anak Anda memutuskan berpindah agama?

Perspektif 2: Agama sebagai sebuah institusi

Regenerasi umat; demi keberlangsungan dan kesinambungan sebuah institusi/lembaga/organisasi/komunitas agama.

Ada masanya, yang tua harus digantikan oleh yang muda. Baik sebagai pemimpin dan tenaga pelaksana, sebagai penyokong sumber daya (baca: donatur), juga sebagai umat atau massa.

Tanpa regenerasi umat, tempat ibadah akan makin sepi, makin minim kegiatan, makin minim sumber daya, makin kesulitan untuk begini dan begitu.

Jadi, anak-anak mesti ikut agama orang tuanya barangkali lantaran alasan-alasan praktis semata (menghindari sakit hati dan rasa malu, menghindari neraka, menumbuhkan rasa bangga, serta mempertahankan eksistensi bersama).

Barangkali…

[]