Waisak dan Kegelisahan Buddhis Jawa

Waisak 2008, Samarinda
29 May 2018

APA hubungannya antara Waisak—hari raya utama agama Buddha—dengan kegelisahan sekelompok penganutnya yang Jawa? Waisak Jawa? Bukankah hari raya sepatutnya diwarnai dengan perayaan; penuh kegembiraan dan sukacita?

Justru itu! Perayaan Waisak ala Indonesialah yang terkesan memicu kegelisahan tersebut. Setidaknya demikian, berdasarkan interaksi serta observasi pribadi sebagai seorang Buddhis sejauh ini. Masih sangat memungkinkan untuk ditambah dan disanggah.

Perayaan ala Indonesia

Waisak, atau Vesak (yang asal katanya diambil dari Vaisakha, nama salah satu bulan dalam penanggalan India), tidak dirayakan sebagaimana lazimnya hari raya-hari raya agama lain di Indonesia. Alih-alih diposisikan sebagai sebuah festival, Vesak lebih merupakan peringatan. Momen tahunan bagi seorang Buddhis; murid Buddha; orang-orang yang melatih diri dengan ajaran Buddhisme untuk kembali menghayati peristiwa-peristiwa penting, dan merefleksikannya ke dalam batin.

Dibanding perayaan hari-hari besar utama lainnya di Indonesia: Idulfitri dan Iduladha, Natal, maupun Nyepi, tidak ada jamuan dan hidangan di hari Vesak. Apalagi soal baju baru, renovasi maupun bersih-bersih rumah secara total, atau anjangsana khusus secara beramai-ramai. Juga berbeda dengan perayaan Vesak di negara-negara Buddhis, seperti Thailand, Myanmar, Kamboja, Sri Lanka, bahkan Jepang, Korea Selatan, Tibet, juga Bhutan.

Yang lazimnya dilakukan umat Buddha Indonesia saat Vesak ialah mendatangi vihara, melaksanakan puja dan bakti, dengan puncaknya menjelang Detik-detik Vesak yang jatuh pada waktu berbeda setiap tahun sesuai perhitungan astronomi. Yakni titik puncak purnama yang berlangsung dalam rentang bulan Vaisakha (antara April-Mei). Datangnya tidak tentu. Bisa pagi, siang, sore, malam, dini hari, bahkan subuh.

Sayangnya, selain informasi bahwa Vesak diresmikan sebagai hari libur nasional mulai 19 Januari 1983 melalui Keppres nomor 3 tahun 1983, saya lupa detailnya dan belum berhasil menemukan referensi lebih lanjut tentang sejarah tata laksana Vesak di Indonesia. Sebab Buddhisme formal (terlepas dari kepercayaan tradisional Tionghoa maupun Jawa) baru dibangkitkan kembali di Indonesia pada 1955. In addition to this, Vesak sendiri baru benar-benar diresmikan sebagai hari besar Buddhisme dalam konferensi pertama World Fellowship of Buddhists (WFB) di Sri Lanka lima tahun sebelumnya, 1950.

https://www.instagram.com/p/3c4tBSKbsj/

(Suasana meditasi Detik-detik Vesak di Vihara Muladharma, Samarinda, 2015 lalu.)

Buddhis Jawa

Dalam konteks ini, Buddhis Jawa bukan semata-mata umat Buddha yang tinggal di pulau Jawa, melainkan umat Buddha beretnis Jawa, atau non-Tionghoa. Warga Jawa yang beragama Buddha memiliki kondisi khusus. Tidak sedikit keluarga dan dusun di Jawa Tengah maupun Jawa Timur yang didominasi pemeluk agama Buddha secara turun-temurun, bukan karena perpindahan kepercayaan.

Telah menjadi sebuah anggapan keliru di Indonesia, terlebih di luar pulau Jawa, bahwa umat Buddha pasti warga Tionghoa. Sehingga akan memunculkan sebuah keheranan, tak terkecuali pada orang-orang Tionghoa sendiri, ketika menemukan Buddhis dari etnis berbeda.

Buddhist on the early 70's in Samarinda.
Aktivitas puja bakti di Vihara Ekayana, Samarinda di era 70-an. Ketika itu, Buddhisme formal baru tumbuh di Samarinda, dan umatnya tidak hanya warga Tionghoa.

Laku spiritual yang mereka (Buddhis Jawa) jalankan memiliki akar yang sama dengan Buddhisme, tetapi tidak terorganisasi secara kelembagaan sampai kemudian bersentuhan dengan komunitas Buddhis formal di kota, atau mendapat perhatian khusus dari Pembina Masyarakat (Pembimas) Buddha Kementerian Agama (Kemenag) sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Tanpa informasi yang memadai dan nihilnya pembinaan, praktik keagamaan mereka dianggap tak ubahnya peninggalan animisme-dinamisme-mistisisme dari era kerajaan-kerajaan kuno.

Seiring berjalannya waktu, ada kelompok warga yang tetap menjalankan Buddhisme samar tersebut sebagai tradisi nenek moyang, dan turut dibawanya ke mana pun—termasuk saat mereka menjalani transmigrasi ke Kalimantan, Sumatera, maupun Sulawesi. Selebihnya, ada yang memilih berganti agama. Baik demi perkara administrasi kependudukan atau pun sepenuhnya beralih keyakinan.

Di Palaran, salah satu daerah pinggiran kota Samarinda, seorang kawan bercerita pernah melihat sebuah bangunan yang sudah ditinggalkan dan tak terurus. Papan namanya masih ada, dengan kata pertama: “Vihara …” Saya kaget, karena tidak tahu sempat ada vihara di sana. 😓

Kegelisahan Buddhis Jawa

Saya menangkap kegelisahan itu dari interaksi dengan segelintir transmigran di Samarinda, beberapa tahun lalu.

Realitasnya, ada perbedaan besar antara hidup dalam komunitas homogen, dan setelah berpindah ke lingkup ruang yang lebih besar. Di kampung halaman, para Buddhis Jawa masih dapat berhimpun, melakukan aktivitas sosial keagamaan secara kolektif, dan saling membantu. Kalaupun ada yang berbeda agama, mereka cenderung bisa saling paham. Tak payah menjelaskan ulang.

Sementara di areal transmigrasi, mereka harus memulai membangun kembali kedekatan sosial dengan beragam individu dan rumah tangga. Bertemu dengan orang-orang beragama berbeda, yang mengernyitkan dahi melihat ritual asing itu. Bahkan dalam penyelenggaraan selamatan paling sederhana sekalipun, ada keengganan tertentu. Di titik paling ekstrem, pilihannya hanyalah bertahan dalam ketidaknyamanan (jangan lupa, perangkat daerah setempat turut punya andil), atau berpindah.

Kemeriahan Hari Raya

Sosiolog Émile Durkheim menyebut agama ada dalam dimensi sosial. Selaras dengan itu, perayaan hari besar bukan semata-mata peringatan terhadap sesuatu yang bernilai religius, sekaligus bentuk ekspresi keagamaan yang dilakukan secara komunal. Secara bersamaan, perayaan hari besar juga berpengaruh pada penguatan identitas individu sebagai bagian dari sebuah kumpulan.

Di sini letak masalahnya. Bagi Buddhis Tionghoa, Vesak tidak diposisikan sebagai perayaan utama. Kedudukan tersebut telah diisi oleh Tahun Baru Imlek. Penuh keriaan, makanan, interaksi, dan ekspose eksternal; kita menampilkan diri sebagai seseorang yang sedang merayakannya. Sedangkan bagi Buddhis Jawa, tiada perayaan besar lain yang bisa diperlakukan seperti ini, selain Vesak.

Teman (non Buddhis): Gon, jadi Waisak nanti ada open house di rumahmu, enggak?

Aku: Enggak ada open house-open house-an.

Teman: “Bah! Kayapa ikam inih, beharirayaan kah kada? Ikam Waisakan, kalo?
(Terjemahan: “Gimana sih, kamu? Berhari raya atau enggak, sih? Kamu Waisakan, kan?“)

Aku: “Iya, aku Waisakan. Cuma aku sorangan yang Buddha di rumah. Lainnya bukan.

Teman: “

Oleh sebab itu, sebagian kecil Buddhis Jawa di Samarinda merayakan Vesak sebagaimana lazimnya hari raya. Skalanya tidak besar, belum sampai menyelenggarakan pagelaran wayang kulit dan karawitan. Mereka saling berkunjung ke sesama keluarga Buddhis Jawa yang tinggal di kawasan berbeda; mempersiapkan kue-kue dan minuman ringan, bisa juga berupa pisang, ubi, singkong, kacang, jagung rebus, terkadang dibarengi tumpeng atau nasi kuning; anak-anak kecil dipakaikan baju baru dan didandani bedak wangi.

Seolah disampaikan: “Kan kami kepingin hari rayaan juga.

https://www.instagram.com/p/BjWnrK7gmV2/

(Posting-an Instagram di atas saya dapatkan secara acak, menggambarkan suasana kunjungan Vesak 2018 salah satu umat Buddha di Temanggung.)

Demikianlah cara mereka merespons kegelisahan eksistensial tersebut, yang dalam beberapa tahun belakangan mulai disambut sebagian umat lain. Di hari Vesak, rombongan pengurus dan simpatisan vihara berkeliling. Mereka bersilaturahmi ke berbagai wilayah pinggiran kota, dan biasanya diselipi agenda penyerahan tali kasih. Semua dilakukan di kota Samarinda dan sekitarnya. Entah kalau di kota atau provinsi lain.

Saya teringat ucapan Pak Maryono, Pembimas Buddha Kemenag Kanwil Kaltim beberapa tahun lalu, yang mengajak umat Buddha pada umumnya agar memasyarakatkan kegiatan semacam ini. Selain menambah kemeriahan suasana Vesak, mempererat hubungan sesama Buddhis, serta saling berbagi dan memerhatikan.

Sang Buddha memang tidak pernah meminta agar kelahiran, pencapaian pencerahan, dan wafatnya diperingati, apalagi dirayakan. Hanya saja, secara psikologis, barangkali tak ada kelirunya apabila ini dijadikan salah satu momen membahagiakan bagi siapa pun yang memerlukan.

Teruntuk teman-teman Buddhis yang istimewa, mereka yang tinggal, lahir, tumbuh dan besar sebagai transmigran di berbagai penjuru Indonesia, selamat Vesak, ya.

Semoga selalu berbahagia, dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan kondisi bahagia tersebut.

[]

Bagaimana dengan perayaan Vesak di Candi Borobudur? Ah, itu lain cerita. 😅