Thor: The Dark World

1 November 2013
1
source: youthvocal.com

SETELAH Loki (Tom Hiddleston) berhasil dikalahkan dan para anggota The Avengers lainnya kembali menjalani kehidupan mereka masing-masing, ternyata Thor (Chris Hemsworth) terus disibukkan dengan sejumlah pertempuran. Sementara itu, di London, Jane Foster (Natalie Portman) yang merasa telah ditinggalkan selama dua tahun, tanpa sengaja menemukan sebuah keanehan. Anomali fisika itu membuatnya berkontak dengan zat asing yang ternyata sudah ada sejak prapenciptaan semesta, dan memberikan dampak luar biasa.

Peristiwa ini mendorong Thor untuk kembali ke Midgard–Bumi–demi menjenguk sang pacar, sekaligus menjadi cerita pembuka “Thor: The Dark World” yang tayang sejak Rabu (30/10) lalu.

Karya besutan Alan Taylor ini menyajikan lanjutan kisah Sang Dewa Petir, dengan setting pascaperistiwa New York dalam “The Avengers”. Hanya saja, meskipun lawan utama Thor berbahaya bagi alam semesta, jangan harap personel The Avengers lainnya akan muncul untuk memberikan bantuan. Alih-alih ikut bertempur, penonton tetap akan bertemu dengan anggota geng pahlawan super lainnya dalam kapasitas yang sangat berbeda. Di sisi lain, sang sutradara mengembalikan susunan pemain dari “Thor” (2011), termasuk Odin (Anthony Hopkins), Erik Selvig (Stellan Skarsgård), Darcy (Kat Dennings), Heimdall (Idris Elba), Frigga (Rene Russo), juga kawan-kawan Thor, termasuk Sif (Jaimie Alexander) dengan subplot potensial. Tentu saja ditambah beberapa peran baru untuk mendukung cerita, yakni Malekith (Christopher Eccleston) dan pendampingnya Algrim (Adewale Akinnuoye-Agbaje), juga ada Ian (Jonathan Howard), serta Richard (Chris O’Dowd).

Secara garis besar, “Thor: The Dark World” kembali mengajak penonton untuk menyelami mitologi Skandinavia yang telah dimodifikasi menjadi cerita versi komik sebagai kerangka sumber plot. Ketika Borr, kakek dari Thor terlibat dalam pertempuran purba dengan bangsa Peri Kegelapan yang diperkenalkan lengkap dengan semua karakteristiknya. Melalui siklus per-5.000 tahun, upaya balas dendam bisa kembali dilancarkan. Klisenya, Jane menjadi kunci penghubung simpul peristiwa tersebut, sehingga membuat Thor harus berhadapan dengan Malekith dan pasukannya. Walaupun pada dasarnya, para penonton bisa dengan mudah menebak bahwa sang tokoh protagonis lah yang jadi pemenang di akhir cerita. Untung saja, eksekusinya cerdas dan tidak melulu berpusat pada Thor. Tidak meninggalkan kesan seperti duel antardewa saja.

Sejumlah twist juga dihadirkan di beberapa bagian cerita. Sayangnya, tidak semua ditampilkan secara tuntas, maupun dilengkapi dengan petunjuk yang mampu membuat penonton berhasil menarik kesimpulan. Beberapa di antaranya terkait Loki, Frigga, maupun Heimdall. Risikonya, ekspektasi penonton terhadap lanjutan kisah Thor, terlalu samar untuk terwujud menjadi antusiasme. Bahkan adegan tambahan pertama pada awal credits title (yang terkesan beda kelas dengan tayangan utama film) juga terasa kurang mampu mendongkraknya.

source: timsfilmreview.com

Sementara itu, sebagai sequel, “Thor: The Dark World” sukses menampilkan karakter utama yang jauh lebih matang dibandingkan film pertamanya. Berbekal pengalaman tampil sebagai sang dewa petir dalam dua judul film sebelumnya, Chris Hemsworth pun mampu tampil lebih natural dan santai. Lalu, dengan peran yang jangkauannya lebih luas sesuai perkembangan plot, Natalie Portman mendapatkan kesempatan tampil tak sekadar sebagai ilmuwan, pacar tokoh utama, maupun manusia Bumi pada umumnya.

Kendati hanya menjadi peran pelengkap, Kat Dennings, Stellan Skarsgård, dan Jonathan Howard ternyata sangat menyegarkan suasana. Mereka mampu membuat seisi bioskop tertawa atas peran mereka sendiri. Ditambah sejumlah penampilan cameo khas film-film Marvel, termasuk dari si empunya cerita sendiri, Stan Lee.

Secara konsisten, Tom Hiddleston tetap tampil lebih unggul dibandingkan bintang lainnya. Pengalamannya tampil di “Thor” dan “The Avengers” benar-benar memperkaya penjiwaannya dalam “Thor: The Dark World”. Tom tetap mampu menampilkan figur Loki yang licik dan bebas dari rasa puas, tapi seiring berjalannya cerita, ia berhasil menunjukkan ego yang rapuh dari tokoh yang diperankan.

Dari sisi efek visual, kemampuan film ini memanjakan mata memang tak perlu diragukan lagi. Baik untuk adegan pertempuran, maupun yang bukan. Hanya saja, jangan repot-repot untuk menontonnya dalam format 3D. Karena pop-up effect-nya tidak terlalu istimewa, bahkan boleh disebut tanggung, meskipun bila Anda duduk di posisi yang sempurna terhadap layar.

Terakhir, sebagai bonus, penonton tidak hanya mendapatkan satu adegan tambahan pada pertengahan credits title. Selain satu adegan yang sudah saya sebutkan sebelumnya, ada satu adegan lagi yang menjadi penutup cerita.

[]