Babi Buta yang Ingin Terbang

318
views

MEMANG tidak banyak bioskop di Samarinda.

Sejauh ini, baru ada satu areal 21 dengan empat ruangan, dua areal XXI dengan total sepuluh ruangan, dan satu Premiere.

Meski jumlahnya tidak terlalu banyak, namun setidaknya masih lebih baik ketimbang kondisi di beberapa kota lain, yang bahkan tidak punya bioskop sama sekali.

Semua layar bioskop tersebut tentu didedikasikan untuk judul-judul film komersial, yang bisa diterima pasar dengan mudah dan berpotensi digandrungi sebagai bagian dari mekanisme bisnis reguler. Dengan demikian, jejeran film-film level festival pun nyaris tidak mendapat ruang di kota ini, kecuali setelah meledak karena meraih penghargaan tertentu maupun beberapa kondisi potensial lainnya. Itu pun kadang dengan perlakuan sekadarnya. Sebagai contoh, “Siti” yang merupakan film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2015 tidak singgah tayang di Samarinda. “Copy of My Mind” sempat diputar dan bertahan selama beberapa hari, tetapi hanya kebagian ruangan studio paling kecil. Apalagi film lain, semisal “Selamat Pagi, Malam” yang tidak pernah ditayangkan di sini, padahal–setelah ditonton sendiri awal Februari lalu–karya garapan Lucky Kuswandi ini benar-benar memberikan kesan tersendiri.

Oleh sebab itu, apresiasi tinggi patut diberikan kepada panitia Festival Film Samarinda (FFSMR) 2016 dengan serangkaian agenda. Salah satunya ialah pemutaran mingguan karya kelas indie; film-film yang–baru enam judul sejauh ini–ibarat gudangnya simbolisasi. Perlu mengerahkan perhatian, pemikiran, penafsiran tambahan saat menontonnya. Ada yang sangat memikat dan menghangatkan hati, ada yang membosankan dan menyisakan ketidakjelasan, ada pula yang saking artsy dan absurdnya sampai mampu melekat dalam pikiran dalam rentang waktu cukup lama.

Secara pribadi, kesempatan ini merupakan pengalaman pertama menonton film-film dari ranah yang asing sebelumnya. Karena itu, sebagai seorang pengulas amatiran, ada tantangan tersendiri. Termasuk soal begitu susahnya untuk tidak terkesan sok pintar, sok dalam dan pretentious (Hahaha!) dalam berpendapat serta membagi pengalaman menonton kepada orang lain. Well, I mean, please regard this as a disclaimer. 🙂

Seperti yang berikut ini, catatan kesan setelah menyaksikan “Babi Buta yang Ingin Terbang” dalam weekly screening, Rabu (2/3) lewat. Boleh dibilang, ini kali pertama “Babi Buta yang Ingin Terbang” ditayangkan di Samarinda, delapan tahun sejak rilisnya.

Cahyono kecil (Darren Baharrizki), mirip sinyo Surabaya. Bercita-cita ingin jadi apa saja, asal bukan orang Cina. Entah siapanya yang orang Manado.

Linda kecil (Clairine Baharrizki), si nonik. Berhenti memanggil kakeknya dengan sebutan Kong-kong, melainkan opa.

Verawati (Elizabeth Maria), mantan atlet bulutangkis, mamanya Linda. Asyik membungkus pangsit mentah sambil mengenakan kostum bertanding.

Source: insideindonesia.org

Halim (Pong Hardjatmo), dokter gigi yang selalu memakai kacamata ala Stevie Wonder, suami Vera. Mendadak mau masuk Islam, kemudian menikah lagi.

Linda besar (Ladya Cheryl), hobi mainan mercon.

Cahyono besar (Carlo Genta), selalu pakai seragam tim sofbol Jepang.

Helmi (Wicaksono), punya rumah besar lengkap dengan kolam renang, dan Yahya (Joko Anwar), egosexually insecure.

Kong-kong (Suwigno Pratikno, kalau ndak salah), hobi main biliar Carom. Dikremasi.

Pedagang Cakwe di Jembatan Merah Surabaya. Tetap ada di sana setelah reformasi.

Babi kecil, terikat pada sebatang kayu, di padang savana Bromo. Berhasil lepas dan pergi.

Demikianlah “Babi Buta yang Ingin Terbang”. Pilinan peristiwa-peristiwa yang berkutat pada kecinaan sebuah keluarga Tionghoa. Ada yang ditunjukkan secara gamblang, namun banyak juga yang disampaikan secara tersirat, termasuk dalam satu adegan yang dirasa cukup mengganggu dan bikin film ini jelas saja tidak bisa edar/tayang secara umum. Akan tetapi, adegan itu juga yang justru menjadi salah satu puncak simbolisasi kegelisahan sebagai pesan utama, ketika marginalisasi memberi efek psikis yang sama dengan pelucutan harga diri.

Sebagai penonton, tak perlu berdarah Tionghoa atau pernah mengalami sendiri “sakitnya” tekanan sosial sebelum era reformasi, untuk bisa nyambung dengan kegetiran dalam film ini.

“Babi Buta yang Ingin Terbang” sendiri adalah judul kedua pilihan panitia FFSMR 2016 yang mengangkat pergulatan sosial orang Tionghoa Indonesia pra 1998 sebagai napas utama. Sebelumnya, ada “The Fox Exploits The Tiger’s Might” karya Lucky Kuswandi. Keduanya sama-sama menyuguhkan rentetan simbolisasi bertema senada, dengan salah satu di antaranya yang sungguh-sungguh banal lantaran menggunakan seksualitas sebagai saputnya.

Sepekan sebelum film ini tayang, weekly screening FFSMR 2016 menghadirkan karya Edwin yang lain: “Someone’s Wife in The Boat of Someone’s Husband” (yang terasa seperti dokumentasi liburan, penuh gambar-gambar cantik, dan sejumlah simbolisasi juga). Setelah menyaksikan keduanya, penonton seakan mulai bisa meraba ciri khas penggarapan Edwin.

Seperti apa? Ya yang begitu itu. Belum bisa mengelaborasi sekomprehensif dan semendalam Cinema Poetica. 😀

[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five × 3 =