Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

22 December 2013

SEBUAH eksperimen berani, mengangkat kisah dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” menjadi film dengan pendekatan kontemporer. Ternyata, efek pukaunya sama. Bahkan mampu meninggalkan kesan yang tak biasa.

Tayang perdana Kamis (19/12) lalu, film ini langsung disambut dengan rasa penasaran berbagai kalangan usia. Ruang bioskop hampir penuh (tersisa dua kursi pada saat itu), baik oleh mereka yang pernah membaca kisah aslinya, atau yang sekadar ingin menyaksikan penampilan bintang idolanya.

source: filminx.com

Banyak yang tidak menyangka bakal mendengar dialog berbahasa Bugis dalam adegan pembuka. Ketika Zainuddin (Herjunot “Junot” Ali), seorang yatim piatu berdarah Minang-Bugis meminta izin kepada Mak Base, pengasuhnya, untuk berlayar ke Batipuh, Sumatera Barat (Sumbar), tanah kelahiran ayahnya. Ia ingin belajar agama, sekaligus menjelajah kampung leluhurnya.

Dalam waktu singkat, Zainuddin menjadi buah bibir di Batipuh. Cerita hidupnya berkembang sedemikian rupa. Tapi ia lebih dikenal sebagai pendatang asing, orang yang dianggap tak bersuku lantaran bukan berdarah Minang murni. Sehingga semua kebaikan, kepandaian, kesantunan dan kecakapan yang dimilikinya menguap begitu saja. Di sisi lain, ia telah bertautan hati dengan Hayati (Pevita Pearce), kembang Batipuh yang juga seorang yatim piatu.

Keadaan kian memburuk, setelah status terbuangnya makin disahkan oleh Ninik Mamak, dewan tetua adat. Lalu ia diusir dari Batipuh, diminta untuk melanjutkan niat belajarnya di kota lain saja. Dengan terpaksa, Zainuddin pun harus patah hati menggenggam asa meninggalkan Hayati. Pondasi cerita yang sederhana tapi disajikan dengan cukup kuat. Mulai bagian ini, bersiaplah untuk terus terpukau terbawa cerita.

Sepanjang film yang berdurasi lebih dari dua jam ini, semua dialog bahasa Indonesia disajikan dengan gaya klasik khas era 30-an, sesuai setting ceritanya. Karena itu pula, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dipastikan mampu memikat para penggiat sastra. Apalagi para pemainnya mampu menyajikan kalimat demi kalimat dengan penjiwaan ala teatrikal, puitis, menghanyutkan, dan seringkali terdengar tak lazim namun tetap memesona.

Kemampuan akting yang luar biasa ditunjukkan oleh Junot, Pevita, serta Reza Rahadian sebagai Aziz. Tiga tokoh ini menjadi sentra cerita, meskipun penampilan sejumlah peran lainnya juga tak dapat dikesampingkan begitu saja. Salah satunya, seperti yang ditunjukkan Arzeti Bilbina dengan porsi lebih besar dibanding Jajang C Noer.

Dari sisi kemampuan verbal, Junot-Pevita-Reza mampu mengakrabkan diri dengan diksi sastrawi dan totalitas penyampaiannya. Selain itu, sebagai komponen tambahan, Junot berhasil melekatkan sosok Zainuddin dengan bahasa Indonesia sastrawi beraksen Bugis. Ciri khas penokohan ini juga menjadi suplemen kesuksesan Junot saat meluapkan emosi secara meledak-ledak pada beberapa bagian penting. Karena aksen Bugis memang terkenal tegas, lantang, tanpa keragu-raguan, dan penuh konsistensi ketika menyampaikan sesuatu. Tokoh Zainuddin, menjadi begitu kuat.

Begitupun dengan yang ditampilkan Reza Rahadian lewat dialek Padang, dan bahasa tubuh yang tenang. Ia mampu menempa sosok Aziz sebagai seorang keturunan Padang terpandang. Kekuatan ini makin tampak ketika Reza Rahadian menyampaikan kalimat dalam nada rendah, teratur, tapi dingin dan menusuk. Membuat penonton ikut merasa sakit hati mendengarnya. Semua dilengkapi dengan kemampuan luar biasa Reza Rahadian pada sepertiga porsi terakhir milik tokoh Aziz.

Lalu, bagaimana dengan Pevita? Dengan sudut pandang kaum hawa penggemar Soap Opera, penonton dengan gampangnya dibuat geregetan dengan perilaku tokoh Hayati, untuk kemudian perasaan tersebut berhasil diubah menjadi trenyuh dan iba. Sama seperti dua tokoh yang dibahas sebelumnya, peran Hayati sangat terbantu dengan diksi dan penyampaian verbalnya. Hanya saja, tak berlebihan jika ada komentar yang menyebut bahwa akting Pevita kalah jauh dibanding penampilan Reza Rahadian, terlebih Junot.

Terlepas dari bahasan dialek yang dibawakan para pemain, satu lagi hal menarik (bagi saya) dalam “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” adalah ragam bahasa Padang yang disampaikan sejumlah tokoh. Pada adegan pertemuan lembaga Ninik Mamak misalnya, istilah sastrawi bahasa Padang bertaburan. Beberapa kata di antaranya terdengar mirip seperti cikal bakal serapan diksi dalam bahasa Indonesia.

source: m.jakartapress.com

Di sisi lain, keseriusan yang optimal ditunjukkan oleh tim produksi dengan mempersiapkan beberapa unit mobil antik serta busana para pemainnya. Bahkan khusus untuk kostum yang dikenakan dalam beberapa adegan, tidak berlebihan apabila “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” mengingatkan penonton pada “The Great Gatsby”. Meskipun demikian, kekuatan visual kostum ini hanya didominasi pada pemilihan busana pemain pria.

Secara umum, film ini adalah drama yang ditambah sejumlah sapuan kelakar di beberapa sudutnya. Dengan demikian, akting memilukan yang dibawakan Junot-Pevita-Reza seharusnya mampu membuat penonton ikut menangis sedih. Namun ada perbedaan respons yang cukup signifikan pada penonton Samarinda (dan kemungkinan besar juga pada penonton di wilayah Indonesia Timur lainnya). Hal ini disebabkan karena tutur dan arahan gaya yang dibawakan.

Misalnya, dalam salah satu adegan sedih yang dibawakan oleh Junot, penonton di Samarinda terbagi menjadi tiga kelompok: mereka yang menangis (di kanan saya), mereka yang diam serius mencermati adegan, dan mereka yang malah tak sengaja tertawa (segerombolan penonton di kiri dan baris belakang saya) . Sebagai gambaran, bahasa Indonesia berdialek Bugis merupakan hal yang bisa ditemui sehari-hari di Samarinda. Dalam adegan tersebut, Junot mengerahkan ekspresinya dengan maksimal, namun sayang intonasi dan diksi yang digunakan malah menggelitik penonton hingga memecahkan tawa. Hal ini tidak terjadi karena multitafsir adegan, melainkan kebiasaan ragam bertutur yang beredar di Samarinda, in particular. Karena itu, kondisi serupa mungkin akan jarang terjadi pada penonton di pulau Jawa. Paling tidak, penonton remaja pulau Jawa akan dengan mudahnya berolok-olok lalu tertawa ketika mendengar tutur bahasa kuno, yang identik dengan para kakek dan nenek penggemar musik keroncong tempo dulu. Sama-sama tertawa, tapi terhadap objek yang berbeda.

(Disclaimer: Tawa atas intonasi dialek bukan sebagai ekspresi ejekan, melainkan hasil dari pencerapan linguistik daerah.)

Hal teknis lain. Dalam durasi setengah jam awal film, layar bioskop cenderung berwarna kebiruan. Awalnya, saya mengira hal ini terjadi secara kasuistis, cuma di bioskop tempat saya menonton. Ternyata, kondisi ini memang terjadi di semua penayangan dan cukup mengganggu. Untungnya hanya berlangsung di bagian awal film saja.

Terakhir, dalam koridor pemakluman, tim produksi (pastinya) sudah berupaya sekuat tenaga untuk mewujudkan adegan yang disebut sebagai judul film ini. Meskipun demikian, pada beberapa bagiannya, efek visual yang digunakan masih agak kasar. Bahkan secara samar, penonton yang jeli tetap dapat melihat bahwa ada adegan yang diambil dari dalam kolam renang.

Lalu lewat ending cerita yang cukup menyayat hati, akhir film ini makin berkesan dengan “Sumpah dan Cinta Matiku” oleh Nidji. Lagu latar yang terdengar megah dan mampu mengimbangi nuansa sentimental yang ada. Karena semua komposisi ini, tidak berlebihan apabila “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” disebut sebagai film nasional yang sensasional di penghujung tahun.

[]