Melancholy is a Movement

9 April 2015

UNTUK kali ini, lebih enak kalau langsung straight to the point saja. Pengantar yang terlampau panjang bakal bikin bias.

Tidak berlebihan rasanya, jika menyebut “Melancholy is a Movement” adalah proyek yang ambisius, (mungkin) idealistis, namun absurd dan lebih mirip sebuah racauan audiovisual.

Dari keseluruhan bagian film, barangkali hanya ada satu pesan kuat yang terus lekat dalam benak saya: sutradara bukan profesi yang gampang. Ya kegelisahannya, ya bagaimana cara menjalaninya. Saking tidak gampangnya, sampai-sampai wajar bila diasumsikan aneh, nyeleneh, tidak jelas, dan membingungkan. Sebagai bukti, ialah “Melancholy is a Movement” ini.

Sejak cerita mulai bergulir, saya berusaha keras untuk bisa merangkai bagian-bagian kisah yang tersaji dan mempertahankan untaiannya agar tidak ambyar, setidaknya menyisakan buah tangan di akhir tayangan. Ternyata, susah.

Source: YouTube.com

Bila dikategorisasi, “Melancholy is a Movement” memang terdiri dari beberapa bagian identik dengan proporsi yang berbeda. Ada bagian yang cukup mudah dipahami, dan cenderung bisa diindrakan sebagai film. Contohnya, bagian ketika Aming berupaya berkomunikasi dengan Joko Anwar, juga saat sang asisten bintang utama mencoba bernegosiasi soal tawaran.

Ada pula bagian yang terkesan pretensius dan gamblang sekali mengada-ada. Contohnya, dialog antara Joko Anwar dan Abba, termasuk cara sang pemeran utama mengetik dalam adegan yang sama, maupun gamit lakon Aimee Saras, gaya dan dialog pemain biola, serta masih banyak lagi. Dengan mudahnya saya menerka bahwa baik peran pembantu Abba maupun Aimee Saras, memang diarahkan untuk terlihat seperti itu. Terkesan sengaja untuk sekadar main-main saja. Selebihnya, adalah bagian yang memaksa saya untuk merasa seolah ada yang “deep, deep gimana gitu…” (salah satu line monumental, yang ironisnya cocok ditimpakan sebagai kesan untuk film sumbernya) dan menunggu kejelasan atau simpulan di akhir plot. Padahal, kemudian penonton dibikin merasa ditinggal begitu saja. Semua ini membuat saya–maupun banyak penonton lainnya–beranggapan bahwa “Melancholy is a Movement” dibuat hanya untuk bisa dipahami sang sutradara, sang penulis naskah, dan khalayak “sefrekuensi”. Kalau sudah begini, rasanya agak kurang relevan untuk mempermasalahkan soal begitu banyaknya pelakon yang dilibatkan tanpa kekuatan lakon apa-apa. Memunculkan celetukan dalam hati: “rasa-rasanya ini bisa jadi keren banget, tapi kok begini?” Bahkan sampai merasa memiliki sense of art interpretation yang begitu dangkal, lantaran ga mudheng.

Di akhir film, saya lumayan tergelak alih-alih mengumpat seperti selepas menonton “Sang Martir”. Refleks. Mempertanyakan: “sebenarnya apa sih tujuan mereka bikin film ini?” Lalu penasaran dengan film-film lain karya Richard Oh, sang sutradara.

[]