Demi Ucok

3 March 2013
source: kepomponggendut.com

SEBAGAI konsekuensi dari perkembangan zaman, kita tak akan bisa menghindari benturan sudut pandang. Terlepas dari benar atau salah, setiap pemikiran pasti dibarengi alasan, idealisme, dan tujuan yang membuatnya terasa berharga untuk diperjuangkan. Hasil akhirnya, biarlah tetap menjadi rahasia di belakang.

Lewat sindiran otokritik yang jenaka, Sammaria Simanjuntak mengangkat realitas ini dalam “Demi Ucok”, film yang–akhirnya–tayang di Samarinda mulai Kamis (28/2) lalu, meski–sayangnya–tak bertahan lama.

Cerita “Demi Ucok” terpusat pada Gloria Sinaga (Geraldine Sianturi) yang tinggal bersama ibunya, Mak Gondut (Lina Marpaung). Inang-inang agresif dalam menjalankan bisnis, aktif di lingkungan gereja dan organisasi sosial, serta berpandangan konservatif hampir untuk semua hal krusial.

Lewat narasi yang ringkas di awal film, penonton langsung dibuat paham dengan bibit konflik: aspirasi hidup versus harapan (bukan hope, melainkan expectation) orangtua. Tema ini memang relatif umum, meskipun tidak sering diangkat sebagai core sebuah cerita. “Demi Ucok” menyajikannya dengan gaya yang berbeda. Diperkuat dengan adegan lanjutan yang menggambarkan sebuah pesta pernikahan ala Batak yang ingar bingar lengkap dengan beragam perniknya. Nontonnya aja bikin capek, and they surely know how to party!

Gloria yang merupakan seorang sutradara ambisius namun minim karya, dihadapkan dengan desakan Mak Gondut agar menikah secepatnya. Benturan keinginan pun terjadi. Gloria ingin fokus membuat film kedua dan ia juga belum menemukan pria yang ditaksirnya. Sambil mempertahankan pendirian, Gloria juga terus menggaungkan idealisme terhadap dunia perfilman, bersedia melakukan segala cara untuk mewujudkan impian. Sampai akhirnya terbentur kenyataan bahwa ia tidak punya cukup modal untuk memulai proyek filmnya. Ini melahirkan dilema bagi Gloria; menghalalkan segala cara atas nama dedikasi, atau berkeras karena gengsi. Semua demi “ucok” mereka masing-masing.

Dari perseteruan ini, cerita terus bergulir dan memunculkan subkonflik-subkonflik baru yang tetap mengakar pada masalah utama. Hampir semuanya merupakan wujud kritik sosial yang tersaji cerdas dan jenaka. Soal perfilman nasional, praktik korupsi dan hasilnya yang berlimpah, stigma serta generalisasi sosial, tentang institusi pernikahan itu sendiri, maupun poin-poin lainnya. Tidak ketinggalan, kekentalan budaya Batak juga menjadi aksen penting dalam cerita. Tak hanya tampil sebagai pelengkap identitas dua tokoh utamanya (lewat dialog yang mungkin terdengar kasar dan seakan tidak santun), ada sejumlah filosofi yang muncul menjadi sendi cerita. Salah satunya, pandangan Mak Gondut bahwa ada tiga tujuan dalam hidup seorang perempuan Batak: menikah dengan lelaki Batak, punya anak Batak, dan punya menantu Batak karena alasan tertentu (yang kemudian terrevisi dengan bijaksananya). Terlepas dari itu semua, “Demi Ucok” tetap mampu menjadi film yang bisa dinikmati semua orang.

Geraldine dan Lina Marpaung memang bukan wajah yang sering kita lihat di layar kaca, tapi interaksi antara keduanya sebagai ibu dan anak Batak yang sama-sama keras mampu tampil memukau. Berikut dengan akting para pemeran pendamping seperti Acun (Sunny Soon) dan Nicky (Saira Jihan) yang masing-masing kebagian lakon nyeleneh. Saking nyelenehnya, tokoh Nicky dan Acun pantas punya film pendeknya sendiri.

Terakhir, sebagai film nyaris indie (lantaran berhasil ditayangkan secara komersial) yang proses pembuatannya melibatkan ratusan orang lewat media jejaring sosial, akan ada ratusan nama maupun akun Twitter yang ditampilkan di penghujung credits title. Bagian ini terlalu manis untuk dilewatkan begitu saja. Muncul perasaan hangat dan ungkapan terima kasih dua arah saat melihat deretan nama-nama yang kita kenal (baik secara pribadi atau virtual) terpampang di layar. Apalagi dibarengi dengan karya Homogenic sebagai lagu latar. 🙂

[]

Posted from WordPress for BlackBerry.