Tionghoa Samarinda: Sebuah Upaya Menelusuri Sejarah

1322
views

WAKTU masih kecil, pernah terlintas pertanyaan: “kenapa saya lahir di Samarinda? Kok bukan di Cina? Bukan di Hong Kong? Atau di Taiwan?” Tanpa jawaban yang jelas, pertanyaan itu berlalu begitu saja. Menyisakan rasa penasaran atas runutan sejarah, yang salah satunya mungkin berupa momen hijrahnya kakek dari daratan Tiongkok ke Indonesia. Sampai akhirnya, berusaha dijawab sendiri lewat tulisan ini, hasil dari nanya dan baca sana sini.


Sebagai kawasan yang tidak memiliki garis pantai, Samarinda tak termasuk tujuan utama gelombang kedatangan perantau Tionghoa beberapa abad lalu. Berbeda dengan Tarakan maupun Balikpapan, yang tidak hanya memiliki akses perairan laut, namun juga sudah lebih dahulu ramai karena aktivitas niaga.

Meskipun begitu, sayangnya belum ada catatan sejarah komprehensif mengenai gelombang kedatangan Huaren (華人)–sebutan untuk keturunan Tionghoa–di Kota Tepian. Ibarat meraba dalam kegelapan, penelusuran beberapa fakta penting pun agak susah dituntaskan. Ditambah lagi dengan langkanya saksi sejarah yang bisa menyampaikan penuturan.

Dalam makalah ilmiah Sino-Platonic Papers nomor 236 karya Wan Kong Ann dari Tsinghua University, yang dirilis April 2013 lalu berjudul “Examining the Connection Between Ancient China and Borneo Through Santubong Archaeological Sites” memuat fakta bahwa hubungan antara Tiongkok dan penduduk Kalimantan sudah terjadi lebih dari dua milenium lalu. Hanya saja baru sebatas di utara dan barat laut (kini masuk wilayah Malaysia dan Brunei Darussalam), serta sebagian barat pulau Kalimantan. Baru pada era Dinasti Tang (618-907) dan Dinasti Song (960-1279), jalur perdagangan “Maritime Silk Road” sudah merambah sampai ke ujung selatan pulau Kalimantan yang kini menjadi wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel). Pola hubungan ini terus berkembang di masa dinasti-dinasti berikutnya. Hal ini juga bersesuaian dengan tulisan ilmiah James R Hipkin dalam bahasa Tionghoa berjudul “婆羅洲華人史” (Sejarah Warga Tionghoa di Borneo).

“Warga Tionghoa datang (ke Kalimantan) melalui Wenlai (文萊-Brunei), Machen (馬晨-Banjarmasin), dan Kundian (坤甸-Pontianak). Kian lama semakin banyak yang datang,” tulis Hipkin.

Sampai di titik ini, baru muncul dugaan bahwa pendatang Tionghoa yang bermukim di wilayah Kaltim, bisa berasal dari Banjarmasin dan wilayah sekitarnya, atau benar-benar berlayar langsung dari daratan Tiongkok. Seperti yang disampaikan Direktur Nomaden Institute Cross Cultural Studies, Roedy Haryo Widjono lewat catatannya kepada penulis. “Leluhur orang Tionghoa di Balikpapan datang secara berkelompok, menumpang kapal. Mereka tiba di perairan utara Kalimantan hingga ke wilayah Balikpapan.”

Disampaikan lebih rinci, gelombang kedatangan langsung itu terjadi pada pengujung abad ke-19, saat Dinasti Qing dipimpin Kaisar Guangxu (1871-1908). Warga Tiongkok yang didominasi dari Provinsi Guangdong (廣東) tersebut lebih tepatnya dikirim ke Kaltim sebagai buruh kontrak, untuk bekerja di perusahaan minyak milik Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Melihat rute perjalanan yang langsung menuju Balikpapan, ada kemungkinan terdapat bagian dari kelompok ini yang pindah ke Samarinda dan sekitarnya.

“Sebagian dari mereka memilih menetap ke Tenggarong. Selain bekerja sebagai pedagang, sebagian dari mereka bekerja di tambang batu bara,” lanjut Roedy dalam catatannya.

Benar saja alurnya, jika kedatangan warga Tionghoa di Kaltim pada akhir abad ke-19, juga membuat mereka tersebar ke Samarinda. Termasuk sejumlah tokoh penting, yang ditunjuk sebagai opsir pengatur kongsi dagang Belanda. Sekaligus menjadi pemimpin warga Tionghoa kala itu.

Opsir pertama adalah Huang Qingquan (黃清泉) yang bertugas antara 1882-1902. Ia bersub-suku Min (閩), berasal dari daerah Jinmen/Kimmoi (金門), Provinsi Fujian/Hokkian (福建). Ia menjadi penggagas pembangunan Kelenteng Tian Yi Gong/Thien Gie Kiong (天義宮), yang rampung pada 1905, tiga tahun setelah wafatnya. Lukisan potret Huang Qingquan terpajang di dinding kanan bagian dalam ruang utama kelenteng. Beranjak dari milestone ini, diketahui bahwa kelenteng di Samarinda berusia satu dasawarsa lebih tua dibanding satu-satunya kelenteng di Balikpapan. Yaitu Kelenteng Guang De Miao (廣德廟), yang peringatan hari jadi ke-100 tahunnya baru dirayakan Senin, 23 Maret lalu.

Source: panoramio.com
Source: Twitter @discover_bpp

Dari sejumlah bukti sejarah, populasi warga Tionghoa di Samarinda terus bertumbuh setelah masa Huang. Tidak hanya itu, warga Tionghoa di Samarinda juga masih berkontak baik dengan pihak kekaisaran dalam sejumlah bidang. Seperti yang ditunjukkan dalam foto peresmian 中華學堂 atau Balai Belajar Tionghoa tertanggal 23 Agustus 1906, dihadiri petinggi pemerintah Belanda dan sejumlah pejabat berjubah khas kekaisaran Dinasti Qing. Lokasi balai belajar tersebut kini menjadi markas PMK di Jalan Mulawarman.

Repro pribadi.
Repro pribadi.
Para tetua warga Tionghoa Samarinda.
Para tetua yang pernah menjadi guru, saat perayaan hari jadi ke-100 tahun sekolah Tionghoa Samarinda, 2006 lalu.

Setelah momen pada 1906 ini, hampir tidak ada lanjutan catatan sejarah mengenai perkembangan kehidupan warga Tionghoa di Samarinda. Sampai pada 1929, lantaran sangat fasih berbahasa Tionghoa, misionaris Christian and Missionary Alliance (C&MA) area Tiongkok Selatan dan Hindia Belanda, RA Jaffray memberikan pelayanan keagamaan terutama bagi warga Tionghoa di Samarinda dan Balikpapan. C&MA adalah cikal bakal Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) yang masih ada sampai saat ini.

Kembali merujuk pada catatan Roedy, gelombang kedua migrasi warga Tionghoa ke Nusantara termasuk Samarinda terjadi antara 1942-1945. Migrasi terjadi karena warga Tiongkok, terutama dari pesisir tenggara, ingin menyelamatkan diri dari kekejaman Jepang. Di masa itu, komunitas warga Tionghoa di Kota Tepian makin beraneka. Selain menghimpun diri dalam paguyuban masing-masing sub-suku, mereka juga ikut berperan dalam perjuangan menuju kemerdekaan.

Terlepas dari itu, Kelenteng Tian Yi Gong maupun Balai Belajar Tionghoa memang berlokasi di dalam area Kota Samarinda kini. Akan tetapi, tidak bisa dilupakan bahwa cikal bakal Kota Tepian adalah kawasan Samarinda Seberang. Tak ayal, banyak juga warga pendatang Tionghoa yang bermukim di wilayah tersebut.

“Saya kurang tahu (soal kedatangan warga Tionghoa di Samarinda). Tapi datangnya mulai tahun 1800-an. Ramainya mereka tinggal di Seberang (Samarinda Seberang),” tutur Yang Lizhong, salah satu tetua warga Tionghoa Samarinda.

Dari Samarinda Seberang, ia mengisyaratkan, warga Tionghoa menyebar ke banyak daerah. Termasuk Sangasanga yang juga ramai dengan aktivitas perminyakannya, bahkan hingga ke daerah hulu Mahakam seperti Long Iram, Muara Ancalong dan lainnya. Meskipun pada akhirnya, mereka dan warga Tionghoa dari wilayah lain seperti Berau maupun Bulungan, harus berkumpul di Kota Samarinda lantaran Peraturan Presiden (PP) 10/1959. Sebagian kecil di antaranya, konon berhasil menumpang satu-satunya kapal dari Tiongkok untuk pulang. Sementara warga Tionghoa yang tersisa, terus menjadi penduduk Samarinda.


Konon, Engkong ketinggalan kapal saat itu.

Sekeluarga. 🙂

[]

3 COMMENTS

  1. Membaca ulang potongan cerita dari masa lalu membuat kita belajar kembali. Tidak banyak yang bisa diceritakan setidak-tidaknya dalam bentuk tulisan yang bergaya jurnalistik. masih ada terusannya gak 🙂

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

sixteen − 2 =