Jembatan Mahakam: Jembatan Besar Pertama Samarinda
KATANYA (dan memang logisnya), salah satu ciri kota modern adalah memiliki sarana dan prasarana infrastruktur yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Lalu, salah satu aspek dari poin “infrastruktur yang memadai” adalah ketersediaan jembatan. Terlebih pada kota-kota yang memiliki sungai atau kali berbagai ukuran, maupun jumlah dan kepadatan penduduknya.
Sebagai ibu kota provinsi yang dibelah Sungai Mahakam dengan kelebaran lebih dari setengah kilometer (belum termasuk anak-anak sungai kecil), sudah sewajarnya Samarinda memiliki banyak jembatan besar. Kalaupun mau pujungan dan sedikit sotoy, bandingkan saja dengan New York City (NYC) yang memiliki 32 jembatan khusus untuk jenis bentangan di atas sungai dengan konstruksi tertua dibuat pada 1883.
Bagaimana dengan Samarinda? Hingga saat ini, warga Kota Tepian masih bergantung pada Jembatan Mahakam. Jembatan pertama pembelah Sungai Mahakam di kota ini. Sebab meskipun Jembatan Mahakam Ulu (Mahulu) sudah berdiri, dan menghubungkan Kelurahan Sengkotek serta Kelurahan Loa Buah, banyak yang enggan melintasinya. Selain lokasinya yang dianggap jauh dari “kota”, kondisi jembatan gelap gulita dengan lampu-lampu yang hanya terang benderang selama beberapa pekan setelah peresmian. Apalagi jalur Loa Buah-Loa Bakung dan sekitarnya berdebu, gelap, dan rusak parah. Akhirnya Jembatan Mahulu lebih difokuskan untuk warga setempat dan truk-truk besar, sedangkan Jembatan Mahakam tetap dijubeli kendaraan setiap pagi dan sore. Lebih-lebih di akhir pekan dan musim liburan. Bisa jadi, setelah Jembatan Mahakam berdiri, pemikiran-pemikiran untuk menambah jembatan di kota ini dipatahkan dengan argumentasi “ah, masih belum perlu,” atau “ah mahal, Jembatan Mahakam juga lancar-lancar aja.” Namun lama-kelamaan, jumlah penduduk bertambah, disusul peningkatan jumlah kendaraan. Tahu-tahu, Jembatan Mahakam sudah macet. Pengalaman yang baru ini belum siap dihadapi warga, sehingga banyak yang kesal, yang emosional, ditambah dengan belum terbiasa tertib berlalu lintas. Telat.
Oke, kembali ke Jembatan Mahakam sepanjang 400 meter ini.
Per tanggal 3 Agustus nanti, konstruksi Jembatan Mahakam sudah berusia 30 tahun! Kalau dianalogikan dengan fase kehidupan orang-orang Samarinda pada umumnya, usia Jembatan Mahakam sudah setara dengan cowok atau cewek yang sudah menikah, dan minimal telah memiliki satu orang anak menjelang usia masuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Singkat kata, Jembatan Mahakam itu sudah lumayan tuha. Tapi makin lama, jumlah kendaraan yang memenuhinya setiap hari kian banyak. Belum lagi sudah beberapa kali tiang penyangganya tersenggol sampai tertabrak ponton batu bara yang luar biasa besarnya.
Mengutip informasi dasar mengenai Jembatan Mahakam, proses pembangunannya dimulakan pada 1982. Dan setelah rampung dibangun pada 1986, jembatan ini baru diresmikan setahun setelahnya. Sebelum rampung, jelas satu-satunya cara untuk menyeberang ke “Samarinda Kota” adalah menggunakan kapal. Begitupun bila pergi ke/datang dari Balikpapan maupun Tenggarong. Untuk keterangan tambahan, bisa juga dibaca di plakat yang tertanam di dinding sisi kiri dekat ambang jembatan, bila melintas dari Samarinda Seberang. Sayangnya, plakat itu tertanam lumayan tinggi, dan saat ini sudah tertutup lumut. Samar-samar, hanya lambang Departemen Pekerjaan Umum (kini disebut Kementerian PU) yang bisa terlihat.
Sebagai jembatan pertama di Kota Samarinda, Jembatan Mahakam menggunakan desain konstruksi Truss (atau Lattice Truss), yang untuk masa kini terkesan jadul.
Secara sederhana, model Truss menampilkan rangkaian penyangga beban berbentuk segitiga. Terdiri dari komponen-komponen yang disatukan. Di Jembatan Mahakam, rangkaian Truss tersusun memanjang, membentuk semacam kotak dan terbagi beberapa segmen lantaran beda ketinggian. Penyatu Truss di Jembatan Mahakam bisa kamu lihat pada lempengan baja dengan baut dan mur berukuran jempol orang dewasa. Agak memompa adrenalin pada bagian pedestrian atau pejalan kaki. Karena berada di sisi luar jembatan. Seru.
Selain pada Jembatan Mahakam, desain Truss juga digunakan untuk beberapa jembatan kecil di dalam kota, seperti Jembatan II atau Jembatan Sungai Dama, juga Jembatan Baru (JB) di ujung Jalan Agus Salim menuju Jalan Gatot Subroto.
Mengapa model Truss yang dipilih? Unda gin kada paham. Tapi bisa jadi karena efisiensi biaya. Selebihnya, model Truss termasuk yang tertua dari konstruksi jembatan modern. Barulah pada desain Jembatan Mahulu, dan (soon-to-be built) Jembatan Mahakam Kota (Mahkota) II, sudah mulai bermain dengan tampilan yang lebih modern.
https://www.instagram.com/p/BDOLsvEKbod/?taken-by=dragonohalim
Untuk melengkapi nostalgia, berikut ini adalah video dokumentasi peresmian Jembatan Mahakam. Bisa dirasakan suasananya, ketika para pendahulu kita sebagai warga kota ini, himung dan gembira dengan berdirinya Jembatan Mahakam.
[]