Ngopi di Samarinda (?)

642
views

JANGAN percaya tulisan ini karena, sepertinya, tidak mewakili keseluruhan gambaran yang terjadi.

Saya nggak ngerti sejarah, sosiologi budaya, maupun psikologi manusia modern. Tapi satu hal yang saya lihat, sudah – atau bisa dikatakan makin – banyak kafe bermunculan di Samarinda. Entah sebagai franchise atau dengan merek abal-abal, mereka berusaha menarik perhatian konsumen serta berlomba menjadi kafe (baca: tempat nongkrong) ter-happening di ibu kota Kaltim ini. Kota yang katanya, dihuni 850.000 jiwa entah dari mana saja.

Kita pakai pola pikir yang paling sederhana ya. Kafe, memiliki kedekatan bunyi dengan coffee, alias kopi. Minuman yang berasal dari biji tanaman bernama sama. Dengan begini, logikanya, kafe adalah tempat orang untuk mencari minuman kopi, mengingat nggak semua orang punya kemampuan menghasilkan minuman kopi yang mantep untuk dikonsumsi sendiri. Atau nggak semua orang punya waktu untuk mengutak-atik, menakar, menimbang, memperkirakan, dan tindakan-tindakan ribet lainnya untuk menghasilkan minuman kopi yang cocok selera dan lezat (yang sampai saat inipun saya nggak tahu, lezatnya kopi itu seperti apa tepatnya, karena saya sekadar peneguk amatir). Itu poin pertama.

Kota Samarinda punya catatannya sendiri, perihal munculnya “ikon-ikon gaya hidup” yang lima tahun sebelumnya hanya bisa dinikmati di luar kota (di luar pulau lebih tepatnya). Setelah dinikmati dengan syarat utama harus naik pesawat terlebih dahulu, sekembalinya di sini barulah menjadi objek perbincangan kaum SokSialita setempat. Menghasilkan impian semisal; “nanti kalau ke Jakarta, mau singgah Starbucks ah…” Kafe menjadi destinasi wisata.

Btw, kenapa saya sebut SokSialita? Karena mereka setidaknya harus menempuh perjalanan darat sepanjang 110 Km dengan ruas jalan dua lajur, bersibuk-sibuk ria dengan bagasi lantaran konsep light traveler dianggap masih alien pada saat itu, dan harus meringis dan bolak-balik menelan ludah saat tekanan udara dalam penerbangan menjadi tidak bersahabat dengan membran telinga selama hampir dua jam. Semua itu hal-hal yang tidak menyenangkan, tapi mereka lakukan bahkan dengan membayar setidaknya di atas Rp1,5 juta.

Dari poin itu, yang saya tidak tahu persis timeline-nya kapan, impian komunal orang Samarinda memunculkan kesadaran bahwa, “PROSPEK NIH!” Setelah itu, satu persatu so-called kafe pun muncul. Rata-rata sekadar kafe-kafean yang didirikan tanpa supervisi mengenai kopi, atau penyajian, dan tetek bengek lainnya. Bahkan, sebutan “Barista” pun masih terdengar jauh mengawang di angkasa yang hanya bisa direspons, “wih, keren tuh.” Ini poin kedua.

J.CO di Samarinda

Melipir sejenak dari realitas ini, jauh sebelum kafe yang muncul sebagai prospek bisnis baru di era tahun 2000-an, Samarinda memang sudah mempunyai kafe yang berstandar. Namun karena perkara harga, lokasi, dan segmentasi, membuat kafe-kafe tersebut memiliki penikmat dan konsumen terbatas. Sebut saja coffee shop yang ada di hotel berbintang, maupun warung kopi Tionghoa (yang lebih dikenal dengan istilah bahasa Hokkian “Kopi Tiam” di pulau Jawa sana). Keduanya memiliki ciri khas dan karakteristik perkopian yang khusus. Coffee shop berusaha tampil dengan penyajian yang berstandar baku, walaupun yang mampu memenuhinya hanya di hotel-hotel berbintang. Sedangkan warung kopi Tionghoa, sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu dan kebanyakan kini terwariskan ke generasi kedua yang melayani konsumen setia (yang masih hidup, tentunya). Pengunjung di warung kopi Tionghoa ini didominasi oleh para pria berusia di atas 50 tahun. Kalaupun pengunjung lain, paling-paling ya cucu atau anak dari pengunjung yang lebih tua dengan frekuensi kedatangan yang akan berkurang seiring bertambahnya angka umur mereka.

Bagi para pecinta kopi sungguhan, kopi yang disajikan di warung kopi Tionghoa ini terbilang khas. Saya ingat ketika 2010 lalu, seorang pecinta (yang juga membuatnya menjadi seorang kritikus elegan) kopi, penulis artikel majalah gaya hidup, pelaku sekaligus pengamat gaya hidup kawakan, Ve Handojo, bersama pecinta kopi lainnya, pemilik blog perkopian ternama (Cikopi.com), dan fotografer hebat, Toni Wahid, sempat bertandang ke warung kopi Tionghoa yang ada di salah satu area kurang metropolis di Samarinda, Jl Pelabuhan. Di sana mereka terlihat senang, menemukan bahwa kopi yang disajikan, mengalami proses olah yang dilakukan sendiri oleh si empunya warkop (anak dari pemilik pertama). Begitupun setelah mencicipi satu gelas (atau mungkin dua) dari kopi yang disajikan a la Americano alias kopi hitam. Saat itu, saya yang nggak mengerti kopi hanya bisa menangkap taste kopi tersebut dari ekspresi dan komentar yang mereka berdua lontarkan, di tempat.

Sayangnya, biar seenak dan sekhas apapun kopi yang disajikan di sana, nggak akan ngaruh pada peningkatan penggemar atau pelanggan warung kopi tersebut kalau tidak lebih dikomersialkan. Dalam hal ini, tanpa adanya inovasi dan promosi kepada khalayak yang lebih beraneka, ada masanya warung kopi tersebut bakal kehilangan pengunjung karena usia mereka yang makin lama makin tua. Bedakan dengan kafe-kafe belakangan yang muncul dengan gegap gempita, menarik perhatian kaum muda, padahal kopinya nggak lebih enak ketimbang yang disajikan di warung kopi zaman dulu itu. Kondisi tersebut secara ideologis mengkhianati makna dari kata “kafe” sendiri. Mau bukti? Saya masih ingat ketika salah satu teman berceletuk lewat mention di Twitter, “ngapaen ngopi di situ (sebuah kafe franchise)? It tastes like sewer!” Hahaha! Padahal kafe itu saban hari selalu dipenuhi orang, baik yang tua maupun muda, untuk ngopi dengan imbalan bisa nongkrong (cantik, cakep, macho, atau imbuhan lainnya) dan terlihat eksis nan gaul.

Okay, kembali ke kafe-kafe yang bermunculan. Semuanya saling bersaing dalam ke-Samarinda-annya masing-masing. Sampai akhirnya J.CO dan Excelso membuka gerainya di sini. Keduanya menjadi pembatas kelas. Bahwa mereka berdua itu lebih men-Jakarta ketimbang yang lain. Ya walaupun basically salah satu di antaranya lebih terkenal dengan donat – yang selama beberapa tahun sukses menjadi “oleh-oleh” khas Surabaya dan Jakarta – serta yoghurt bekunya. Selain keduanya, juga ada Illy yang pertama muncul di sebuah kafe lokal bernama Cempaka Food Festival, disusul beberapa tahun kemudian disajikan di kafe lokal bernama El-Barilto. Franchise yang lain, adalah Coffee Toffee. Namun dari tiga gerai yang dibukanya, hanya ada satu (atau dua) yang murni tampil sebagai Coffee Toffee, gerai yang satu lagi malah lebih terkenal sebagai kafe (atau bisa disebut restaurant-in-disguise) lokal, Le Chef. Sampai di sini, saya sisakan belasan kafe lain tanpa sindikasi merek dan standar penyajian, dengan logo hasil modifikasi sedemikian rupa dari logonya Starbucks. Ini poin ketiga.

Excelso Kedua di Samarinda

Meskipun demikian, Samarinda masih kalah dengan Balikpapan yang sudah memiliki dua outlet Starbucks, sekian gerai Excelso, ditambah dengan Kopi Tiam New Star (kalau tidak salah). Makin kalah dengan populasi warganya yang lebih akrab dengan etiket berkafe, ketimbang warga Samarinda yang hobi nongkrong di kafe.

Dengan munculnya kafe-kafe franchise, konsumen kafe di Samarinda terbagi menjadi tiga, sepengamatan saya. Pertama, orang yang paham kopi dan adat berkafe. Kedua, orang yang masih awam dengan kopi namun belajar untuk beradaptasi dengan adat berkafe. Ketiga, entah paham atau awam dengan kopi tapi terlalu bebal untuk menyadari bahwa dia sedang berada di kafe dan harusnya bersikap layaknya pengunjung kafe, bukan Pasar Segiri. Dari ketiga jenis konsumen di atas, jenis ketiga yang paling membuat saya risih. Terlepas dari kenyataan bahwa kami sama-sama konsumen dan sama-sama membayar untuk bisa duduk serta menikmati apapun yang disajikan di sana, namun tipe konsumen ketiga benar-benar menunjukkan ketidaksiapan orang tersebut untuk bersikap layaknya konsumen kafe.

Mengapa risih dengan konsumen tipe ketiga? Berikut alasannya.

  1. Sepertinya asing dengan konsep antre
  2. Setelah berdiri di depan counter, lebih dulu diawali dengan pandangan menerawang melihat daftar menu selama lebih dari tiga menit
  3. Buang sampah sembarangan
  4. Protes, setelah melihat bahwa pesanan Espresso-nya hanya berupa isi di cangkir kecil
  5. Tidak peduli dengan pembagian smoking/no smoking area

Khusus untuk pengunjung J.CO Samarinda yang tipe ketiga, faktor penyebab ketidaksukaan saya bertambah.

  1. Ngomel karena setelah duduk tidak disodori menu untuk order
  2. Setelah pesan, membiarkan Barista berteriak berulang kali karena tidak mau mengambil sendiri pesanannya yang sudah jadi
  3. Barista diperlakukan layaknya pelayan

Sempat beberapa kali coba ngobrol dengan kru J.CO lokal tentang sikap kurang kooperatif dari para pengunjung. Sambil tersenyum mereka menjawab, “ya mau gimana lagi, mas. Kan mereka pelanggan.” Sebaliknya, argumen yang paling sering dijadikan alibi oleh para konsumen ngehe tersebut adalah, “kan sudah bayar mahal-mahal, kenapa nggak dilayani?” Padahal kenyataannya adalah, mereka hanya membeli minuman, mereka membayar untuk mengganti isi gelas yang mereka pegang. Bahkan untuk pelayanan yang bagus sekalipun tidak ada budaya tip. Lagi-lagi jauh berbeda dengan yang terjadi di kota lain. Sekadar informasi, di sini nggak ada budaya memberi tip. Itu yang bikin banyak orang Samarinda, terlihat mencolok ketika bertandang ke luar kota.

Saya masih belum bisa membayangkan, apa yang akan terjadi apabila Starbucks membuka gerainya di sini? Apakah counter akan dipenuhi orang-orang yang mendongak ke atas dengan tatapan bingung? Terbata-bata ketika merespons opsi ukuran maupun saus ekstra yang ditawarkan oleh kasir? Terkejut dengan harga yang harus mereka bayar untuk segelas Hazelnut Chocolate? Setelah membayar, duduk, dan bingung mana pesanan mereka? Kian bingung karena setelah pesanan mereka sudah selesai dibuat di ujung meja counter, malah tidak ada teriakan panggilan seperti di J.CO? Atau juga bingung di mana tempat mengambil tisu, sedotan, gula, dan sebagainya?

Gambaran di atas memang terkesan sangat menyudutkan, tapi percayalah, saya juga kerap melakukan tindakan-tindakan katrok seperti di atas.

Selalu ada peluang di balik sebuah krisis. Dengan munculnya kafe-kafe yang benaran, barangkali bisa memberikan edukasi secara sosial dan tanpa sadar kepada para pengunjung kafe untuk perlahan berubah dari tipe ketiga menjadi tipe lainnya. Sampai akhirnya makin banyak warga asli Samarinda bergabung dalam komunitas global pengunjung kafe, baik penikmat kopi atau bukan.

Kopi Susu, telur setengah matang, dan Roti Bakar.

[]

What’s new?

Beberapa waktu belakangan, saya kerap singgah ke warung kopi Tionghoa di Jl Pelabuhan untuk menikmati kudapan sore berupa Roti Bakar (yang sekarang cukup booming dengan nama “Kaya Toast”), Roti Telur, telur setengah matang, maupun secangkir kopi susu. Ternyata, ada yang berubah. Senang rasanya melihat warung kopi itu sudah mulai banyak dikunjungi pelanggan yang lebih muda (below 45), baik secara individual maupun berkelompok. Dan mereka benar-benar nongkrong di sana.

Anyway, baru ketemu tulisan Pak Toni Wahid dan kumpulan foto warung kopi Tionghoa tersebut. Bisa dibaca di sini “Kopi Ko Abun: Godfather of Caffeine 🙂

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

seventeen − 14 =