Sang Dewa

24 October 2014

ŚIVA, dilafalkan “shi-wa”. Dewa dari pulau yang berbentuk seperti buah jambu alias Jambudvīpa, India.

Bisa jadi, salah satu dewa utama Hinduisme ini adalah figur spiritual yang punya rentang sebar terluas di dunia. Tak hanya dipuja sebagai dirinya sendiri, atau sebagai bagian dari Trimūrti, Śiva juga mengalami proses sinkretisme dengan kepercayaan lokal beberapa bangsa. Termasuk di Nusantara. Wajar, kehadiran Śiva kurang lebih sama tuanya dengan peradaan kuno Lembah Indus, meskipun saat itu masih berupa purwarupa.

source: mahashivaratri.net
source: mahashivaratri.net

Lewat peninggalan sejarah berupa candi dan prasasti, sejumlah kerajaan Hindu di Nusantara menunjukkan baktinya kepada Śiva. Namun terlepas dari itu, ternyata figur dewa pertapa ini juga dikenal dalam budaya spiritual Batak dan Bugis dengan cerita berbeda. Termasuk sebagai Batara Guru, salah satu manifestasinya.

Śiva dikenal dengan nama Debata Asi Asi dalam kepercayaan tradisional Batak. Debata Asi Asi menjelma menjadi Manuk Patia Raja, seekor ayam betina raksasa yang menghasilkan tiga telur. Dari ketiga telur tersebut, “lahir” Batara Guru, Debata Sori Pada, dan Debata Mangala Bulan. Mereka menjadi penguasa tiga alam berbeda, dan Batara Guru menjadi penguasa alam langit dengan kemampuan mengatur takdir manusia. Kendati begitu, kedudukan ilahiah tertinggi dalam Parmalim, rekonstruksi modern agama kuno Batak ada pada Mulajadi na Bolon. Ia yang menganugerahi Batara Guru semua kelebihan.

Sedangkan dalam kepercayaan tradisional Bugis, langsung dikenal sosok Batara Guru. Dewa putra dari Sang Patotoqe dan Datu Palingeq. Dengan gelar La Togeq Langiq, ia diutus ke bumi sebagai manusia untuk mempersiapkan alam seisinya. Dikisahkan, ia juga merupakan ayah dari Sangiang Serri, dewi padi dan kesuburan Bugis. Namanya mengingatkan kita pada Dewi Sri dalam kebudayaan Jawa.

Lakon turunnya Batara Guru dalam pementasan La Galigo. Source: images.detik.com

Begitupun dalam kepercayaan Jawa kuno. Disebutkan bahwa Batara Guru adalah salah satu perwujudan Śiva. Dengan gelar Sang Hyang Manikmaya, Batara Guru “bersaudara” dengan Sang Hyang Ismaya atau yang lebih dikenal sebagai Semar.

Jangankan Nusantara, di sekitar India saja, figur Śiva juga diserap dalam kepercayaan lain. Baik ajaran yang muncul sebagai kritik atas Hinduisme kuno saat itu, maupun dalam subsektenya. Hanya saja, penyerapan figur lebih kepada penjelmaannya.

Dari tiga mazhab utama Buddhisme, Tantrayāna yang bersifat esoteris terkesan mengadopsi total beberapa objek utama Hinduisme. Tercermin dari penggunaan mantra berawalan aksara Oṁ, serta penempatan Mahākāla sebagai nama lain dari Śiva. Sebutan Mahākāla menunjukkan aspek filosofis Śiva yang identik dengan waktu; waktu terus bergulir “menghancurkan” segalanya, memiliki dimensi masa lalu, kini, dan masa depan. Selebihnya, Mahākāla diwujudkan dalam bentuk tertentu yang menyeramkan, lantaran berperan sebagai pelindung secara harfiah. Melawan dan menghancurkan semua rintangan, iblis, dan gangguan. Terkesan mirip dengan tampilan Virabhadra dan Bhadrakālī yang ganas, sebagai bentuk kemarahan Śiva atas kematian Satī, istrinya.

source: baronet4tibet.com

Meskipun memiliki tampilan yang menyeramkan, sejumlah kualitas positif Mahākāla membuatnya dianggap sebagai emanasi atau pancaran dari sosok khas Buddhisme timur: Avalokiteśvara, seorang Bodhisattva yang Mahāsattva, makhluk agung calon Buddha masa depan dengan karakteristik pencapaian nan paradoks. Apalagi menurut beberapa subsekte Tantrayāna, Mahākāla berperan dalam pencapaian kebuddhaan oleh Pertapa Gotama (Siddhārtha Gautama). Versi tersebut, tentu saja hanya dipercaya secara terbatas.

Barangkali, saking kuatnya eksistensi Śiva dan Avalokiteśvara sebagai entitas spiritual, koneksi yang dibuat antara keduanya relatif lebih istimewa. Śiva dan Avalokiteśvara berbagi predikat agung, walaupun dengan latar belakang peristiwa fantastis serta pemaknaan yang berbeda. Dalam hal ini, secara khusus, baik pemuja Śiva maupun Avalokiteśvara mengklaim bahwa versi mereka lah yang benar.

Source: huffingtonpost.com

Foto di atas, Avalokiteśvara disebut sebagai Rakta Lokeshvara yang berarti “Red Lord of The World” dan sedang melakukan meditasi. Di sisi kanan kirinya, dijelaskan merupakan sosok para dewa Hindu yang muncul dari hasil emanasi. Silakan diamati, ada berapa figur dewata Hindu yang dapat Anda kenali?

Contoh lainnya. Bagi Anda yang pernah bertandang ke Thailand dan mendarat di Bandara Suvarnabhumi, pasti bisa melihat instalasi seni patung berupa fragmen kisah mitologis “Samudra Manthan”. Legenda Hindu ini menceritakan upaya para dewa dan makhluk Asura (raksasa, musuh dewata) mengaduk samudera menggunakan gunung yang dililit tubuh Naga Basuki, demi mendapatkan minuman keabadian, Amṛta atau yang akrab disebut Tirta Amerta.

source: allabouthinduism.info

Dari proses pengadukan tersebut, beragam objek muncul. Baik berupa mustika, maupun racun. Dikisahkan, ada racun bernama Halāhala yang paling mematikan di seluruh semesta. Tidak ada Asura maupun dewa yang sanggup menanganinya. Hingga akhirnya, Śiva turun tangan. Ia menenggak racun tersebut, kemudian ditahannya di tenggorokan. Karena akan membahayakan jika tertelan. Akibat kejadian tersebut, bagian tenggorokan Śiva pun membiru. Dari peristiwa ini, Śiva mendapat gelar Nīlakaṇṭha (nīla: biru, warna nila; kaṇṭha: tenggorokan, kerongkongan). Oke sampai di sini.

Nah, dalam Buddhisme Mahāyāna, Avalokiteśvara juga mendapatkan sebutan serupa. Bedanya, tidak ada embel-embel kisah “Samudra Manthan”. Pemaknaannya beragam. Salah satunya, Avalokiteśvara yang welas asih menyelamatkan makhluk semesta dengan menenggak racun segala bentuk keburukan. Bahkan sampai dibakukan dalam bentuk kidung pujian yang namanya gamblang: Nīlakaṇṭha Dhāranī. Kendatipun isinya terkesan paganisme dan tidak selaras dengan pokok utama ajaran Buddha, kidung ini sangat populer bagi umat Buddhisme Mahāyāna, Tantrayāna (bahasa Sanskerta), maupun penganut kepercayaan tradisional Tionghoa (bahasa Tionghoa).

Ditilik dari sumbernya sebelum diterjemahkan serta ditransliterasikan ke dalam bahasa Tionghoa, Nīlakaṇṭha Dhāranī lebih muda beberapa abad dibanding kitab-kitab kuno Hindu yang menceritakan tentang “Samudra Manthan”. Fakta. Terlebih dalam Nīlakaṇṭha Dhāranī juga tercantum nama-nama dewa Hindu lainnya.

Jangan lupa, di Tiongkok dan Asia Timur secara umum, Avalokiteśvara yang sebenarnya laki-laki malah diidentikkan dengan sosok dewi bernama Guanyin. Alasan dasarnya, sifat Avalokiteśvara yang welas asih memberi kesan feminim. Lengkap dengan mitos kisah bakti Putri Miao Shan yang rela mencongkel kedua mata demi mengobati ayahnya.

Dewi Guanyin
Dewi Guanyin

Bukan hanya Mahākāla, Tantrayāna juga memiliki figur Maheśvara. Entah apakah Mahākāla dan Maheśvara merupakan sosok serupa atau berbeda. Kembali, Maheśvara merupakan manifestasi Śiva. Bahkan Maheśvara dikenal lebih luas di Jepang dan Korea sebagai pelindung bernama 大自在天 (Dazizaitian), tentu dengan rupa yang berbeda. Komplet dengan aksara khusus “i” dalam tulisan Siddha, sebagai simbol identik.

Semua ini merupakan sekelumit sinkretisme yang dialami figur Śiva di Nusantara dan sebagian kecil Asia Timur. Lebih luas, sosok

Dazizaitian
Dazizaitian

Śiva juga menjadi bagian dari agama-agama kuno lainnya di Asia utara dan barat laut. Menunjukkan bahwa pakem mysterium tremendum et fascinossum dalam telaah teologi umum mampu melanggengkan sebuah figur mistis.

[]

Disclaimer: Tulisan ini dibuat bukan untuk menyinggung siapa pun. 🙂