Ngapain Takut Medical Checkup?

Photo by Hush Naidoo on Unsplash
19 April 2018

DATANG ke kantor agak telat Kamis lalu, ada segaris plester luka di lengan sebelah kanan. Baru selesai medical checkup.

“Kenapa kamu, Gon? Habis donor darah?”
“Bukan. Dari klinik tadi, MCU.”
“Hah? Kamu sakit? Sakit apa? Kok sampai harus periksa darah segala.”
“Enggak lagi sakit kok. Ya checkup biasa aja. Sudah lama dari yang terakhir. Mumpung lagi murah juga. Kamu mau?”
“Enggak, ah. Takut.”
“Takut darah? Jarum?”
“Takut kalau ternyata ada kenapa-kenapa.”

Tidak hanya satu atau dua kenalan yang berkomentar begitu. Sejak pertama kali menjalani prosedur general checkup di Samarinda sekitar lima tahun lalu, selalu ada saja teman yang justru menghindarinya dengan alasan takut. Padahal biaya bukan jadi satu masalah saat itu, karena bisa menggunakan asuransi kantor yang layanannya mencakup pemeriksaan kesehatan. Jadinya, gratis.

Sangat manusiawi untuk merasa takut terhadap apa saja. Apalagi untuk hal-hal yang berkenaan dengan masa depan kita. Semuanya masih misteri, dan baik atau buruknya baru terbukti saat terjadi. Nanti.

Namun, akan lebih baik bila kita tetap bisa menyikapinya secara logis, serta mempersiapkan diri semaksimal mungkin jika suatu saat terpaksa harus berhadapan dengan ketakutan tersebut. Setidaknya, supaya dampak dan kejutan yang dirasakan tidak seheboh yang dikhawatirkan.

Oleh sebab itu, menolak melakukan general checkup lantaran takut nantinya ketahuan mengidap penyakit, atau berpotensi mengalami gangguan kesehatan tertentu, sama saja dengan menghindari kenyataan. Selain itu juga mengurangi kesempatan atau peluang penanganan yang dapat dilakukan. Membuang atau memperpendek waktu yang semestinya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.

“Cuma, kan … gara-gara takut, nanti malah bisa muncul macam-macam. Rasanya masih sehat kok.”
“Tidak ada keluhan kesehatan sama sekali?”
“Iya.”
“Yakin?”

Ketika pertanyaan seperti di atas bisa memunculkan keraguan atas kondisi kesehatan Anda secara global, berarti poinnya ada dua: Anda hanya bisa mengira-ngira, berikutnya, tak bisa dimungkiri bahwa pemeriksaan kesehatanlah cara untuk menghilangkan keraguan tersebut.

Blood pressure checking.
Medical-themed photo. Source: By rawpixel.com on Unsplash

Begini ilustrasinya.

Bukan tanpa alasan mengapa saya memutuskan untuk memberanikan diri, mengalokasikan waktu (datang ke rumah sakit, membuat janji, berpuasa, dan datang lagi keesokan harinya untuk konsultasi hasil pemeriksaan) sekitar lima tahun lalu. Profesi sebagai seorang jurnalis harian membuat saya relatif nokturnal. Terbiasa pulang dan memulai tidur di atas pukul 2 pagi, dan baru memulai aktivitas (baca: bangun) esoknya menjelang tengah hari. Seringkali melewatkan sarapan, doyan nasi (apalagi pakai ikan asin tipis garing, sambal terasi ala Surabaya, tahu tempe, plus lalapan), suka banget minum es teh manis. Sejurus itu, saya relatif gampang mengantuk di siang atau sore hari, dan sangat mudah tidur-tidur ayam dalam situasi yang sangat tidak kondusif sekalipun. Saat mengendarai sepeda motor, misalnya. 😅

Dari gejala-gejala tersebut, banyak orang berceletuk: “Coba kamu periksa gula darah. Hati-hati diabetes, lho.”

Sedikit terdengar menyumpahi, dan langsung memunculkan gambaran menakutkan: Gimana ya kalau ternyata kencing manis? Ngeri, kan? Lukanya basah terus, bisa diamputasi … dan sebagainya, dan sebagainya.”

Sedilematis apa pun pertimbangan yang muncul dalam pikiran, saya tidak bisa membantah fakta bahwa sedang gampang sekali mengantuk, dan katanya ialah salah satu pertanda penyakit kencing manis. Sekuat apa pun saya menolak, saya tetap tidak punya jawaban pastinya. Justru disiksa oleh pikiran sendiri.

Pemeriksaan gula darahlah cara terbaik menjawab dugaan tersebut.

Hasilnya … gula darah normal, malah cenderung rendah. Lega, sudah pasti. Ditambah bonus beberapa poin lain, yang barangkali perlu diperhatikan di masa depan. Dua di antaranya adalah kolesterol, dan fungsi hati. Baik kolesterol “baik” (HDL) maupun kolesterol “jahat” (LDL) ternyata sama-sama di bawah normal (pantesan agak oon-oon… 😂).

Dari hasil pemeriksaan tersebut, saya masih berkesempatan untuk menyesap es teh manis, menyantap nasi dengan porsi normal, sekaligus berupaya menjaga atau meningkatkan gaya hidup yang sudah berjalan. Sedangkan serangan kantuk yang seolah intensif, benar-benar disebabkan waktu tidur yang tidak teratur serta kelelahan. Dalam hal ini, satu dua keraguan berhasil dihilangkan, sehingga bisa fokus untuk menangani masalah lain.

Ada lagi contoh kedua. Yang ini jauh lebih deg-degan, dan nyaris bikin frustasi. Berkaitan dengan kondisi darah, dan membuat saya tidak bisa/tidak boleh lagi mendonorkan darah ke PMI. Entah apakah status itu sudah berubah per saat ini, atau masih tetap sama.

Singkat cerita, dari pendonoran terakhir yang saya lakukan kala itu, pemeriksaan PMI mengindikasikan bahwa darah saya berstatus undetermined. Kemungkinan paling buruknya, saya terinfeksi HIV/AIDS!

Kurang mengerikan apa, coba? Mendengar informasi tersebut dan berusaha mencernanya sebaik mungkin. Pasalnya, saya belum pernah melakukan hubungan seksual, apalagi sembarangan; tidak menggunakan narkotika suntik; tidak (belum) bertato, apalagi secara sembarangan. Pokoknya jauh dari faktor-faktor risiko.

Saya yang lumayan panik kala itu, bisa saja hanyut dalam kebingungan dan memilih untuk mendiamkan informasi ini. Menyimpannya rapat-rapat, dan melanjutkan hidup di bawah bayang-bayang awan hitam. Aneka skenario dan adegan-adegan kehidupan pun bermunculan. Semuanya berupa imajinasi negatif.

Kemudian saya berusaha sadar, memastikan semua langkah yang bisa dilakukan, dan memeriksakan diri dalam VCT. Hari itu juga! Walaupun harus melewati prosedur birokratis seperti bertemu dan meminta rujukan dokter kepala PMI setempat, dan seterusnya, dan seterusnya.

Hasilnya, negatif atau non-reaktif.

Untuk cerita lengkapnya (dan melihat lembaran hasil pemeriksaan yang tidak boleh dibawa pulang oleh pasien) silakan dibaca di “Tak Bisa Donor Darah Lagi”.

Andaikan saja, amit-amitnya ya, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tubuh kita bermasalah, maka kita tetap bisa merdeka mengambil sikap. Ingin benar-benar fokus dan bertekun hati dalam penanganannya, atau bisa saja kita menjadi lebih menghargai hidup. Menghayati hari demi hari yang kita jalani.

Bukankah manusia memang cenderung menyia-nyiakan sesuatu, sampai akhirnya kehilangan dan menyesalinya?

Semoga kita selalu sehat, dan mampu mempertahankannya.

Kalaupun sedang sakit, semoga kita berkemampuan menghadapinya.

[]