3 Nafas Likas

18 October 2014

SERUAN “Majuah-juah!” bukan sekadar sapaan perjumpaan atau salam perpisahan bagi warga Karo, Sumatera Utara (Sumut). Seruan itu merupakan doa untuk keberuntungan, kesehatan, kesejahteraan, kelengkapan, dan keselarasan hidup. Agaknya, empat dari lima aspek tersebut tengah berlangsung dalam kehidupan Likas beru Tarigan, sampai saat ini. Ya, istri salah satu pahlawan kemerdekaan, Letjend Djamin Gintings itu dianugerahi usia panjang, hingga berkesempatan menyaksikan “3 Nafas Likas”–film tentang dirinya sendiri.

Tak terima nama ayahnya dijadikan bahan olok-olok anak lelaki yang kalah dalam permainan kelereng, Likas kecil (Tissa Biani Azzahra) diam-diam membalas dendam. Lewat dampak dari peristiwa tersebut, ayah Likas (Arswendi Nasution) mengajarinya soal kejujuran. Dengan ketegasan, tanpa kekerasan. Fragmen ini efektif menjadi sesi jabat tangan; sebuah “perkenalan”. Berlangsung di Sibolangit, awal tahun 30-an.

“Perkenalan” itu berlanjut dengan “perbincangan”. Penonton dibuat makin akrab dengan sosok Likas yang merupakan anak perempuan tertua di rumah itu, mengetahui kekagumannya terhadap profesi guru, menghadapi karakteristik sang ibu (Jajang C Noer) yang keras dan dramatis, serta sejumlah detail lainnya. Dengan sangat membebat, semuanya disajikan sebagai bagian pertama cerita dalam “3 Nafas Likas”. Gelombang emosional mewarnai interaksi antara Likas, ayah, dan ibunya. Khas orang Karo, dialog demi dialog disampaikan dengan lugas dan cenderung keras. Puncaknya, ketika sang ibu menangis mengutuk diri, tidak memberi restu Likas untuk pergi. Salah satu pihak tak bersedia kalah dalam pertentangan.

source: hiburan.kompasiana.com

Kemunculan wajah Atiqah Hasiholan sebagai Likas dewasa di balik rambut keriting tanggung sebahu, menjadi pembuka bagian kedua film karya sutradara Rako Prijanto ini. Tak lama sesudahnya, konflik baru kembali muncul. Kali ini terjadi pertentangan antara Likas dan batin sendiri. Menariknya, solusi disajikan lewat rekonstruksi budaya sosial yang terjadi kala itu. Layaknya sebuah dokumenter, reka ulang pola kehidupan sebuah keluarga Karo disuguhkan memikat, yakni tentang posisi perempuan dalam sebuah rumah tangga di era itu. Ketika perempuan harus menunaikan tanggung jawabnya sejak dini hari, sebelum akhirnya bisa beristirahat menjelang dini hari kembali. Bagi para penggiat Feminisme, peneliti Sosiologi Budaya, maupun pelaku Etnomusikologi, tayangan ini pasti memberikan kesan tersendiri.

Lakon Djamin Gintings (Vino G Bastian) juga hadir di bagian kedua. Pada bagian ini, perhatian penonton dibawa kian kemari. Antara mengamati tumbuhnya asmara antara Likas dan Djamin, kekhasan budaya dan tutur bahasa Karo, perkembangan karakter para lakon, pergolakan militer jelang kemerdekaan, kepahitan hidup, interaksi dengan tokoh-tokoh baru yang memberikan perubahan besar, maupun bumbu humor yang ringkas.

source: kapanlagi.com

Khusus di bagian ini, “3 Nafas Likas” menawarkan sensasi berbeda sebuah film biografi. Suasana peperangan di berbagai medan dan efek ledakan dipresentasikan dengan serius. Mendekati terkesan epik. Pasalnya, adegan-adegan itu terjadi dengan latar belakang bangunan tua yang masih berdiri di Dolok Sanggul, satu kecamatan di sebuah kabupaten. Kepiawaian tim produksi membangkitkan suasana pertengahan era 40-an di sana, memang sepatutnya dipuji.

Sebagai Likas dewasa, penjiwaan Atiqah di bagian kedua makin maksimal. Satu-satunya yang tersisa dari Atiqah hanyalah parasnya. Sedangkan polah tingkah dan gaya bahasanya benar-benar menunjukkan perempuan Karo pada masa itu. Lihat saja cara jalan dan intonasi berbicaranya. Setelah diperkenalkan dengan Nyonya Oey (Olga Lydia), barulah figur Atiqah yang selama ini kita akrabi hadir kembali. Intonasi berbicaranya memang jauh lebih halus dan tertata dengan sopan, akan tetapi ketegasan, sikap keras kepala, dan kekuatan perempuan tegar tetap terasa. Penonton ikut tersedot dalam aura dominannya, terlebih dalam adegan yang setting-nya berlangsung menjelang pergolakan Gestapu.

Tetap didasarkan pada kejadian nyata, bagian ketiga “3 Nafas Likas” berlangsung dengan ritme yang lebih santai. Konflik tak lagi terjadi. Likas paruh baya pun sudah bisa menikmati kehidupannya sebagai istri seorang petinggi, ibu, maupun wanita berpengaruh. Satu-satunya masalah yang ia hadapi adalah cengkeraman waktu; ketika keadaan merenggut tarikan napas ketiganya. Hanya menyisakan dirinya, dan rasa kehilangan, yang membuatnya terus bertahan.

[]