Sekolah

16 August 2012

DALAM tiga minggu terakhir, berasa trenyuh baca artikel berita soal panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) alias pendaftaran siswa baru di sekolah-sekolah swasta Samarinda. Setelah sekian hari pendaftaran dibuka, boro-boro ngomongin soal kuota siswa pada tahun ajaran baru, eh yang datang dan menunjukkan minat bersekolah di sana cuma kurang dari sepuluh orang. Di sisi lain, ada ribuan nama yang harap-harap cemas ingin diterima di sekolah-sekolah negeri, apalagi yang menyandang predikat favorit. Entah sesuai dengan minat dan kapasitas belajar si anak, atau hanya sekadar menghindari label “anak sekolahan … yang di mana tuh?

Pendaftaran Sekolah Favorit

Skemanya, giliran sudah positif nggak diterima di sekolah negeri, dan kalender pendidikan tahun ajaran baru makin dekat, baru kalang kabut mendaftarkan (atau didaftarkan) di sekolah-sekolah swasta yang kurang diminati. Itupun dengan prinsip: “ya sudahlah, ketimbang nggak sekolah.” Bahkan nggak sedikit yang berusaha mati-matian agar anaknya yang nggak diterima, bisa diterima, entah dengan cara yang seperti apa. Untungnya, tahun ini skema penerimaan siswa baru tidak lagi dengan tes, melainkan dengan penyusunan peringkat nilai Ujian Nasional (UN), kembali seperti metode penerimaan hingga tahun 2002 (kalo nggak salah).

Masih ada stigma, dengan menjadi siswa di sekolah negeri apalagi yang favorit, akan menjamin kualitas si siswa. Sedangkan bersekolah di swasta non populer hanya akan membuat siswa begitu-begitu saja. Walaupun ada juga yang beralasan bahwa dengan bersekolah di tempat yang terkenal, menjamin gengsi dan prestise sosial. Peduli setan dengan kualitas lulusannya kemudian.

Sementara itu, perihal kualitas pendidikan yang disuguhkan di setiap sekolah memang berbeda, tapi bukan berarti semua sekolah yang ada di Samarinda nggak bisa dibuat berkualitas. Berkualitas pada porsinya masing-masing, tanpa membuat satu sekolah harus berpatron pada sekolah lain yang kebetulan sudah punya aura superioritas dalam kategorisasi gengsi dan prestasi.

Pendaftaran Sekolah yang Sepi

Ada banyak sekolah swasta di Samarinda, dan sebagian besar merupakan sekolah yang dipandang tidak hanya sebelah mata, tapi dengan kelopak mata yang hampir tertutup, dan selalu dihantui ancaman pembubaran setiap tahunnya bila siswa di tahun ajaran baru tidak memenuhi kuota yang ada. Walaupun masih ada juga dua tiga sekolah swasta lain yang tetap digemari, memiliki kelompok konsumennya (baca: orangtua siswa) sendiri, dan tidak pernah kekurangan pendaftar setiap tahunnya. Sekolah-sekolah swasta tersebut malah menjadi alien di antara sekolah-sekolah swasta yang lain. Karena mereka memiliki status yang sama namun dengan antusiasme berbeda dari masyarakat.

Sampai pada poin ini, saya adalah orang yang (tanpa bukti empiris apapun) yakin bahwa kualitas dan dedikasi guru lah yang bisa memberikan perubahan bagi siswanya, dan pada akhirnya memberikan perubahan bagi kondisi sekolah itu sendiri. Sekolah yang buruk, pasti memiliki guru yang asal-asalan. Sedangkan sekolah buruk yang memiliki guru berkualitas, masih memiliki harapan untuk terbenahi. Walaupun seringkali, guru-guru yang berkualitas bisa dengan mudah “dibajak” (seperti dikompas preman) sekolah-sekolah yang sudah terkenal untuk menambah keterkenalan sekolah tersebut. Iming-imingnya, penghasilan dan fitur profesi yang lebih baik dibandingkan di sekolah swasta tempat awal mereka mengajar.

Pada checkpoint ini, dengan menggunakan guru sebagai parameter kualitas pendidikan, jelas sekolah swasta bakal memiliki kemungkinan yang tipis untuk bisa fokus membenahi kondisi dan meningkatkan kualitasnya. Wong, agent of change-nya sudah telanjur dibawa minggat. Si guru juga wajar bersikap realistis sih. Sebagai seseorang dengan kemampuan menilai mana yang lebih baik untuk nafkah hidup, itulah yang dipilih. Jadi, sekolah negeri favorit bakal tetap menjadi favorit dan makin dikenal, karena piawai menambah tim pengajarnya dengan orang-orang yang berkapabilitas istimewa. Sedangkan sekolah swasta tetap menjadi sekolah kelas dua kuadrat, karena nggak benar-benar sempat berubah dan berbenah.

Poin berikutnya. Masih ingat dengan dua tiga sekolah swasta dengan segudang penggemar yang sudah disebutkan sebelumnya? Kenapa mereka bisa memiliki kondisi yang berbeda dibanding sekolah swasta yang lainnya? Jawabannya, mungkin terletak pada something external.

Tanpa langsung melihat kualitas pendidikan yang diberikan dan dedikasi guru yang mengabdi di dalamnya, sekolah-sekolah swasta yang tak bakal kehabisan siswa setiap tahunnya itu ternyata memang berbenah, dan terus meningkatkan pamornya lantaran … KEPERCAYAAN.

Sekolah negeri dan berlabel favorit memperoleh segudang formulir pendaftaran lantaran orangtua siswa percaya bahwa sekolah tersebut bisa membuat anaknya pintar, dan bisa dibanggakan. Kenyataannya, status “negeri” dan gelar “favorit” yang melekat pada sekolah tersebut makin mempertebal alasan untuk percaya (bahwa sekolah tersebut memang sangat bagus). Sedangkan untuk sekolah swasta, asumsinya, nama yang asing dan status yang entah, diakui atau disamakan, membuat rasa percaya dari orangtua siswa ibarat harta temuan yang berharga, alias jarang ada.

Dua tiga sekolah swasta yang mendapatkan kepercayaan dari orangtua siswa itu bisa jadi disebabkan oleh kedekatan personal. Kebetulan sekolah-sekolah swasta tersebut berdiri sebagai sekolah dari yayasan keagamaan. Orangtua yang menyekolahkan anaknya di sana, kebanyakan juga merupakan alumni sekolah yang sama. Jadi, teorinya, orangtua mempercayakan pendidikan anak-anak mereka di sekolah swasta itu karena mereka juga pernah mengalami pendidikan di sana. Mungkin pada masa-masa mereka bersekolah dulu, kualitas dan keadaan sekolah swasta itu tidak jauh beda dengan sekolah swasta kebanyakan yang ada saat ini. Namun terbantu dengan label eksternal.

Kemudian, masih dengan teori yang sama, kepercayaan yang diberikan para orangtua siswa menjadi trigger sekaligus bahan bakar untuk manajemen sekolah agar mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah swasta itu. Secara perlahan atau revolusioner, upaya tersebut berbuah menghasilkan predikat positif. Karena secara langsung, kepercayaan orangtua menjadi beban untuk pembuktian. Apalagi kepercayaan ini dibebatkan kepada institusi pendidikan, yang sudah seharusnya akrab dengan penerapan tanggung jawab dan komitmen terhadap publik.

Jadi, apa inti dari tulisan ini?

  1. Pertama, sekolah swasta dipandang kurang baik karena stigma.
  2. Kedua, guru adalah kunci untuk mengubah stigma tersebut.
  3. Ketiga, upaya menuju perbaikan bisa diakselerasi lewat kepercayaan.

Lalu, kenapa saya tidak berbicara tentang siswa? Bukan bermaksud berpihak, tapi siswa yang notabene anak-anak muda berkepribadian belum dewasa dan cenderung labil, cenderung masih mudah untuk diarahkan oleh guru yang memang memiliki kemampuan. Satu contoh, pelajaran matematika umumnya dibenci, namun dengan guru yang piawai dan tidak mengintimidasi, ternyata nggak sedikit siswanya yang menguasai matematika, atau setidaknya menyukai sosok guru matematika itu. Minimal, mereka belajar tanpa rasa benci dan menghindari. That’s better. Terakhir, kalau memang ada siswa yang bebal, itu ibarat intan kasar, ada yang bisa diasah menjadi berlian indah, namun ada yang ternyata tidak bisa diasah namun tetap bisa indah dengan gaya yang berbeda.

Demikian.

[]