Aruna & Lidahnya
ADA apa dengan Aruna, atau dengan lidahnya? đź‘…
“Wow! Pelat KB. Tumben-tumbenan, nih,” saya seketika membatin di adegan pembuka “Aruna dan Lidahnya”. Layar-layar judul dan introduksi bersusulan setelahnya.
Tanpa pernah membaca cerita asalnya–dari novel berjudul sama karya Laksmi Pamuntjak–maupun artikel-artikel ulasan yang dirilis dekat penayangan perdana, lumayan lah kaget melihat Kalimantan Barat (Kalbar) jadi salah satu latarnya.
Sebagai penonton awam, saya tidak merasa “Aruna & Lidahnya” adalah film kuliner, melainkan drama romansa. Meskipun di sejumlah bagian, ada beragam menu yang ditampilkan dominan, hingga malah dijadikan aspek utama.
Awalnya, sempat terkecoh waktu menyaksikan Aruna (Dian Sastrowardoyo) memasak sop buntut dengan hasil akhir yang tampak sangat sedap. Kemudian langsung disantapnya sambil berbicara ke arah kamera. Beruntun dari situ, selamat digoda oleh roti panggang keju, rawon pakai tulangan, Kacang Kuah Cakwe, Choipan, dan seterusnya.
Ibarat bingkai lukisan berornamen ukir, berpulas cat warna emas dengan tekstur sapuan halus, begitulah sajian-sajian penggugah selera tersebut semestinya ditempatkan. Tersaji indah secara audiovisual, tetapi tidak sampai mengerdilkan cerita sebagai objek utama, sebagai “lukisan” yang dibingkainya.
Antara sayang tidak sayang, piguranya kebesaran. Lebih menarik perhatian. Plot tentang dugaan flu burung yang digulirkan–entah apakah pleketiplek seperti di dalam bukunya, atau sudah dimodifikasi kembali–terasa agak lemah, dan terkesan diada-adakan. Pada intinya, “Aruna & Lidahnya” seolah-olah diproduksi untuk memamerkan masakan-masakan dari beberapa kota di Indonesia. Menjadi media untuk showcasing. Sementara kisah Aruna-Bono (Nicholas Saputra)-Nad (Hannah Al Rashid)-Farish (Oka Antara) jadi jahitannya.
Karena itu pula, alih-alih lekat dengan karakter pakar dan penyelidik endemik, persona Aruna justru lebih pas sebagai pelancong dan pelahap berselera kuat, yang kebetulan juga membawa gundah gulana soal asmara ke mana-mana.
Saya membayangkan, bila embel-embel dugaan flu burung dihilangkan pun, “Aruna & Lidahnya” tetap bisa memberikan kesan sinematik yang sama. Konteksnya saja yang bergeser. Menjadikannya film tentang empat orang berwisata ke luar pulau Jawa, makan-makan seru, serta punya kisah cintanya masing-masing. Toh, mereka berempat tampil begitu santai, mengalir, dan terlihat tak berbeban, ya … benar-benar seperti sedang liburan bersama.
Di sisi lain, parade makanan dalam “Aruna & Lidahnya” memang sungguh memukau. Rasanya, lagi-lagi sebagai penonton awam, belum pernah ada film Indonesia yang mengekspose hidangan sedemikian rupa. Pengambilan gambar jarak dekat serta tata suara yang presisi menghasilkan detail yang kaya dan berlimpah. Tidak sekadar cantik, sekaligus amat sensorik.
Kepulan asap, bunyi gemercik air kuah, lapisan daging sapi berwarna kemerahan yang membuat kita sadar betapa empuknya potongan tersebut, suara kerisik bagian luar roti panggang yang renyah saat dibelah pisau, bunyi keremus kunyahan, dan lain-lain.
Bagi saya, dengan menikmati sensasi-sensasi indrawi itu saja, menonton “Aruna & Lidahnya” sudah terasa cukup menyenangkan. Tak perlu terlampau ambil pusing soal yang lain-lainnya, termasuk perkara lidahnya si Aruna (dan … sikap tokoh Bono yang tidak konsisten; mengapa Aruna dan Farish pakai acara selonong-selonongan di antara tarian liong; ada toilet yang bagusnya di luar kewajaran untuk kelas jalur antarkota dalam provinsi di Kalimantan).
Paling-paling berasa lapar, kepingin makan sesudahnya … dan kepingin jalan-jalan ke Surabaya lagi, atau coba ke Pontianak lanjut Singkawang.
[]