Ego Feeding

301
views

BARU selesai beberapa hari lalu, tugas saya sebagai sukarelawan di TEDxJakarta 2018. Kalau tidak salah, komunitas TEDx juga sempat ada di Samarinda, kan? Dinamai TEDxTepian, dan sempat menyelenggarakan kegiatan perdananya pada Desember 2012. Entah mengapa, tak terdengar lagi kabarnya setelah itu.

2 hosts on TEDxJakarta 2018 stage. Road to ego feeding?
Silau karena pantulan di jidat.

Anyway, menjelang akhir acara, ada satu pernyataan menarik yang disampaikan di atas panggung.

Memberi makan ego itu memang menyenangkan.

Iya, menyenangkan. Hanya saja, ego kita akan melahap segalanya bak lubang hitam raksasa. Tak cuma hal-hal menyenangkan, termasuk juga semua ketidaknyamanan. Kita cenderung menerima semuanya tanpa kemampuan pilih-pilih. Semuanya terserap, masuk, langsung berdampak pada ego kita, dan kemudian memengaruhi pertimbangan serta tindakan ke depannya.

Apa pun bentuknya; pujian dan sanjungan, formalitas atas prestasi yang kita capai, penganugerahan, nama baik maupun popularitas, pengakuan atas kesuksesan dan perasaan sebagai seseorang yang penting, pengunggulan, sampai pembalasan keadaan, serta banyak lagi lainnya, semua bisa jadi makanan yang nikmat bagi ego kita yang selalu lapar.

Jangan lupa, atas hal-hal yang menyenangkan tersebut ego kita mustahil dibuat kenyang. Setelah dibuat mengembang karena kegembiraan, kita terdorong untuk terus mencari celah-celah keberhasilan yang baru.

Semua yang bikin senang dan menggembirakan, akan membuat ego kita membesar. Sensasinya bisa mencandukan, membuat kita ingin dan ingin lagi merasakan pengalaman yang sama, bahkan lebih. Baik dari lingkupnya, luas cakupannya, objek dan subjeknya, tingkatannya, signifikansinya. Pokoknya, harus ada penambahan dosis. Jika tidak, paling-paling dianggap receh atau beda level. Lebih baik buat orang lain saja.

Misal, pencapaian berjenjang. Awalnya bisa memberi dampak bagi warga kota setempat, ke ibu kota provinsi, ke kota besar pulau lain, ke tingkat nasional atau ibu kota negara, ke tingkat internasional atau ke kota luar negeri.

Sebaliknya, begitu pula ketika ego kita tanpa sadar berhadapan dengan “santapan” yang tidak menyenangkan. Alih-alih membesar, ego kita akan mengecil, menciut, tetapi tak sampai hilang. Ego kita tetap ada, dan tetap siap untuk dibuat mengembang kembali. Dari pengalaman tidak menyenangkan itu, kita terdorong menjauhi dan menghindarinya.

Seperti apa saja? Tinggal dibalik dari beberapa parameter di atas, atau versi negatifnya. Celaan dan hinaan, pengumuman atas ketidakberhasilan, penganugerahan cemooh, nama cemar maupun popularitas negatif, pengakuan atas kekonyolan dan perasaan sebagai seseorang yang kecil, diungguli atau dilangkahi oleh rival, sampai pembalasan gagal.

Emosi yang menjadi kunci. Ego mengembang, rasanya menyenangkan. Ego dikecilkan, rasanya tidak menyenangkan. Untungnya saja, manusia adalah makhluk dengan kemampuan melupakan, atau memulihkan perasaan. Sekadar dipulihkan, bukan sepenuhnya hilang dari ingatan. Itu saja masih lebih baik dibanding tak mampu beranjak dan melepaskan masa lalu. Makanya, setiap kali ada yang terkenang, pengalaman baik akan memunculkan kebanggaan dan keinginan merasakan kembali kegembiraan dari masa lalu; sedangkan pengalaman buruk akan memunculkan penyesalan, kekecewaan, dan aneka cara agar ingatan itu lekas berlalu. Seringkali sampai pakai cara menggoyang-goyangkan kepala, menutup telinga, membuat bunyi-bunyian seolah-olah tidak ingin mendengar sesuatu, padahal berasal dari dalam diri sendiri.

Semenyenangkan apa pun sebuah pengalaman yang ego feeding, atau setidakmenyenangkan apa pun sebuah pengalaman yang mengecilkan hati, pasti akan berlalu jua. Apa pun yang terjadi, ego kita akan/tetap bisa kembali ke ukuran semula.

Ego yang terus-menerus dibesarkan dan membengkak, pasti akan merasa tidak nyaman bila mengalami pengecilan biar hanya sedikit. Ego yang tertekan dan dikecilkan, pasti tetap akan membesar saat kita dapat menyadari bahwa masih mampu bersyukur dan berterima kasih atas hal-hal kecil.

Tidak perlu kejauhan ingin diterimakasihi oleh orang sekota, atau se-Indonesia, cukup bisa menyenangkan perasaan orang tua atau anak saja, kurang lebih, nilainya terkadang jauh lebih besar dari seisi dunia.

Sementara itu, di sisi lain, ego feeding hanya terasa bagi diri sendiri. Pada waktu kita merasa telah menjadi seseorang yang penting, telah melakukan sesuatu yang penting, telah memberi dampak yang penting bagi orang lain, mesti dipastikan kembali kepada orang-orang lain tersebut; apakah kita, dan apa yang telah kita lakukan, memang sebermanfaat atau berdampak sepenting itu bagi mereka?

Jangan sampai mau ditipu ilusi perasaan sendiri.


Setelah seluruh penonton bubar, menyisakan hanya para panitia dan sukarelawan di lokasi acara, ada satu lagi pernyataan menarik yang dilontarkan. Intinya barangkali begini; bahwa akan sangat sulit untuk memulai, dan lebih sulit lagi untuk meneruskan sesuatu yang terinspirasi/mengikuti/meniru/mengekor sesuatu yang lainnya.

Mesti ada kesamaan pengalaman (menyenangkan), aspirasi dalam menjalankannya, dorongan semangat agar bisa terus konsisten, atau malah ambisi supaya berhasil meningkatkannya. Jika tidak, wajar bila ada yang bertanya: “Buat apa?

[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

5 × five =