Apakah Saya Melakukan Mansplaining?

593
views

SAYA masih sangat awam dengan bahasan mengenai interaksi antargender dalam kehidupan sosial secara umum. Termasuk isu yang satu ini; mansplaining. Yaitu cara pandang dan tindakan pria terhadap wanita beserta segenap aspeknya.

Mansplaining bersifat negatif. Sebab dari sedikit yang baru saya pahami, pada dasarnya mansplaining adalah sikap sok tahu yang disampaikan pria untuk/dengan merendahkan wanita.

Sebagai prasyarat terjadinya mansplaining, penyampaian kesoktahuan tersebut sarat arogansi dan dominasi. Mengesankan bahwa pria selalu benar dan wanita tak lebih pintar, sehingga mereka harus didengarkan. Tanpa disadari, mansplaining sering atau selalu terjadi di sekitar kita. Tak tertutup kemungkinan, kita bahkan menjadi pelaku (pria) atau sasaran (wanita) mansplaining.

Beberapa contoh tindakan mansplaining yang kerap kita temui:

  • Wanita tidak diberi kesempatan berbicara.
  • Saat wanita berbicara, ia diinterupsi secara agresif oleh pria.
  • Pendapat wanita ditolak mentah-mentah tanpa penjelasan.
  • Tanpa dipersilakan, pria memposisikan dirinya sebagai juru bicara bagi wanita. Pria menjelaskan sudut pandang wanita, terlepas dari apakah penjelasan itu benar atau salah.

Dalam lingkungan masyarakat yang cenderung lebih modern, terutama terkait kesetaraan gender (pengarusutamaan) dan sikap saling menghormati antarindividunya, sekelompok wanita sudah memahami bahwa mansplaining ialah tindakan tidak patut. Bukan hanya berani melawan dengan mengutarakan pendapat, mereka pun berusaha membagikan pemahaman ini kepada sesama wanita, serta mengajarkannya kepada anak-anak sendiri. Termasuk bocah/remaja laki-laki, supaya terhindar dari Machismo, Toxic Masculinity, atau sifat jantan yang angkuh, tak bakal terima dikalahkan.

Sementara di lingkungan masyarakat yang lebih kecil (kota daerah, desa, kampung, dan sebagainya), sebagian besar wanita dibesarkan dan dididik menggunakan nilai-nilai kepatuhan. Wanita patut tunduk, tidak lain, dan itu menjadi kebiasaan bersama. Berani berbicara sedikit saja seorang wanita bisa dianggap liar, kurang ajar, tak berbudaya, dan berbudi pekerti rendah. Apalagi mau berdiskusi terbuka dan sejajar?

Maka dari itu, mansplaining bisa saja tergolong produk budaya, dan dilanggengkan olehnya.


Mana tahu saya melakukannya, saya memberanikan diri menulis soal ini lantaran judul di atas. Setidaknya agar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut.

  1. Apakah saya telah melakukan mansplaining?
  2. Jika iya, apakah saya sengaja melakukannya?
  3. Jika iya tetapi saya tidak sengaja, apa yang menyebabkannya menjadi sebuah mansplaining?
  4. Jika iya tetapi saya tidak sengaja, apa dampak dari tindakan mansplaining tersebut?
  5. Apa saja hal-hal lain yang perlu saya ketahui agar tidak melakukan mansplaining lagi?
  6. Apa yang harus segera saya lakukan setelah tidak sengaja melancarkan mansplaining?
  7. Apa saja yang harus diperhatikan saat menyampaikan sesuatu agar tidak menjadi mansplaining?

Berorientasi pada diri sendiri, pertanyaan-pertanyaan di atas dikemukakan demi menghindari Mansplaining di kemudian hari. Pasalnya, tidak semua orang, baik pria atau wanita, terlepas dari tidak tahu atau tidak mau tahu, memiliki pemahaman dan aspirasi yang sama terhadap hal ini. Tak bisa dimungkiri, Mansplaining juga merupakan produk budaya. Terlebih di Indonesia, ketika pria dikondisikan untuk selalu memiliki relasi kuasa tertentu dibanding wanita sedari kecil.

Berawal dari twit saya tempo hari.

Mendapatkan tanggapan sebagai berikut.

Screen shot of Twitter

Alih-alih tersinggung, saya tertarik untuk menelisik lebih jauh. Dimulai dengan membaca twit saya kembali, lalu beralih ke tanggapan yang diberikan supaya ketemu selisihnya. Khawatir, saya telah berlaku: “Komentar/twit dahulu, berpikir belakangan.” 😅

Saya #penasaran, which part did I define? Lebih berupa ungkapan menghargai kualitas tertentu pada wanita, dibanding sebuah upaya menjelaskan suatu kondisi yang tidak saya miliki. Mudah-mudahan saya tidak keliru menyampaikannya.

Selanjutnya, kalau “it is up to me and my kind of peep …” apakah berarti pria—saya—sebaiknya tidak mengutarakan pendapat tentang wanita? Ataukah baru berbicara setelah diizinkan, maupun saat ditanya? Apabila demikian, ya, tidak apa-apa juga, sih. Menjadi pelajaran bagi saya untuk diam saja, dan ini tentu berada di luar batasan benar versus salah. Diwangsulké mawon.

Screen shot of Twitter

Di sisi lain, apakah ini bisa dimasukkan ke kategori masalah komunikasi? Pesan disampaikan secara tertulis, justru menimbulkan polemik dalam pembacaan/penerimaan maksudnya. Apabila demikian, kesalahannya tentu pada pengutaraan saya.

Mohon maaf.

Maka, dalam situasi berbeda dan lebih terbatas, saya barangkali baru ingin mengutarakannya kepada mama, saudara wanita, pacar, teman dekat wanita, rekan kerja wanita saat bertatap muka. Bukan lewat media sosial, kepada khalayak anonim.


Terpisah, saya menemukan penjelasan ringkas dan aplikatif terkait Mansplaining dari Kim Goodwin lewat diagram berikut.

Diagram on mansplaining.
Ilustrasi: bbc.com

Saya mungkin bisa meraba-raba jawaban menggunakan diagram di atas.

[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

four + 6 =