Tionghoa Indonesia dan Tren Mandopop yang Senjang

25 December 2015

BERANJAK dari asumsi etnografis dan sosial budaya, dianggap wajar bila orang Jawa-Bali suka musik Karawitan; orang Jawa Tengah dan Jawa Timur gandrung Campursari; orang-orang Ogi memfavoritkan lagu Bugis yang salah satu ciri khasnya adalah lirik berfrasa “pappojiku rialému…”; ibu-ibu majelis taklim lebih senang dengan kasidah; serta para ikhwan dan akhwat anggota Rohis di sekolah maupun kampus juga lebih senang dengan Nasyid. Begitu juga anggapan terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia dengan Mandopop, lagu-lagu populer berdialek Mandarin dari beragam genre.

Asumsi di atas mungkin benar, bahwa orang-orang Tionghoa Indonesia secara umum sangat suka Mandopop. Akan tetapi, asumsi tersebut berjalan dengan timpang. Ada jurang kesenjangan antar-generasi yang cukup jauh, dan referensi yang mandek hingga hampir sepuluh tahun. Buktinya, tren Mandopop terakhir berlangsung sekitar tahun 2006 silam. Mentok sampai sekarang.

Kesenjangan referensi ini, saya bagi menjadi beberapa kategori.

>> Sekarang, sedikit sekali generasi millennials Tionghoa Indonesia yang menggemari, atau bahkan tahu banyak soal Mandopop terkini, kecuali yang akrab di pendengaran mereka kala masih berusia anak-anak. Beberapa judul di antaranya seperti: “老鼠愛大米” (laoshu ai da mi) dari Joice Guo, “當你孤單你會想起誰” (dang ni gudan ni hui xiang qi shei) dari Nicholas Teo, “童話” (tonghua) dari Michael Guang Liang, atau “小薇” (xiao wei) dari Huang Pinyuan.

Rasa-rasanya, sepanjang rentang waktu antara tahun 2005-2010, empat lagu ini tidak akan pernah absen dari pesta pernikahan, pesta ulang tahun, atau sesi karaoke bareng di Indonesia. Setidaknya, di kota saya sendiri: Samarinda.

https://www.youtube.com/watch?v=XuY_a9n_W90

Penyanyi Mandopop yang diketahui hanya sebatas Nicholas Teo, Michael Guang Liang, David Tao, JJ Lin, A Niu, Lee Hom, Jay Chou, Andy Lau, atau Jackie Cheung. Pun sekadar pada judul-judul hits-nya saja. Akhirnya, bosan sendiri.

Bagi para millennials, popularitas Mandopop kalah dengan pop barat dan EDM, K-Pop, juga pop Indonesia.

>> Sedangkan generasi usia late 20’s dan early 30’s memang boleh dibilang mempunyai cakupan referensi yang cukup luas. Mereka pernah mendengar lagu-lagu tempo dulu kegemaran para orang tua, melewati masa puber dengan soundtrack serial Taiwan yang dibawakan para boyband dan format kelompok musik lainnya, serta mendengar beberapa lagu sangat tua yang daur ulang secara kreatif. Namun sayangnya, tidak banyak lagi yang masih mengikuti perkembangan Mandopop. Kendati demikian, mereka bisa lebih leluasa memilih nama penyanyi maupun judul lagu yang akan dibawakan saat didaulat bernyanyi di depan umum, maupun karaoke.

Selain nama-nama penyanyi di atas, angkatan ini juga akrab dengan: Teresa Teng, F4, 5566, Richie Ren, Rainie Yang, Cyndi Wang, Jolin Tsai, Karen Mok, F.I.R, Faye Wong, Candy Lo, Rene Liu, Alan Luo, Stefanie Sun, 183 Club, S.H.E, Fahrenheit, A Mei, MayDay, Coco Lee, dan banyak lagi lainnya, yang saking banyaknya sampai-sampai baru ingat setelah checkout ruangan karaoke.

>> Pada generasi para orang tua (kelahiran tahun 40-an/50-an/60-an/70-an), lagu-lagu berbahasa Tionghoa tidak hanya menjadi media hiburan, namun juga penguat identitas, menumbuhkan kebersamaan, serta solidaritas. Lebih bersifat sosial. Itu sebabnya, judul-judul lagu Mandopop yang populer ketika itu mewakili banyak tema.

Mulai tentang percintaan, seperti: “是否真的愛我” (shi fou zhende ai wo) yang disadur menjadi lagu berbahasa Indonesia, “別問我是誰”, “陪酒” yang biasanya dinyanyikan sambil ngebir, “不了情” (bu liao qing), “夜上海” (ye shanghai), “玫瑰玫瑰我愛你” (meigui meigui wo ai ni) atau “Rose, Rose, I Love You”; juga tentang kebanggaan etnik dan kebersamaan, seperti “東方之珠” (dongfang zhi zhu), “團結就是力量” (tuanjie jiushi liliang) yang liriknya hanya satu kalimat dan iramanya sama persis seperti “Glory Glory Man. United”, “朋友” (pengyou), dan lainnya.

Tak hanya lagu-lagu berdialek Mandarin saja, generasi ini juga akrab dengan hits dengan bahasa sub suku Tionghoa. Di Indonesia, utamanya adalah dialek Min atau bahasa Hokkian. Salah satunya yang legendaris seperti lagu motivasi untuk menjalani kerasnya kehidupan: “酒矸倘賣無” (jiu gan tang mai wu/Hokkian: ciu kan tang bue bo), lagu berirama rock yang diangkat dari salah satu film mengharukan. Ada pula “愛拼才會贏” (ai pin cai hui ying/Hokkian: ai pia cia e ya) yang seluruh liriknya bukan dialek Mandarin. Bisa jadi karena tak tergantikan, atau tidak ada penggantinya, lagu-lagu ini bertahan lebih dari setengah abad.

https://www.youtube.com/watch?v=uYHOUZaBLEk

https://www.youtube.com/watch?v=p267W1G5HtE

Uniknya, ada sebagian kecil dari angkatan ini yang berani bereksperimen. Kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Tionghoa sebelum ditutup massal pada 1965, membuat mereka mampu mengalihbahasakan beberapa judul lagu bahasa Indonesia ke dalam bahasa Tionghoa. Mulai lagu-lagu nasional, lagu pop Indonesia era 70-an, keroncong Mandarin, sampai “Cucak Rowo”-nya Didi Kempot lengkap dengan lirik agak saru. Dan jagonya ada di Samarinda. Hahaha!

>> Generasi para kakek/nenek (atau yang sudah menjadi buyut, bila masih hidup), punya referensi yang klasik. Lagu-lagu era mereka, awalnya masih diputar dari piringan hitam, dan telah berbelas kali didaur ulang, sampai kini berbentuk CD kompilasi audiophile.

Jujur saja, untuk kategori ini, hanya beberapa judul yang pernah saya dengar, atau yang baru saya ketahui sebagai karya klasik era tahun 20-an/30-an. Salah satunya seperti yang dipopulerkan biduan Zhou Xuan (1918-1957): “心戀” (xin lian), yang beberapa tahun lalu sempat memantik diskusi tentang siapa yang menyadur dan disadur versus “Indonesia Pusaka”?

Zhou Xuan

http://content.12530.com:8088/cmsdata/batchmusic/20080123/vET1b4HC.mp3

Dulu, waktu masih zamannya Multiply, sempat menulis tentang ini, dan menemukan data bahwa “Xin Lian” mulai populer sejak tahun 1930-an. Sayang, Blog Multiply kadung ditutup, sebelum sempat menyalin data tulisan. 🙁

Sebenarnya, beberapa judul di atas, yakni “不了情”, “夜上海”, “玫瑰玫瑰我愛你” juga merupakan lagu klasik. Boleh jadi, kegemaran pada lagu-lagu ini ditularkan dari generasi kakek/nenek ke anak-anaknya (generasi papa/mama).

Mandopop setelah 2010 pun nyaris tak terdengar gaungnya di antara para Tionghoa Indonesia. Saat makin banyak yang asing dengan belantika musik berbahasa Mandarin. Entah bagaimana isi daftar Top 40-nya? Siapa pendatang barunya? Apa judul single atau album teranyarnya? Apa genre yang sedang tren? Dan sebagainya.

Jadi, apakah orang Tionghoa Indonesia suka dengan lagu-lagu Tionghoa? Not really.

[]

Pengin karaoke…