Merayakan Akal Sehat

10 October 2017

DALAM tradisi agama Samawi, konon, kejahatan pertama manusia di muka bumi ini adalah pembunuhan. Yakni ketika Qabil/Cain/Qayin/قابيل/הֶבֶל menewaskan saudaranya sendiri, Habil/Abel/Hevel/هابيل/קַיִן. Kejahatan ini dilatarbelakangi rasa iri, cemburu, dan ketidakpuasan.

Qabil dicap sebagai manusia tak bermoral setelah membunuh saudaranya sendiri. Tindakannya dikutuk Tuhan dan otomatis berupa dosa; di luar perintah-Nya, menyebabkan kematian atas orang lain, putusnya keturunan, serta menimbulkan kesedihan pada orang-orang yang ditinggalkan korban.

Source: Biblestudytools.com

Setelah peristiwa tersebut, seolah termaktub ketentuan bahwa manusia tidak boleh membunuh sesamanya. Ketentuan ini seakan terus dibakukan sampai beberapa milenium kemudian, dan masih berkisar pada urusan perintah ilahiah. Salah satunya adalah pengalaman Nabi Musa, lewat turunnya “Sepuluh Perintah Allah”. Plot berbeda dialami para nabi lainnya.

Dalam tradisi Buddhisme, kejahatan pertama manusia setelah berlangsungnya sejumlah tahap evolusi fisik dan mental adalah pencurian. Alasannya adalah keserakahan dan kemalasan. Sebelumnya pun, sudah ada indikasi bahwa komunitas mula-mula ketika itu mulai menyadari munculnya perasaan tidak menyenangkan, dan mereka menganggap aktivitas pemicunya sebagai kejahatan.

Tidak disebut siapa nama pelakunya. Sebab ada dalil yang mengisyaratkan bahwa pada masa itu manusia belum kenal konsep nama sebagai pembeda satu individu dengan yang lainnya. Satu hal yang pasti, mereka telah jadi sebuah populasi.

Korban pencurian alami kesusahan, termasuk sakit hati. Lantaran hasil kerja keras mengumpulkan makanan, amblas begitu saja. Efek dominonya, korban benci pada pelaku. Kebencian itu bisa saja dilampiaskan dalam bentuk dendam, atau malah tindakan balasan. Lagi-lagi menghasilkan kejahatan lewat pikiran, ucapan, maupun perbuatan. Aksi saling balas itu bisa menjadi lingkaran setan, yang makin lama kian berkembang, seiring tumbuhnya kreativitas. Kejahatan dan tindakan amoral pun bertambah jenisnya, bersemboyan: “pokoknya dia harus menderita!”

Dua kisah menyangkut moralitas di atas bersumber dari ajaran agama. Keduanya memang memiliki karakteristik yang berbeda (Samawi/non-Samawi). Namun tetap bisa disimpulkan bahwa agama adalah formulasi paling gampang untuk menanamkan nilai-nilai kemoralan. Bahkan sejak lebih dari 2.000 tahun silam. Dampaknya, banyak yang beranggapan bahwa ajaran agama adalah satu-satunya jalan terbaik untuk menghasilkan manusia bermoral. Mereka menyebut agama adalah sumber tunggal pedoman moralitas, menetapkan batasan atas sifat-sifat manusiawi yang merusak. Aturan agama menjadi aturan moralitas lengkap dengan konsep rewards and punishments-nya (dosa dan pahala), serta tidak ada moralitas di luar agama.

Pelanggarnya dijuluki manusia tidak bermoral, dihujat sesamanya, mendapatkan dosa, dan bakal diganjar neraka. Sebaliknya, orang-orang yang taat dengan aturan agama disebut memiliki kualitas moral yang baik, dielu-elukan, dilimpahi pahala, serta dijanjikan masuk surga. Penjelasan seperti inilah yang selalu kita dapatkan sejak kecil hingga sekarang (tapi kalau pengalaman Anda berbeda, selamat! Berarti lingkungan Anda mendukung untuk menumbuhkan sikap kritis).

Efek sampingnya, sebagai formulasi paling gampang untuk mengajarkan nilai-nilai kemoralan, aturan agama kerap dijejalkan begitu saja. Dengan embel-embel “pokoknya”, semua umat beragama diajarkan untuk “tidak boleh begini” dan “tidak boleh begitu”. Penyampaian tentang nilai-nilai moralitas berupa indoktrinasi. Tanpa peluang untuk mempertanyakan, tanpa kesempatan untuk memahami latar belakang, atau tanpa ruang untuk mencari penjelasan. Biar lebih paham, dan bisa dijalankan lebih alamiah tanpa paksaan.

Ironis. Toh, walaupun sudah beragama sejak lahir, masih banyak yang bertindak amoral. Korupsi, menyebar fitnah dan dusta, menganiaya, dan sejenisnya. Amaran dalam agama cuma dianggap formalitas belaka.

Jika demikian, apakah sudah saatnya kita lebih banyak membicarakan soal moral lewat pendekatan akal sehat?

Sebagai contoh, dengan akal sehat, mantan Menteri Agama SDA mungkin akan berpikir berulang kali sebelum menyelewengkan dana penyelenggaraan ibadah haji. Dengan mengingat esensi dari perjalanan ibadah haji itu sendiri, dengan mengingat betapa susahnya perjuangan para calon jemaah haji mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menunaikan ibadah impian, juga dengan mengingat banyaknya calon jemaah haji yang sudah cukup tua untuk lancar beribadah di Tanah Suci, barangkali SDA bisa iba setengah mati dan mengurungkan niatnya yang kurang terpuji. Realitasnya, berbanding terbalik. Padahal kurang apa? SDA adalah Menteri Agama. Berasal dari organisasi politik yang lekat dengan simbolisme dan visi-misi religius pula. Tapi nampaknya lupa kalau perbuatan buruk yang ia lakukan berpeluang mengantarkannya ke neraka.

Sederhananya, hubungan antara moralitas dan akal sehat, barangkali paling pas diwakili dengan kalimat ini.

Perlakukanlah orang lain, sebagaimana kita ingin diperlakukan.

Kalimat di atas dikenal sebagai The Golden Rule atau peraturan emas mengenai hubungan antarmanusia. Sudah terpikirkan sejak lebih dari 3 ribu tahun lalu, gampang dipahami, tapi benar-benar memerlukan kesungguhan hati untuk dijalani.

Anda tidak perlu beragama tertentu, atau memiliki kadar ketaatan khusus untuk bisa setuju dengan maknanya. Bahkan oleh mereka yang agnostik bahkan ateis sekalipun. Di samping itu, hampir semua agama besar di dunia juga memiliki quote-nya yang senada. Ini lantaran nilai yang terkandung dalam kalimat tersebut bersifat universal, atau bahkan bisa dianggap sebagai alasan paling masuk akal untuk bersikap bermoral. Kalau digampar itu sakit, ya jangan asal gampar orang lain. Kalau ditipu bikin hati panas, ya jangan menipu orang lain. Kalau diselingkuhi itu bikin sakit hati, ya jangan bikin pasangan sakit hati dengan selingkuh dong. Begitu seterusnya.

Kenapa kita tidak boleh membunuh?
Karena itu dosa, dibenci Tuhan, dilarang agama, nanti masuk neraka.
Karena tidak ada yang mau disakiti, apalagi sampai dibuat mati.

Kenapa kita tidak boleh mencuri?
Karena itu dosa, dibenci Tuhan, dilarang agama, nanti masuk neraka.
Karena kita tidak berhak atas barang yang bukan milik kita. Memangnya kamu mau, barang yang sudah kamu peroleh susah payah, diambil diam-diam sama orang lain?

Kenapa kita tidak boleh berbohong?
Karena itu dosa, dibenci Tuhan, dilarang agama, nanti masuk neraka.
Karena kalau dibohongi itu bikin kita benci sama orang lain, dan sakitnya tuh di sini.” (menunjuk ke dada).

Ilustrasi di atas menunjukkan dua jenis pendekatan untuk menanamkan tentang moralitas. Ada yang saklek dan merasa cukup hanya dengan menggunakan jawaban jenis pertama, plus embel-embel “pokoknya ndak boleh” tanpa peduli soal alasan larangan. Ada yang lebih suka menggunakan rasionalitas sosial lewat jawaban kedua. Ada pula yang memilih gabungan keduanya.

Tapi tetap saja, lebih baik melakukan sesuatu karena paham, ketimbang hanya gara-gara takut atau hitung-hitungan. Enggak lucu dong, kalau nanti diledek: “Ogah berbuat jahat gara-gara takut dosa, berarti berbuat baik cuma ngincer pahala? Pamrih dong.” Atau ledekan versi selanjutnya: “Giliran sudah telanjur berbuat jahat aja, setan disalahin.

Apa pun pendekatan yang Anda gunakan, selama tujuan akhirnya baik, sebenarnya ya enggak masalah. Tapi lebih efektif mana? Biar akal sehat Anda yang menjawabnya.

[]

Tulisan lama, reposted dari Linimasa.com.