Punya Tato Pertama

Yay! I got my first tattoo!

9901
views

ENGKONGMU dulu sebelum ke Indonesia, kalau enggak salah ada tato di bagian sini (sambil menunjukkan area antara jempol dan telunjuk kiri). Papa lupa bentuk pastinya gimana, kayaknya bentuk mawar. Itu dulu jadi tandanya untuk orang-orang perompak.

Sudah kepingin sejak lama, sampai akhirnya berhasil punya tato juga September kemarin. Lengkap dengan segala pertimbangan, tahapan rencana, pelaksanaan, sampai benar-benar kelar dan gambar tato pun selamanya melekat di kulit lengan kanan bagian dalam.

Berhasil? Kenapa disebut begitu?

Sebab biar bagaimana pun juga, peluang batal punya tato akan tetap ada. Belum lagi hal-hal teknis, dan terutama… biayanya.

Kenapa pula sampai harus dibuatkan artikelnya segala?

Sedikit banyaknya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan khas seperti berikut ini.

  • Kenapa kok mau punya tato?
  • Berapa lama bikinnya?
  • Apa aja persiapannya?
  • Bikin di mana, dan siapa seniman tatonya?
  • Kenapa kok memilih ditato di bagian tubuh tersebut?
  • Apa arti dari gambar tatonya?
  • Kenapa kok memilih desain tato yang begitu?
  • Sakit?
  • Aman?
  • Memangnya di kantor boleh bertato?
  • Orang tuamu, bagaimana?
  • Agamamu enggak melarang bertato?
  • Kamu enggak takut nanti dianggap yang bukan-bukan?
  • Mau tambah lagi?
  • Kalau nanti menyesal, bagaimana?
  • Kalau nanti bosan, bagaimana?

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan di atas, tulisan ini ya sekaligus untuk berbagi pengalaman dan cerita. Siapa tahu bermanfaat untuk yang ingin punya tato juga.

Kenapa kok mau punya tato?

Jawabannya beragam, dan berubah seiring waktu. Ketika baru lulus kuliah, cuma berpikir bahwa punya tato itu keren selama desainnya tidak menyeramkan.

Makin lama, persepsi terhadap kepemilikan tato terus berubah. Dimulai dari anggapan tato adalah tanda visual yang menunjukkan keunikan seseorang, sampai pada pemikiran: “Aku suka tato, aku berhak untuk memiliki tato, dan aku sudah mampu untuk memiliki tato.” Kemudian, bertambah lagi dengan “Aku siap menerima semua konsekuensi yang muncul akibat memiliki tato.

Jadi, kenapa ingin bertato? Karena pengin. Cukup itu saja. Premis-premis lainnya sekadar jadi rasionalisasi.

Berapa lama bikinnya?

Soal lama pembuatannya, terbagi jadi dua periode. Sebelum dan saat proses tato berlangsung.

Karena ukurannya yang relatif kecil (panjang kurang dari 10 cm, dengan lebar separuhnya) dan detail desain yang tidak terlalu rumit, pembuatannya memakan waktu kurang dari dua jam. Sedangkan waktu yang dihabiskan sebelumnya, kurang lebih empat bulan! Buat apa saja?

  • Memastikan desain tato
  • Survei dan menghubungi seniman tato atau asistennya sebagai penjajakan awal
  • Menunggu giliran (ya, seniman tato yang saya pilih memang selaris itu, ada daftar tunggunya)

Sangat wajar bila banyak yang tidak sreg dengan sistem antrean seperti ini. Lagi kepingin-kepinginnya, eh malah diminta untuk menunggu sampai berminggu-minggu ke depan. Kecuali kalau berteman baik dengan sang seniman tato, sehingga mendapatkan prioritas untuk didahulukan.

Di sisi lain, interval ini juga bisa dijadikan kesempatan bagi orang-orang yang baru pertama kali untuk memastikan diri, apakah benar-benar ingin punya tato, atau masih ada keraguan? Daripada bikin jadwal orang berantakan, mending mundur sekalian. Risikonya, uang tanda jadi yang sudah dibayarkan hangus, atau tergantung kesepakatan.

Apa aja persiapannya?

Yang utama sih persiapkan alasan, duit, dan waktu. Mau menunggu selama apa pun, ingin ditato oleh tattoo artist siapa pun, semua bukan masalah jika punya bujet dan ketetapan hati. Akan lebih baik lagi bila rencana tersebut sepengetahuan orang-orang terdekat, jika memungkinkan. Supaya enggak drama. Khususnya untuk tato pertama.

Beranjak dari situ, mulailah dengan mempertimbangkan bentuk dan desain tato yang akan dipilih, alasan memilihnya, karakteristik gaya tato, dan sebagainya. Jadikanlah dasar ke tahap berikutnya, yakni mencari dan memutuskan siapa seniman tato yang tepat. Pokoknya jangan sampai menyesal.

Bikin di mana, dan siapa seniman tatonya?

Di studio tato lah, of course. Hahaha!

 

 

 

 

 

 

 

Oke, kali ini serius. Awalnya, ada dua tattoo artists yang dihubungi. Yang pertama via pesan pribadi di Instagram, yang kedua dengan surel. Tidak ada respons atau jawaban sampai saat ini. Ya … mungkin memang belum berjodoh. Setelah kembali mencari, akhirnya ketemu studio Twin Monkey.

Tato pertama ini adalah karya dari Roy. A delicate one, if I may say, with thin lines, colour shadings, and quite pointillism.

Kenapa kok memilih ditato di bagian tubuh tersebut?

Pertama, karena memang tidak ingin menyembunyikan atau menutupinya. Lagipula menurut saya, what’s the point of hiding it out? Kedua, saya bukan seorang kidal. Biarlah tato ini turut aktif bergerak, terlibat dalam segala tindakan dan buah karya. Sekaligus pada saat makan, dan mengupil. Ketiga, luas area yang ditato dirasa ideal, tidak kekecilan atau kelebaran. Keempat, andai ingin ditambah menjadi half sleeve tattoo atau sepenuh lengan, masih memungkinan. Kelima, karena warna kulit lengan bagian dalam lebih cerah dibanding bagian luar. Jadi, supaya gambar tatonya lebih outstanding aja.

Apa arti dari gambar tatonya?

Fundamen desainnya beranjak dari karya klasik “The Great Wave off Kanagawa” lalu mengalami sedikit modifikasi. Lukisan ini menggambarkan serangkaian gelombang besar (kerap dianggap tsunami), yang tengah dihadapi oleh sekumpulan orang berperahu. Bagi si empunya studio, gelombang Kanagawa ini termasuk gambar yang lumayan pasaran untuk dijadikan tato. 😅 Ya sudahlah ya. Bakal molor lagi kalau desain utamanya diganti.

The Great Wave off Kanagawa
Source: overstockArt.com

Desain tato berbentuk quadrilateral vertikal atau rombus, dengan gelombang tertinggi sebagai fokus utamanya. Dibantu David, seorang teman yang juga graphic designer kondang, perahu dan nelayannya dibuang. Terakhir, efek langit pagi hari ditambahkan.

Dalam kondisi yang biasa-biasa saja, gelombang laut selalu bergerak secara teratur. Di balik keteraturan itu, tetap tersimpan potensi kekuatan. Namun, tidak merugikan orang lain. Makanya dibuat tanpa perahu dan nelayan.

Salinan karbon desain tato.
Salinan karbon desain tato.

Kenapa kok memilih desain tato yang begitu?

Selera, pastinya. Ada yang senang memiliki tato berupa simbol-simbol tunggal, ada pula yang lebih menggemari desain tribal atau etnik, ada yang lebih nyaman dengan tato berupa tulisan, dan masih banyak lagi. Sedangkan saya kebetulan sudah mengagumi lukisan klasik karya Hokusai itu sejak melihatnya pertama kali.

Sakit?

Sejujurnya, tidak sakit sama sekali. Ketika sang seniman tato menggunakan jarum yang berukuran lebih kecil rasanya memang lebih nyeri, tetapi tetap belum masuk kategori menyakitkan.

Proses bikin tato.
Proses bikin tato.

Ini yang ada suaranya.

Aman?

Aman, dan harus aman dalam segala aspek. Saya percaya, seorang seniman tato yang profesional pasti tidak akan berkompromi dengan aspek-aspek penting dalam pekerjaannya. Termasuk keamanan pengerjaan, dan keamanan terkait kondisi tubuh dan kesehatan pemilik tato.

Sarana dan prasarana kerja yang digunakan haruslah dalam keadaan steril. Jarum yang dipakai, baru buka bungkus sebelum pengerjaan dimulai. Wadah tintanya pun demikian. Agak ngeri rasanya, melihat remaja-remaja yang menjajakan tato amatiran di pinggir jalan kawasan Kota Tua. Paparan debu, kualitas perangkat kerja yang digunakan, termasuk kebersihan tangan tukang tatonya.

Setelah selesai dibuat, seniman tato akan memberikan petunjuk mengenai perawatannya. Apa saja yang harus dilakukan agar luka tato lekas pulih tanpa memudarkan warna, apa saja yang wajib dihindari supaya luka tidak infeksi atau basah kelamaan, salep dan suplemen eksternal yang disarankan untuk dipakai, serta siap sedia untuk ditanya.

Setidaknya sejak bertato sampai sekarang, saya belum (dan mudah-mudahan tidak akan) pernah mengalami kendala terkait keamanan dan kesehatan.

Kondisi seminggu pertama.
Kondisi seminggu pertama.
Entah karena sering berkeringat, atau memang kondisi kulit, tatoku sempat mengalami fase ini. Geregetan banget pengin potekin.
Entah karena sering berkeringat, atau memang kondisi kulit, tatoku sempat mengalami fase ini. Geregetan banget pengin potekin ini.

Memangnya di kantor boleh bertato?

Tidak dilarang.

Saya merasa sangat beruntung bekerja di sebuah perusahaan besar yang terbuka dan relatif moderat terhadap hal-hal personal seperti ini. Didukung pula dengan posisi dan nature pekerjaan yang fleksibel, serta pimpinan yang demokratis. By default, saya berhak memiliki tato.

Satu hal yang pasti, beberapa pekan sebelum bertato saya memberitahu dan meminta izin kepada atasan. Secara personal, barangkali beliau sebenarnya kurang setuju. Namun, secara profesional, tak ada yang beliau permasalahkan. Selebihnya hanyalah perihal teknis dan koordinasi pekerjaan. Kan masih bisa ditutup kemeja lengan panjang.

Orang tuamu, bagaimana?

Bukannya tanpa kendala sih sampai akhirnya bisa bertato. Kedua orang tua, dan adik bungsu adalah orang-orang yang menentang keras rencana tersebut. Sejak sekitar tahun 2014 saya mulai terpikir untuk memiliki tato, dan sempat mengutarakannya kepada mereka. Ada dua dalil yang dilontarkan sebagai penolakan. Papa menggunakan pandangan-pandangan sosial budaya, sedangkan mama dan adik mengutip ayat Alkitab. Agak enggak ngaruh sih, sebab saya sendiri bukan seorang Kristen. 😅 Barulah pada September 2017, saya menghadiahi diri sendiri dengan tato.

Mereka baru mengetahuinya saat saya mudik, setelah tato ini berusia dua bulan.

Agamamu enggak melarang bertato?

Dalam kaidah moralitas dan tata cara berkehidupan Buddhis, setahu saya tidak ada larangan spesifik bagi seseorang untuk memiliki tato. Orang-orang bertato tetap dipersilakan untuk melakukan puja kepada Buddha, membaca petikan-petikan kitab suci Tipitaka, melakukan meditasi dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan religius lainnya, bahkan menjadi Bhikkhu sekalipun.

Cerita sedikit. Dalam Buddhisme, tato itu bukan jimat atau semacamnya. Tidak punya kuasa apa-apa dalam memberi perlindungan metafisik, tidak pernah merupakan tradisi asli dalam Buddhisme. Sekadar gambar. Jadi jangan rancu dengan rajah-rajah ala Thailand yang disebut bisa memberikan berkah dari Sang Buddha. Bukan hanya pandangannya salah, tetapi juga tolol. Praktik tato Sak Yant Thailand, BUKAN bagian dari Buddhisme.

Buddha bukan sosok tuhan, apalagi cuma semacam dewa. Setelah wafat, dalam istilah awamnya, Buddha tidak ke mana-mana, maupun tidak berada di mana-mana. Tidak berada di surga, maupun di dimensi yang melampauinya. Jadi, tidak ada kemungkinan (dan keperluan sedikit pun) untuk dibawa-bawa mengurusi kehidupan fana semacam ini.

Apabila tato di tubuh dapat menimbulkan dan mempertebal kemelekatan terhadap jasmani yang lapuk dilumat waktu, maka disarankan untuk dihindari atau disadari sedalam mungkin. Sebab kemelekatan yang muncul tersebut akan menambah insecurity, kerepotan, penderitaan, dan ketidakbahagiaan dalam hidup.

Misal: tato yang lama agak pudar, akhirnya merasa tidak senang dan ingin membuat tato baru yang menutupinya; atau ngebet setengah mati ingin menambah tato sampai-sampai mengganggu fokus dalam aktivitas sehari-hari; atau saking protektifnya dengan tato yang baru dimiliki, sampai-sampai bisa mengamuk hebat saat disentuh atau dibecandain orang. Pada intinya menimbulkan perasaan tidak menyenangkan.

Sabbe sańkhara anicca, dan biarlah tato ini jadi salah satu penandanya. 😊

Kamu enggak takut nanti dianggap yang bukan-bukan?

“Yang bukan-bukan” ini misalnya seperti apa? Dianggap preman? Dianggap orang jahat? Dianggap orang yang derajatnya lebih rendah? Namanya juga anggapan. Bisa saja mereka—orang-orang yang beranggapan begitu—memang berpikiran sempit, kurang bergaul, atau tidak terbiasa melihatnya. Jangan lupa, agak konyol kiranya jika menilai seseorang dari penampilannya semata.

Dengan atau tanpa tato, saya tetaplah saya. Perilaku, pembawaan, dan sifat seseorang tentu tidak akan berubah seketika. Pastinya, dengan sejumlah kekurangan dan kelebihan yang ada, saya berusaha untuk tetap apa adanya. Terus belajar menjadi lebih baik, menghargai orang lain sebagaimana menghargai diri sendiri, serta berupaya selalu terbuka.

Semoga selalu baik, ya.

Mau tambah lagi?

Kemungkinan besar.

Kalau nanti menyesal, bagaimana?

Penyesalan selalu datang belakangan, apa pun alasan dan penyebabnya. Akan tetapi, sebelum tiba ke keadaan tersebut, sedari awal kan memang harus siap dengan segala konsekuensinya. Andaikan masih punya keraguan, mending tidak usah bertato.

Walaupun terdengar agak sesumbar, tampaknya tidak bakal menyesal deh.

Kalau nanti bosan, bagaimana?

Inti jawabannya tetap sama dengan pertanyaan sebelumnya. Segala konsekuensi dengan memiliki tato semestinya sudah dipertimbangkan di awal. Termasuk bagaimana agak bisa menghindari kebosanan. Makanya memilih tato dengan desain tersebut, di bagian tubuh tersebut, dan seterusnya.


Sedang kepikiran mau punya tato pertama juga? Berikut ini sepertinya bisa dijadikan pertimbangan tambahan selain poin-poin di atas.

Jangan terburu-buru

Lebih baik agak lama ketimbang sembarangan dan jadinya malah berantakan. Setuju, kan?

Jangan terkecoh foto di Instagram

Foto-foto tato yang beredar di media sosial memang amat menggoda. Semuanya terlihat keren, dan bikin makin kepingin punya juga. Hanya saja, banyak foto tato di Instagram yang diambil saat baru selesai dibuat. Warna tinta dan garis gambarnya tentu saja masih sangat solid. Padahal ada fase pemulihan serta penyembuhan lapisan kulit yang “dilukai” jarum, dan fisik setiap orang berbeda-beda. Ada yang lekas kering, ada pula yang memerlukan sepuluh hari sampai dua pekan. Pada saat itu, kondisi tato sudah berbeda.

Masih anget-angetnya nih.
Waktu tatonya baru rampung. Masih hangat.

Waktu pertama kali membilas tato dengan air dingin setelah plastik pembungkusnya dibuka, rasanya puas banget. Area kulit yang dibubuhi tato memiliki kesan mulus yang berbeda (entah lantaran tekstur atau cuma gara-gara euforia), dengan guratan yang kuat dan glossy. Dalam waktu seminggu, lapisan tipis kulit kering yang siap mengelupas mulai terlihat. Ada beberapa bagian yang tak lagi sekinclong sebelumnya. Bukan memudar, tetapi menjadi lebih doff, dan wajar adanya.

There’s always a first time for everything, and this was mine. 😊

[]

Foto ini baru ditambahkan, gara-gara Path Memory nampilin posting-an tiga tahun lalu, waktu iseng beli tato-tatoan temporer sambil berkhayal kapan bisa punya yang betulan. “Rezeki” memang enggak ke mana, ya. 🤣

Tato temporer.
Iseng beli tato tempelan waktu jalan-jalan di Surabaya, tiga tahun lalu.

2 COMMENTS

  1. Kalau punya tato, aku mau bikin di lengan kiri dekat pergelangan tangan dan vertikal, tulisannya “mine”. Tato kecil yang kaya tulisan latin. Artinya diriku adalah milikku. Tapi karena agama tidak membolehkan, ya, sudah. :))
    Selamat atas tatonya, bagus euy

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

3 × 3 =