Makin Lama Makin Basi

14 February 2015

LAYAKNYA siklus yang berulang, Valentine’s Day atau Hari Kasih Sayang selalu memunculkan pembahasan, perdebatan, ide kreatif, maupun kerepotan yang sama setiap tahun. Baik melibatkan orang-orang yang sama, atau ketambahan “personel” baru. Pasalnya, secara sederhana kita bisa membagi respons orang Samarinda terhadap Valentine’s Day menjadi tiga: cuek, menyambutnya dengan antusias, dan membencinya habis-habisan.

Siapa saja bisa menjadi orang yang cuek dengan perayaan Valentine’s Day. Para jomblo, pasangan berpacaran yang tidak terlalu ambil pusing dengan momen ini, terlebih pasangan suami istri yang konvensional. Alasannya tentu beragam. Bagi para jomblo misalnya, buat apa peduli dengan Valentine’s Day? Toh mereka sedang tidak berpacaran dengan seseorang. Begitupun dengan pasangan pacaran yang tidak memiliki animo khusus untuk momen ini, bisa saja mereka bukan tipe pasangan yang romantis dan sama-sama tidak terlalu demen dengan hal-hal melodramatis, atau pula memiliki gaya romantismenya khusus yang tidak harus terpusat pada Valentine’s Day. Apalagi pasangan suami istri yang konvensional, bukan tipe kaum urban. Pada umumnya, mereka menganggap pernikahan adalah pernikahan, sebagaimana mestinya. For them, it’s just February 14th. that’s all.

Kelompok kedua–mereka yang antusias–adalah sasaran utama skema penjualan produk pada musim ini. Bisa terdiri dari pasangan berpacaran, maupun pasangan suami istri. Antusiasme mereka minimal ditandai dengan membeli hadiah, mulai dari cokelat, boneka, rangkaian bunga mawar merah, sampai cincin berlian berkarat besar. Dibarengi dengan ajakan makan malam romantis di tempat-tempat khusus yang memang telah dipersiapkan untuk itu. Mulai dari restoran atau kafe menjadi tren di kota ini, makan malam reman-remang alias Candlelight Dinner di restoran hotel, bahkan sampai mempersiapkan makan malam istimewa di tempat-tempat spesial pula. Yang pasti, terjadi perputaran uang, dan jumlahnya tak sedikit.

Antusiasme yang ditunjukkan orang-orang kelompok ini, memiliki banyak alasan. Umumnya dimulai dari para remaja yang baru pertama kali bersinggungan dengan konsep ini: hari perayaan kasih sayang. Di sekolah, meskipun masih asing dengan konsep pacaran, mereka sudah mulai terlibat dalam momen Valentine’s Day dengan saling bertukar cokelat sesama teman. Hal baru yang setidaknya memberikan kegembiraan. Apalagi bagi mereka yang mulai coba-coba berpacaran, Valentine’s Day menjadi momen pengalaman yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Minimal deg-degan kala berusaha memberikan kejutan. Tak sedikit pula yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk jadian, kalau berhasil. Lain lagi dengan pasangan yang baru jadian. Mereka bisa menganggap bahwa momen ini adalah salah satu peluang untuk memperkuat kedekatan. Adapun partner makan malam romantis pun orang yang berbeda, sekaligus menjadi ajang pembuktian apakah benar-benar move on dari pacar sebelumnya atau tidak. Sedangkan bagi pasangan suami istri, sah-sah saja untuk memanfaatkan Valentine’s Day sebagai media menambah kemesraan. Mengingat pasangan masa kini cenderung saling disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, sehingga Valentine’s Day boleh dijadikan tema untuk sejenak lebih rapat. Pada pasangan suami istri, jelas tak masalah bila menuntaskan perayaan Valentine’s Day sesuka mereka. Justru malah dianjurkan, demi keintiman. Akan tetapi, untuk perihal yang satu ini, sayangnya dapat dimanfaatkan para pria untuk berlaku nakal dengan pacarnya. Malang, para perempuan yang kadung terbuai rayuan dan gombalan, yang dilancarkan saat makan malam romantis, bisa menyerah. Jadilah zina, yang belum tentu menjamin usia hubungan pacaran. Bagaimanapun juga, fenomena tidak menyenangkan ini menempatkan perempuan sebagai korban, gampang terperdaya.

Hal ini menjadi salah satu alasan orang-orang kelompok tiga membenci Valentine’s Day. Dengan semangat kepahlawanan, mereka menyerukan bahwa momen 14 Februari adalah peluang terjadinya kejahatan moral. Oleh karenanya, wajib ditolak bahkan diberangus dari perbendaharaan gaya hidup manusia Indonesia. Terutama dalam koridor agama. Tujuannya baik, dan disampaikan dengan sangat keras. Namun ironisnya, penolakan terhadap Valentine’s Day ini kerap dibarengi dengan semangat dan perasaan berhak untuk memandang hina orang lain, yang secara sadar tetap memilih untuk merayakan Valentine’s Day. Secara tak langsung, menyerukan bahwa orang-orang dengan pandangan berseberangan dari mereka, pantas dianggap hina. Sungguh sangat membosankan, melihat mereka yang menyumbangkan waktu dan tenaganya untuk menjadi polisi moral bagi orang lain, namun kemudian pamrih. Menginginkan agar sumbangan mereka tadi mendapatkan imbalan persetujuan, pernyataan iya, dan sejenisnya.

Selain mereka, ada juga orang-orang yang membenci Valentine’s Day lantaran alasan yang lebih personal atau malah konteksual. Insan yang baru putus tidak baik-baik, misalnya, jelas “alergi” dengan perayaan ini. Bermasalah dengan urusan asmara. Masih sakit hati. Barangkali. Kemudian kebencian konteksual pada Valentine’s Day mungkin agak langka. Mereka tidak suka dengan perayaan ini, karena dinilai sebagai kesempatan untuk mendongkrak sektor ekonomi. Segala gimmick, suasana, paket promo, bahkan harga buket mawar merah dibuat sedikit lebih mahal atas nama Hari Cinta Kasih. Itu sebabnya, mereka yang memiliki kebencian kontekstual terhadap Valentine’s Day sering menegaskan bahwa ajang ini tidak diperlakukan bila atas nama cinta. Momen romantis pun bisa diwujudkan tanpa harus berlaku mainstream, layaknya orang kebanyakan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mampu menciptakan kesan istimewa, dan tidak pernah dilakukan orang lain sebelumnya.

Apapun pilihan Anda menyikapi Valentine’s Day, semua memiliki karakteristik dan konsekuensinya sendiri. Bagi para pria yang melulu mementingkan urusan syahwat, contohnya, pasti akan terus berpikir memanfaatkan momen ini demi mendapatkan yang diinginkannya. Lalu, mereka yang menempatkan Valentine’s Day sebagai “senjatanya” setan, juga tidak mau tahu dengan urusan romantisme. Perbedaan pandangan seperti ini, dengan melelahkannya, selalu bergulir setiap tahun. Isi pembahasannya, sama.

Happy Valentine’s Day, anyway!

[]