Sang Bocah Penyemir Sepatu

21 January 2013

DARI sebuah artikel berita biasa, izinkan saya menyajikannya dengan sedikit perubahan rona.

Semir Sepatu, Menabung Buat Beli Buku

Realitas anak yang bekerja, kerap dikaitkan dengan eksploitasi. Tetapi siapa yang meyangka, jika keinginan untuk bekerja dan menghasilkan uang datang dari diri anak itu sendiri. Tuntutan ekonomi yang kian meningkat, memaksa Bambang, bocah berusia 10 tahun mengorbankan masa-masa kecilnya untuk mengumpulkan rupiah.

Oleh: Muhammad Safri

Tangan kanannya membawa bungkus plastik putih. Berisi dua kaleng semir sepatu warna hitam dan cokelat, beserta sikat sepatu dan beberapa lembar uang pecahan seribu serta recehan. Bambang kemudian mendekati seorang polisi yang sedang piket, sembari menawarkan jasa semir sepatu.

“Pak, semir sepatunya pak,” kata Bambang polos.

Tanpa banyak tanya, sang polisi melepas sepatu yang dikenakannya, dan diserahkan kepada Bambang.
Kedua tangan kecil Bambang menyikat sepatu warna hitam itu dengan perlahan. Ia yang sudah dua tahun menggeluti “profesi” sebagai penyemir sepatu, sepertinya paham benar bagaimana cara mengembalikan kilapan sepatu polisi yang telah terlihat usang dan berdebu.

Memang ironis melihat apa yang dilakukan Bambang. Di usianya yang masih kecil, ia harus berusaha mencari uang sendiri. Tetapi bukan untuk jajan atau bermain Play Station sewaan selazim anak-anak sebayanya.

“Saya sekolah pak, kelas 3 SD Negeri 009 di Jl Jelawat. Saya kerja begini, hanya setelah saya pulang sekolah, biasanya jam 5 sore, sampai jam 10 malam,” kata Bambang.

Anak ketiga dari empat bersudara ini, mengaku tak pernah dimarahi orangtuanya lantaran bekerja menyemir sepatu. Menurutnya, apa yang ia upayakan dengan bekerja sampingan ini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Lantaran tak sanggup dipenuhi ibunya, yang hanya bekerja sebagai buruh cuci pakaian.

“Uang yang saya dapat, saya tabung buat beli buku sekolah. Setiap hari, saya tetap belajar, sebelum masuk sekolah, saya belajar dulu. Saya sekolah dari jam 1 siang, sampai jam 4 sore. Habis pulang sekolah, saya tidak langsung kerja, tetapi mengaji dulu, setelah itu baru saya kerja,” ucap Bambang.

Tak pernah terbersit rasa malu dalam benak Bambang saat menjalani aktivitas ini. Bahkan seluruh teman sekolahnya tahu benar tentang “ekstrakurikuler”-nya ini; mencari uang dengan menyemir sepatu.

“Saya tidak mau minta-minta, nanti ditangkap Satpol PP. Kasihan ibu saya nanti, cari-cari saya,” timpalnya. (edited)

Bambang

Hormatku untukmu, Bambang, yang suka minum es jeruk. 🙂

[]