Ini Kisah Tiga Dara

4 September 2016

BARU menonton film ini Sabtu sore lalu, di bioskop yang sama tempat menyaksikan “Tiga Dara” hasil restorasi. Itu sebabnya, sebelum mulai, muncul kilasan beberapa adegan, dialog, maupun lagu dan tarian dari karya rilisan 1956 yang konon tidak disukai oleh Usmar Ismail, sutradaranya sendiri itu.

Enggak sengaja mbatin: “film ini bakal semenyenangkan ‘Tiga Dara’, enggak ya?” Meskipun kemudian sadar jika pembandingan tersebut agaknya kurang adil, dan enggak perlu. Langkah amannya, tentu saja dengan berhenti berekspektasi. Duduk anteng, kalem, dan bersiap melihat apa yang bakal lewat.

Bagian-bagian paling awal dari “Ini Kisah Tiga Dara” terasa tidak terlampau berkesan. Entah mengapa, koreografi lagu pertama dengan setting taksi di tengah kemacetan dan taman yang ramai dengan rupa-rupa warga selatan Jakarta itu terasa tanggung dan canggung. Masih lagu pertama dan adegan pembuka, barangkali. Jadi berasanya biasa-biasa saja. Ketika penontonnya (baca: saya) masih belum rileks untuk menikmati film musikal. Ditambah lagi belum ada proper introduction atas ketiga tokoh utamanya: Gendhis (Shanty), Ella (Tara Basro), dan Bebe (Tatyana Akman).

Sayangnya, atmosfir ini bertahan sampai beberapa puluh menit berikutnya, sampai setting-nya hampir pindah kota. Sampai gubahan baru lagu “Tiga Dara” mulai menceriakan suasana. Tidak menyentuh soal cerita sama sekali.

Saat lagu dan koreografi belum mampu mencuri perhatian dan kesenangan penonton atas film ini, lalu dimunculkanlah keindahan alam timur Indonesia sebagai element of surprise selanjutnya. Ekspresi kekaguman seperti “wow!” dan sebagainya terdengar jelas waktu layar menampilkan pergantian latar, dari Jakarta menjadi Maumere. Efek ini sukses menarik hati, khususnya bagi para Jakartans sendiri. Lantaran gambar lanskap alam yang ditampilkan sebenarnya merupakan pemandangan sehari-hari bagi orang-orang pesisir.

Secara pribadi, ketertarikan atas film ini mulai muncul setelah dipicu lagu dan koreografi “Pasar Geliting”. Sebuah langkah berani dan memikat hati memberdayakan local talents untuk ikut menari. Kendati hanya figuran, dan dengan gerakan yang kadang kurang seragam, berasa tulus dan lucu dalam makna sebenarnya.

Mulai rileks nontonnya.

Source: fimela.com

Nah, element of surprise selanjutnya benar-benar mengejutkan, bahkan boleh dibilang menjadi semacam “entrance moment” untuk tokoh Bebe, dan Erick (Richard Kyle). Dari bagian ini, wajar jika banyak penonton yang mulai terkesan dengan keberanian Nia Dinata, sang sutradara dalam mengokohkan karakter si bungsu dari tiga dara. Apalagi berhasil dibawakan dengan maksimal oleh Tatyana dan Richard.

Makin rileks nontonnya.

Hingga akhirnya, film ini mulai terasa menyenangkan sebagai sebuah tontonan bagi saya justru gara-gara satu hal sepele: sebuah celetukan dari Oma (Titiek Puspa).

Entah apakah karena selera humor saya yang receh, atau line tersebut memang sungguh brilian, yang pasti “janidul” dilontarkan Titiek Puspa dengan sangat pas, dan berhasil membuat saya tergelak. Dari poin ini, ihwal kekuatan dan karakteristik cerita bergeser jadi nomor ke sekian untuk diperhatikan. Sudah bisa dibawa rileks aja, kecuali kalau plotnya bapuk banget.

…dan ternyata benar. Jalan ceritanya cukup sederhana untuk dikritisi, juga dengan konflik dan problem yang enggak jauh-jauh dari kisah “Tiga Dara” versi aslinya. Intinya adalah seorang nenek ngebet cucunya segera menikah, menyerempet ke persoalan cinta segitiga.

Secara umum, beberapa hal menarik dari “Ini Kisah Tiga Dara” adalah penampilan para pemain, lagu dan koreografi, serta muatan sisipannya.

Mengenai para pemain, tak terbantahkan bahwa Shanty benar-benar tampil memukau sebagai si sulung, maupun sebagai artis yang “turun gunung” ke layar lebar setelah sekian lama. Chemistry yang ia ciptakan bersama tokoh-tokoh lain, seperti dengan dua dara yang lain, Oma, ayahnya (Ray Sahetapy), Yudha (Rio Dewanto), bahkan dengan para figuran terasa genuineEffortlessy enjoyable.

Selanjutnya, spotlight mengarah ke Tatyana. Wajah baru hasil audisi yang ternyata memang tepat untuk menggambarkan sosok Bebe, si bungsu lincah, spontan, badung, berani, outspoken, tapi lucu menggemaskan dengan rambut ikalnya yang khas.

Dalam “Ini Kisah Tiga Dara” sebagai debut, tidak susah untuk membayangkan penampilan kedua dan ketiga Tatyana di judul-judul film berikutnya, walaupun image-nya telanjur melekat sebagai gadis cantik yang manja.

Bagaimana dengan Titiek Puspa, penampil paling senior dalam film ini? Bagi saya, terlihat banget beliau tidak berakting, atau memodifikasi apa pun dari tindakan dan sikapnya untuk tujuan berakting. Titiek Puspa just being Titiek Puspa, Hahaha…  Dengan celetukannya yang campur aduk antara bahasa Jawa dan bahasa Belanda, suara khasnya, dan gayanya. Seolah-olah Oma dari tiga dara memang adalah sang Titiek Puspa. Segengges apa pun beliau, Titiek Puspa tetaplah seorang Titiek Puspa… and she’s a living legend!

Berikutnya, saya lebih setuju untuk menyebut “Ini Kisah Tiga Dara” sebagai film dengan bonus lagu dan tarian, ketimbang film musikal. Tidak sedikit lagu dan koreografinya yang keren dan berkenan di hati, hanya saja ada lebih banyak yang berlalu begitu saja. Ya… Paling-paling ini cuma persoalan selera.

Fokus terakhir adalah pesan yang disisipkan, dari awal sampai pengujung cerita. Bukan sekadar pesan moral, tentunya, melainkan lebih kepada seruan-seruan ala aktivis humanisme. Ada banyak sekali. Mulai soal pandangan konservatif atas gender dan perlakuannya, kritis atas itu dan mengenai pernikahan sebagai atribut sosial, sampai mengenai cara wanita memandang dirinya sendiri. Untuk topik yang terakhir, anehnya, penyampaiannya justru dilekatkan pada figur Bebe, si bungsu yang baru berusia 19 tahun. Bukan tanpa alasan mengapa salah satu karakter Bebe yang saya sebut di atas adalah “outspoken” (…dan sikap itu ditunjukkan tak hanya saat berperan sebagai Bebe. Seperti yang diceritakan seorang teman, kala Tatyana bete terhadap wartawan dalam sesi pemotretan hanya gara-gara urusan pakaian. Padahal saat itu, Tatyana terlihat luar biasa menawan!)

Pertanyaannya, apakah semua pesan tersebut berhasil tersampaikan dengan baik dan tidak bias, serta bisa diterima secara umum? 🙂

Terlepas dari semua hal di atas, ada satu lagi komponen yang cukup berkesan dalam “Ini Kisah Tiga Dara”: penampilan dan busana. Nyaris tidak ada satu momen pun dalam film ini, saat para tokohnya tampil membosankan. Paduan riasan (termasuk tata rambut) dan busana yang dikenakan selalu menyegarkan.

Semuanya berhasil menjadikan “Ini Kisah Tiga Dara” sebagai tontonan yang menyenangkan.

[]

Bicara soal pernikahan sebagai atribut sosial, barangkali kamu tertarik baca tulisan lama ini: Marriage vs. Social Insecurity.