The Fox Exploits The Tiger’s Might | Kisah Cinta yang Asu | Sendiri Diana Sendiri

654
views

KETIGA film ini bertumpu pada seksualitas manusia, dan ditayangkan secara back-to-back. Enggak pakai eufemisme yang basi, tapi dengan simbolisme yang gamblang, sering bikin geli-geli sendiri, dan risi. 😀

Durasinya tidak panjang, rata-rata tidak sampai setengah jam. Tapi ketika ditonton dan setelahnya, ada banyak hal yang menempel di kepala untuk diperbincangkan.

“The Fox Exploits The Tiger’s Might” (狐假虎威)

Judul ini adalah film kedua garapan Lucky Kuswandi yang dipilih untuk ditayangkan dalam FFSMR 2016, setelah sebelumnya ada “Selamat Pagi, Malam” pada Rabu pekan kedua (10/2).

Source: YouTube

Tanpa opening credits, film ini dibuka dengan adegan jual beli tembakau siap linting, kertas kelobot sebagai pembungkusnya, dan dua botol minuman alkohol berkadar rendah di sebuah warung kelontong kecil milik seorang tacik (Stefanny Marcelina Sugiharto) berambut keriting berkacamata. Dari situ, penonton kemudian “diperkenalkan” dengan tokoh utama cerita lewat cara yang agak tidak biasa.

Sapuan pelan kamera bergerak horizontal, lalu berhenti untuk menyorot seorang remaja cowok yang sepertinya tengah duduk di semacam undakan dalam sebuah gudang. Hanya tampak kepala sampai dada, dan tak perlu seberapa lama bagi para penonton untuk menyadari bahwa ia tengah bermasturbasi. Ia dipanggil Aseng (Atreyu Moniaga).

Sejak awal sekali, para penonton sudah harus berhadapan dengan penggambaran-penggambaran seksualitas yang kerap menimbulkan ketidaknyamanan (apalagi ini di Samarinda). Tidak hanya dari Aseng, juga dari Aling (Christine Harsojo) yang tampil menor dan selalu mengunyah permen karet (padahal aslinya ya cantik), ajudan (Surya Saputra), serta David (Kemas Fauzan). Namun tak sekadar dimunculkan untuk mengusik ruang pikir dan perspektif penonton, sang sutradara memilin semuanya dengan penggambaran kehidupan di masa Orde Baru (Orba), ketika kekuasaan menjadi semacam magnet pengumpul upeti, sogokan, hadiah-hadiah pelicin, dan sejenisnya. Kekuasaan adalah pengatur segalanya, harus ada yang dibuat tunduk dan patuh, termasuk dalam ihwal seksualitas.

Dalam alur saji “The Fox Exploits The Tiger’s Might”, simbol-simbol bertaburan mewakili concern yang ditampilkan. Pistol yang mewakili kekuasaan dan begitu diidam-idamkan, seragam SMP yang mewakili pubertas dan minimnya pendidikan seksual bahkan dalam lingkungan sekolah sekalipun, para pria tegap berpotongan rambut cepak dengan celana loreng-loreng militer yang tengah berlatih fisik maupun lembaran foto Eva Arnaz menyiratkan erotisisme, dan sebagainya. Lagi-lagi, tersirat penegasan bahwa seksualitas manusia itu beragam, unik, sangat personal, dan semestinya tidak disamaratakan dengan asumsi yang kaku nan buta.

Puncak konflik dari film berdurasi 20-an menit ini hadir dengan adegan yang mengejutkan. Ketika terjadi pembalikan posisi antar-individu, meskipun kemudian ditutup dengan adegan-adegan yang menunjukkan bahwa semua itu belum berakhir, pergulatan tetap terus terjadi. Entah giliran siapa yang jadi rubah dan harimaunya.

Secara pribadi, dari ketiganya, “The Fox Exploits The Tiger’s Might” adalah yang paling berkesan. Bikin teringat masa lalu, waktu masih kecil dan enggak paham kenapa ada orang berseragam datang ke rumah malam-malam setelah toko tutup, lalu ngebir bareng papa entah sampai jam berapa. Waktu masih ganjil-ganjilnya dengan self-handjob 😛 karena enggak sengaja baru tahu. Serta tentu saja sedikit tentang kecinaan saya,

“Kisah Cinta yang Asu”

Beberapa penonton yang sempat menyaksikan “Siti”, 23 Januari lalu, mengaku bisa merasakan atmosfer serupa dengan yang tersampaikan dalam film garapan Yosep Anggi Noen ini. Utamanya lewat detail-detail remeh, seperti tebaran dialog berbahasa Jawa, dan Pantai Parangkusumo di selatan Yogyakarta sebagai latar.

Terlepas dari itu, tidak sedikit penonton yang merasa terjebak dengan kerancuan peralihan kisah hidup Erik King (Yosep Anggi Noen) kala bersama Martha (Mila Rosinta), maupun Ning (Astri Kusumawardhani). Yang pasti, penonton paham bahwa keduanya adalah kekasih Erik sang anak motor berknalpot berisik tanpa penghidupan yang jelas, dalam hubungan yang berlangsung terpisah. Erik menjalani keduanya secara aji mumpung; tidak hanya memiliki pacar-pacar dengan wajah dan tubuh molek, kehidupan seksual yang aktif, memanfaatkan uang mereka, bahkan bersikap represif lantaran merasa lebih kuat secara kodrati.

Sikap aji mumpung makin memperberat posisi Erik sebagai lakon antagonis, lantaran Martha adalah pramusyahwat cosplay dengan “ruang kerja” di kamar-kamar hotel lumayan bonafide. Sedangkan Ning adalah gadis pencatat skor biliar, yang terkadang juga bisa melayani permintaan ngamar oleh konsumen kelas ecek-ecek dalam bilik semipermanen kendati tanpa aktivitas penetrasi sekalipun. Erik berkontribusi mengantar Martha ke hotel, maupun menjemput Ning pulang. Selebihnya, ia lebih peduli dengan motor RX King-nya. Setidaknya cuma itu yang digambarkan dalam film ini.

Source: YouTube

Cinta segitiga Erik-Martha-Ning ini kabur. Penonton tidak bisa memastikan hubungan mana yang lebih kuat. Pertemuan Erik dan Ning berlangsung cukup manis, tapi romantisme harian antara Erik dan Martha jauh lebih menonjol. Sampai akhirnya, drama antara Erik-Martha-Ning saling memuncak. Erik ingin mengukuhkan identitas dan posisinya sebagai figur dominan. Ning berhasil mematahkan maskulinitas Erik yang dilambangkan dengan motor kesayangannya, sebuah pembalasan. Sedangkan Martha tampil dalam emosi marah untuk pertama kalinya, serta mengumpat: “asu!” Setelah harga dirinya dilecehkan kekasih. Kisah cinta ini memang benar-benar asu, bagi mereka bertiga. Bedanya, Martha dan Ning bisa tetap hidup tanpa Erik. Tidak tahu sebaliknya. Kemenangan para wanita.

“Sendiri Diana Sendiri”

Di antara tiga judul, “Sendiri Diana Sendiri” adalah cerita yang paling mudah dicerna. Tema dan plotnya disajikan secara sederhana, linear, jelas, mudah dicerap. Yakni tentang seorang istri/ibu/wanita yang berhadapan dengan keinginan suaminya untuk berpoligami. Bukan mustahil, tidak sedikit penonton yang bisa mengidolakan tokoh utama dalam film garapan Kamila Andini ini.

Source: mubi.com

Diana (Raihaanun), istri dari Ari (Tanta Ginting). Seorang ibu rumah tangga dalam keluarga kelas menengah Jakarta yang tidak bekerja. Sehari-harinya dihabiskan untuk mengurus rumah dan sang buah hati, juga tak lepas dari BlackBerry berbungkus karet warna ungu terang.

Kehidupannya berjalan lancar dan biasa saja, sampai suatu malam Ari pulang dengan membawa presentasi Powerpoint tentang skema pembagian waktu antara dua rumah. Ya! Dengan cara yang absurd dan waddefak! banget, Ari mau menikah lagi, serta tidak ada satu adegan pun yang menunjukkan Ari meminta izin Diana. Luar biasanya, alih-alih panik dan histeris atau malah menyambut dengan gembira dan berseri-seri, Diana tetap bersikap tenang juga bijak. Ia mengkonfirmasi suaminya, berkomunikasi secara terbuka dengan kedua pasang orang tua, bahkan berani menemui calon madunya yang ternyata adalah teman semajelis pengajian dengan Ari.

Sejatinya, film ini menyampaikan pesan lama kepada semua wanita bahwa mereka punya hak sosial yang setara dengan para pria. Termasuk dalam sangkar pernikahan. Dengan ini, apabila pernikahan adalah buah pemikiran dan pertimbangan yang matang, maka begitu juga dengan perceraian yang dilakukan secara dewasa. Bukan yang asal emosional belaka, atau menggunakannya sebagai ancaman saja.

Tak bisa dimungkiri, doktrin purbakala yang mengatakan bahwa wanita adalah makhluk lemah dan pasti tidak bisa mandiri tetap mengakar kuat di masyarakat kita. Ditanamkan sejak kecil. Doktrin ini juga sering diamini oleh para pria, yang secara fisik maupun emosional menikmati superioritas gender. Sebagai bukti, sampai saat ini kita masih dapat dengan mudah menemukan wanita yang sebenarnya tertekan, dan sudah pantas menyuarakan keberatan pada suami. Akan tetapi, dengan berbagai alasan-alasan klasik; khawatir dengan tumbuh kembang si anak, tidak punya keterampilan untuk berpenghasilan sendiri, takut malu dengan omongan orang, takut kesepian serta rindu belaian, masih sayang, sampai alasan absurd seperti takdir untuk bersuami pria berkepribadian kacrut, para wanita tersebut enggan berpisah dan mengikhlaskan diri untuk terus makan hati.

Polemik-polemik sosial seperti itu juga dialami Diana. Dia yang seharusnya mendapat dukungan dari orang tua serta mertua, malah diminta untuk bersabar dan meningkatkan perhatian kepada sang suami. Seolah-olah sikap Dianalah yang membuat Ari ingin menikah lagi. Pada bagian ini, sang sutradara berhasil membuat penonton geregetan, karena sama sekali dibuat tidak tahu apa alasan Ari ingin berpoligami.

“Sendiri Diana Sendiri” ditutup dengan dialog yang menghangatkan hati antara Diana dan Rifki (Panji Rafenda Putra), putranya.

 

Kan selama ini, kita memang cuma berdua…


Jelas enggak bakal bisa nonton film-film ini, kalau bukan dalam event khusus seperti Festival Film Samarinda 2016.

[]

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

six − four =