Arak-arakan Dua Dewa

MINGGU pagi di Samarinda terasa begitu santai, serupa dengan kota-kota kecil lainnya di Indonesia. Hiruk piruk hanya berlangsung di empat lokasi utama: arena olahraga, pasar, tempat ibadah, dan kedai sarapan. Ruas-ruas jalan masih sangat lengang, dan keramaian pusat hiburan baru terhimpun menjelang siang.

Namun nuansa berbeda terjadi kemarin (2/3) pagi.

Sekitar pukul 07.15 Wita. Aroma dupa yang khas, semerbak tercium di jalan-jalan utama dalam kota. Biasanya, warga Tionghoa Samarinda melakukan persembahyangan pagi sekitar sejam sebelumnya. Lalu, di persimpangan Jalan Mulawarman, tempat berdirinya gerai pertama waralaba ayam goreng khas Amerika, bunyi tambur pengiring tarian naga dan Barongsai sayup terdengar. Ternyata dari arah Jalan Niaga Selatan, terlihat liukan tarian naga, diikuti ratusan warga Tionghoa yang berpakaian seragam berupa kaus berkerah warna merah menyala. Dengan berjalan kaki, barisan warga Tionghoa tersebut sedang melakukan kirab dewa.

Atraksi tarian naga di simpang Jalan Pulau Kalimantan-Jalan Pangeran Diponegoro.
Atraksi tarian naga di simpang Jalan Pulau Kalimantan-Jalan Pangeran Diponegoro.

Lebih dari seratus warga Tionghoa memenuhi areal Kelenteng Thien Ie Kong (天儀宮), kemarin pagi sejak sekitar pukul 06.00 Wita. Kehadiran mereka di Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Jalan Yos Sudarso itu, untuk mengangkat dan membawa dua patung dewa utama, berkeliling sejumlah ruas utama Kota Samarinda.

Kirab yang dimulai pukul 07.00 Wita tersebut, menjadi bagian dari ritual hari besar Dewa Hock Tek Ceng Sin/Fu De Zheng Shen (福德正神) atau yang populer disamakan dengan Toapekong/Da Bo Gong (大伯公), sang dewa bumi dan kemakmuran dalam kepercayaan paganisme Tionghoa. Hari besar dewa yang umumnya memiliki rupa seorang kakek ceria, berpenutup kepala dan seringkali digambarkan bertongkat ini, memang jatuh setiap tanggal 2 bulan 2 dalam penanggalan Imlek, yang tahun ini bertepatan dengan tanggal 2 bulan Maret.

Meskipun demikian, tidak hanya Toapekong saja yang diangkat dari altarnya dan dinaikkan ke tandu khusus untuk dibawa berkeliling, karena patung Dewa Hian Thian Siang Te/Xuan Tian Shangdi (玄天上帝) juga mendapat perlakuan serupa.

Kirab diawali dengan ritual mohon izin, untuk memindahkan kedua patung dari altarnya. Setelah perpindahan selesai, para umat kelenteng yang kompak mengenakan pakaian berwarna merah pun bersiap membuat barisan.

Dipimpin kelompok tarian naga, barisan diikuti dengan tandu kecil yang khusus membawa Hiolo atau bokor tempat menancapkan dupa khusus dari altar Toapekong. Tandu sang dewa bumi pun berada di tengah, disusul tandu Dewa Xuan Tian Shangdi dengan ciri khas kaki kiri yang berpijak di atas seekor kura-kura. Iring-iringan tandu pun diekori sepasang Barongsai.

Tandu Toapekong kembali ke kelenteng.
Tandu Toapekong kembali ke kelenteng.

Tandu yang digunakan dalam kegiatan kemarin, telah dimodifikasi pada bagian penyangganya. Apabila tandu pada umumnya hanya bisa dipanggul oleh empat orang (dua depan dan belakang), maka rangkaian kayu yang dibautkan ke penyangga utama memungkinkan lebih banyak orang ikut memanggul. Setidaknya ada 12 orang yang bisa mengangkat tandu, masing-masing empat di depan dan belakang, serta tambahan dua di sisi kanan dan kiri. Sehingga semua yang berminat memanggul, tetap kebagian kesempatan. Sementara itu, bagian utama tandu memiliki tinggi sekitar 1 meter. Khusus tandu Toapekong, dindingnya tidak menutup ketiga sisi. Patung Toapekong seolah dikelilingi partisi dengan desain khas Tionghoa, ditambah sejumlah ornamen pada ujung-ujung atapnya.

Di dalam setiap tandu, masing-masing berisi tiga patung. Satu patung utama Toapekong dan Dewa Xuan Tian Shangdi, dan sepasang patung pendamping masing-masing yang berukuran lebih kecil. Semua patung telah dipasangi jubah, dan dikalungi untaian bunga. Semua wangi pun bercampur, antara aroma dupa, mawar dan melati.

Rute arak-arakan dua patung dewa kemarin terhitung lebih panjang dari kirab sebelumnya. Dimulai dari kelenteng di Jalan Yos Sudarso, kirab mengarah ke Jalan Niaga Timur untuk terus mengarah ke Jalan Panglima Batur. Setelah itu barisan melintasi depan Mal Mesra Indah Jalan KH Khalid, dan memutar ke Jalan Pangeran Diponegoro-Jalan Pangeran Hidayatullah-Jalan Pangeran Suriansyah dan kembali masuk ke kelenteng. Uniknya, di setiap persimpangan, kelompok tarian naga akan melakukan atraksi singkat seperti berputar, putaran silang, dan sebagainya. Sedangkan kelompok remaja dan anak-anak yang berjalan mendahului tandu, akan berteriak “Wanshui! Shenti jiankang, wanshi ruyi (萬歲! 身體健康, 萬事如意)” yang berarti “Panjang umur! Tubuh sehat, semua urusan berjalan sesuai keingian” secara berulang-ulang sepanjang perjalanan. Dengan penjagaan dari sejumlah personel polisi, kirab pun tuntas berlangsung setelah 90 menit.

Persiapan penurunan patung dewa dari tandu.
Persiapan penurunan patung dewa dari tandu.
Patung Xuan Tian Shangdi (玄天上帝) digendong masuk kelenteng.
Patung Xuan Tian Shangdi (玄天上帝) digendong masuk kelenteng.

Kembali ke titik awal kirab, satu persatu tandu dibawa masuk ke pelataran depan bangunan utama kelenteng. Itupun dengan gerakan maju-mundur sebanyak tiga kali sebelum akhirnya benar-benar masuk areal kelenteng, entah apa maksudnya. Tandu disambut taburan bunga, kemudian “diparkirkan” lalu isinya dikeluarkan. Dua patung pendamping dikeluarkan terlebih dahulu, disusul patung utama. Saat patung dikeluarkan, para umat berlutut dengan telapak tangan pada posisi menghormat, baik mereka yang telah bermandi peluh setelah ikut berjalan maupun yang hanya menunggu di kelenteng. Saat itu, tidak sedikit yang terlihat komat-kamit membacakan doa dan pengharapan, maupun sekadar menyampaikan penghormatan. Setelah semua patung dewa dan para pendampingnya kembali ke altar semula, para umat yang telah memadati bagian dalam ruang utama kelenteng pun melakukan sembahyang penutup secara bersama-sama. Sebelum bubar, banyak umat yang mengambil “oleh-oleh” berupa sisa taburan bunga untuk kemudian dibungkus dengan selembar kertas emas yang telah dihambur pada awal perjalanan. Biasanya, bunga bisa dicampur ke dalam bak mandi. Praktik umum lainnya adalah dengan membungkusnya menggunakan Kim Coa (kertas bercat emas yang biasanya dibakar dalam ritual kepercayaan tradisional Tionghoa), lalu menyimpannya di laci uang toko maupun kantor. Anda pasti bisa menebak maksud dan tujuannya.

Secara khusus, selain di Samarinda, juga ada beberapa kota yang melakukan ritual atau bahkan kirab serupa. Terutama di kelenteng-kelenteng dengan Toapekong sebagai dewa altar utamanya. Salah satu seperti Kelenteng Guang De Miao (廣德廟), Balikpapan.

Secara spiritual, warga Tionghoa cenderung tersugesti untuk mengkultuskan hal-hal seperti ini. Tapi dari sisi budaya, kegiatan seperti ini jelas menambah meriahnya rona Nusantara. Memberikan Minggu pagi yang berbeda, di Samarinda.

[]