Apa Kabar Social Movement di Samarinda?
SEPULUH orang jumlahnya. Mereka datang sendiri-sendiri ke lantai 3 salah satu kafe di Samarinda, Rabu malam pekan lalu (8/10). Bukan untuk nongkrong biasa, namun untuk memperbincangkan masa depan sejumlah gerakan sosial berbasis dunia maya.
Akhir 2009, Twitter mulai menjadi tren di Kota Tepian. Saat itu, kebanyakan akun Twitter hanya digunakan untuk mengobrol: berbalas-balasan tweet, mencari kenalan baru, menyapa akun Twitter sang idola, atau hanya dipakai untuk berceletuk sendirian.
Tahun berikutnya, sudah banyak pengguna Twitter di Jakarta yang membangun komunitas. Ada yang berlatar belakang hobi dan kegemaran, ada pula yang mengusung tujuan-tujuan positif di bidang pendidikan maupun lingkungan. Semangat itu menyebar. Mendorong berdirinya cabang-cabang gerakan di banyak kota, termasuk Samarinda. Tentu dengan tantangan dan masalah yang tak sama.
Samarinda Berkebun bisa disebut sebagai cabang gerakan sosial pertama berbasis Twitter di kota ini. Lewat akun Twitter @SmdBerkebun (dibuat pada Oktober 2011), komunitas ini menghimpun warga yang hobi berkebun. Bukan berkebun biasa, melainkan memanfaatkan lahan di tengah kota untuk ditanami sejumlah sayuran. Urban Farming, istilahnya.
“Masalahnya ya lahan. Kita sudah dua kali pindah lokasi, dan sekarang masih berusaha mencari tempat baru. Karena kalau lahannya sudah di pinggiran kota, itu sama saja dengan berkebun biasa,” kata Herwin, koordinator angkatan kedua Samarinda Berkebun.
Lahan terakhir mereka ada di Jalan RE Martadinata, tidak jauh dari salah satu pencucian mobil. Tidak adanya lahan pun membuat Samarinda Berkebun vakum untuk sementara waktu. Para anggotanya hanya bisa melakukan Urban Farming di rumah mereka masing-masing. Berbeda dengan sebelumnya, ketika mereka berkumpul dan melakukan aktivitas berkebun bersama-sama, hingga menikmati hasil panen berupa kangkung, cabai, sawi, terong, dan sebagainya.
“Biasanya kita berkumpul setiap Minggu. Dulu (saat masih ada lahan, Red) ada yang piket untuk menyiram tanaman,” lanjutnya.
Dengan kondisi serba terbatas itu, Samarinda Berkebun pun tetap berusaha mempertahankan keberadaannya. Anggota mereka yang aktif kurang dari sepuluh orang. Berbanding jauh dengan jumlah follower akun Twitter mereka yang mencapai 2.492 orang.
“Untuk saat ini susah mencari peminat baru, apalagi belum ada lahannya. Tapi dari dulu, memang banyak yang cuma nanya aja di Twitter. Ternyata pada harinya, malah enggak datang,” cetus Herwin.
Serupa tapi tak sama, konsistensi juga menjadi problem utama yang tengah dihadapi komunitas Earth Hour Samarinda. Kelompok yang hadir sebagai bagian dari gerakan global Earth Hour ini, bertujuan untuk menyebarkan pesan-pesan positif mengenai gaya hidup ramah lingkungan.
“Tujuan kita adalah menyebarkan gaya hidup ramah lingkungan kepada masyarakat. Tapi apa yang disuarakan benar-benar dijalankan diri sendiri, enggak?” kata FX Reza Nugroho, koordinator gerakan dengan akun @EHSamarinda.
Gerakan Earth Hour memang mendunia, namun masih banyak yang mengira bahwa seruan Earth Hour hanya soal mematikan listrik selama 60 menit. Reza menitikberatkan pada budaya latah, ikut-ikutan demi kehebohan sesaat. Padahal ada empat fokus gerakan: energi dan air, sampah dan plastik, kertas dan tisu, serta transportasi publik. “Kalau cuma kampanye pemadaman listrik doang, Samarinda sendiri sudah sering mati lampu,” celetuknya.
Selain Earth Hour Samarinda, ada juga komunitas Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI) Kaltim. Sekilas, fokus gerakan sosial mereka sama, yakni perhatian lebih untuk lingkungan. Meskipun begitu, kedua komunitas ini tetap bisa berjalan beriringan. Kendati proses kaderisasi dan kampanyenya cukup berbeda.
“Organisasi kita lebih bersifat struktural, dan kebanyakan diisi mahasiswa serta pelajar. Aksi terakhir 27 September lalu, kita mencabut paku dari pohon-pohon,” jelas Ibnu Abbas Rachman, koordinator KOPHI Kaltim. Kegiatan mereka bisa dipantau lewat akun @KOPHIKaltim.
Pastinya, baik Reza maupun Abbas sepakat bahwa beban yang diemban komunitas gerakan sosial mengenai lingkungan jauh lebih berat. “Mengubah gaya hidup itu susah. Masih banyak yang buang sampah sembarangan, misalnya. Padahal sekarang itu seharusnya sudah memilah sampah. Atau soal transportasi umum misalnya, tapi di sini belum bisa diterapkan,” tegas Reza.
Di bidang pendidikan, setidaknya ada tiga gerakan sosial yang menggeliat di Samarinda. Diawali kiprah Akademi Berbagi (@AkberSMR), Kelas Inspirasi Samarinda (@klsinspirasismr), dan Samarinda Menyala (@Smr_Menyala) yang paling anyar. Ketiganya memiliki lingkup yang berbeda, namun sama-sama memiliki misi mengembangkan sumber daya manusia.
Sesuai namanya, Akademi Berbagi–kerap disebut Akber–adalah komunitas yang mengedepankan kesempatan berbagi ilmu secara terbuka dan gratis. Lewat sesi-sesi kelas yang diselenggarakan sekali dalam dua pekan, sukarelawan Akber yang dipimpin seorang “Kepala Sekolah” mengundang narasumber dari berbagai latar belakang profesi dan keilmuan untuk membagi pengetahuan dan berdiskusi dengan peserta. Hanya saja, wawasan yang disampaikan lebih kepada soft skill, lebih bertumpu pada pengembangan karakter, simpati, motivasi untuk berkarya, percaya diri dan berani mencoba, serta sejenisnya.
“Misal ada yang berbagi kemampuan hard skill, keterampilan gitu, ya biasanya kita hanya memfasilitasi dalam satu kelas. Apabila peserta ada yang berminat, bisa langsung menghubungi narasumber di luar kelas. Seperti kelas terakhir, tentang gambar dan desain,” sebut Tendi Riandi, kepala sekolah kedua Akber Samarinda.
Kendati mengusung konsep berbagi dan gratis, Akber Samarinda yang berdiri 14 November 2011 ini tetap mesti berurusan dengan sejumlah kendala khas, seperti yang terjadi di kota-kota lainnya.
“Kalau di Akber, kendala utamanya adalah tema dan pengajar. Karena tidak semua bisa dan bersedia. Karena di Akber dilarang berujung jual beli, promosi produk. Selain itu ya kelas, kan mesti cari tempat tidak berbayar,” jelas Iqra Mahbara, kepala sekolah periode sekarang.
Lain Akber, lain pula Kelas Inspirasi Samarinda (KI Samarinda). Gerakan sosial turunan dari Indonesia Mengajar yang diprakarsai Anies Baswedan ini lebih menyasar para murid SD di sekolah-sekolah pinggiran kota. Kelas Inspirasi digerakkan fasilitator, yang kemudian menghimpun inspirator (orang-orang yang bersedia berbagi inspirasi), dan dokumentator (fotografer dan videografer). Tujuannya untuk berbagi cerita mengenai profesi para inspirator, agar mampu menumbuhkan semangat anak-anak meraih cita-cita.
Sejauh ini, KI Samarinda memang baru menggelar satu sesi kelas pada awal Mei lalu. Ketika itu, semua inspirator yang bersedia, disebar ke sejumlah SD. Selama sehari penuh, mereka menggantikan posisi guru. Bukan untuk mengajar, melainkan berbagi cerita, menyanyi, dan bermain.
“Setelah itu, beberapa teman-teman ada yang rajin menyambangi sekolah, untuk follow up atau untuk terus membantu. Itu di luar mekanisme KI Samarinda, tapi tetap bermaksud positif,” beber koordinator KI Samarinda, Darmawansah.
Berdirinya KI Samarinda menyusul kehadiran KI Paser dan KI Balikpapan yang lebih dulu dibentuk. Wawan (panggilan akrab Darmawansah) mengisahkan, ide dasar pembentukan KI Samarinda muncul pada Juli 2013. Itu pun hanya diawali dari obrolan tiga orang, sampai akhirnya berkembang menjadi sembilan sukarelawan, dan berhasil ditindaklanjuti.
“Mirip dengan Akber, kita mungkin kesulitan mencari inspirator yang bersedia. Tapi ternyata saat acara berlangsung, banyak banget inspirator dari daerah lain yang datang secara pribadi. Ini yang sempat bikin harus berkoordinasi lagi,” urai Wawan.
Lantaran lingkup aktivitas Akber di lingkungan SD, halangan lain yang mereka hadapi adalah perihal birokrasi administratif dan sejenisnya. Para fasilitator mesti mendapatkan izin dan rekomendasi dari UPTD Dinas Pendidikan (Disdik) setempat, sebelum diperbolehkan berkegiatan di sejumlah SD. Padahal setelah kelas perdana Mei lalu, banyak sekolah yang meminta tim KI Samarinda untuk datang kembali. Dampak positifnya sudah dirasakan para murid. “Maksudnya memang baik ya, tapi akan lebih ideal apabila tidak dipersulit,” cetusnya.
Gerakan termuda di antara yang lainnya adalah Samarinda Menyala, 5 September lalu. Fokus kegiatan mereka adalah menghimpun buku bacaan anak-anak, baru maupun bekas. “Kita ingin meningkatkan minat baca anak-anak, utamanya. Sejauh ini sudah terhimpun 300 buku, dan masih ditingkatkan lagi,” ungkap Chandra Nugraha, salah satu dari lima inisiator gerakan ini.
Buku-buku yang berhasil dikumpulkan, bisa didistribusikan langsung maupun dikumpulkan menjadi taman bacaan. Gerakan yang sebenarnya juga menjadi turunan dari Indonesia Mengajar ini, diharapkan mampu mengakomodasi aspek pembangunan manusia dari gerakan-gerakan lainnya.
KOLABORASI?
Keenam gerakan sosial berbasis media sosial itu memang merupakan cabang dari induk mereka di Jakarta. Dengan tujuan yang sama-sama positif, mereka tentu dapat saling bekerja sama dan berkolaborasi. Selain mampu memperluas jaringan, mereka juga saling mendukung. Setidaknya, dari para sukarelawan yang tersisa, dapat saling bahu membahu menyebarkan pesan positif yang diusung.
“Ada wacana seperti itu. Tapi belum ditindaklanjuti, ya semoga ke depannya bisa bekerja sama. Karena orangnya yang masih sedikit,” ucap Tendi.
Sayangnya, sejauh ini gerakan mereka terkesan sporadis. Tidak salah memang, akan tetapi ini Kota Samarinda. Salah satu kota utama di pulau Kalimantan dengan karakteristik penghuni yang kagetan: ikut heboh ketika ada sesuatu yang booming, tapi menghilang satu persatu tidak berapa lama setelahnya. Tanpa bermaksud menggeneralisasi, banyak yang ikut datang dan menikmati keramaian, ketimbang bertanggung jawab pada pelaksanaan keramaian tersebut. Hal itu pula yang–sejauh pengamatan saya–terjadi dalam tubuh gerakan-gerakan sosial tersebut.
Tidak sulit untuk menemukan akun Twitter mereka. Bila Anda tertarik dan bersemangat untuk ikut terlibat, mention saja.
[]