Sang Martir

253
views
source: indonesianfilmcenter.com

BEBERAPA bulan terakhir, film-film dalam negeri dengan beragam genre menggempur bioskop. Beberapa di antaranya mengangkat isu-isu terkini dalam cerita, serta menyuguhkan ide yang belum pernah ada sebelumnya. Banyak yang bagus dan meninggalkan kesan mendalam, namun tak sedikit pula yang terasa menggantung penuh paksaan.

“Sang Martir”, film garapan Helfi Kardit yang baru diluncurkan Kamis (25/10) lalu mungkin termasuk film kategori kedua. Seperti puzzle dengan potongan penyusun yang berantakan dan asal tempel, ceritanya terkesan dipaksakan. Kondisi ini diperparah dengan casting yang terkesan mubazir, gaya akting yang tak maksimal atau malah berlebihan, serta canggungnya interaksi antarperan dalam beberapa bagian. Walaupun demikian, tetap ada satu dua hal baik yang tersaji dalam film berdurasi kurang dari dua jam ini.

Berawal di sebuah panti asuhan Al Quba, Jakarta Pusat. Lily (Widy “Vierra”) diperkosa seorang preman. Rangga (Adipati Dolken) membalas dendam dengan membunuh sang pemerkosa, tanpa tahu bahwa yang ia bunuh adalah adik dari Rambo (Tio Pakusadewo), si bos preman. Tindakan heroik tersebut membuat Rangga mendekam di penjara selama tiga tahun.

Setelah bebas, nyawa Rangga tetap diincar Rambo. Pengejaran terus berlangsung sampai ia diselamatkan oleh Jerry (Ray Sahetapy), bos preman sekaligus bandar narkoba musuh bebuyutan Rambo. Lewat beberapa kali negosiasi, Rangga diperdaya dan akhirnya bersedia bekerja untuknya.

Santai sejenak dari plot tegang yang penuh nuansa dendam, Rangga bertemu dengan Cinta (Nadine Alexandra). Salah satu buruh di pabrik Jerry yang sering berdoa di depan gereja, bukan di dalamnya. Rangga yang penasaran pun mulai menjalin komunikasi, memunculkan aksen baru dalam cerita: ketertarikan antara dua orang yang beda agama, meski hanya berujung pada pertemanan belaka.

Sambil menjalankan pekerjaan barunya, Rangga baru tahu bahwa keadaan berubah tragis selama ia dipenjara. Rambo membunuh ayahnya (pengelola panti asuhan) dan merebut panti asuhan, kemudian mengeksploitasi anak-anak yatim piatu yang diasuh di sana. Kerap kalut, Rangga seringkali melakukan konfrontasi dengan anak buah Rambo. Sampai akhirnya ia tertangkap dan dibawa ke hadapan bosnya.

Mendadak lemah karena akta tanah, Rambo menjanjikan kebebasan dan uang untuk penghuni Al Quba. Syaratnya, Rangga harus berhasil membunuh Jerry. Dengan modus bom bunuh diri di misa malam Natal, dalam gereja yang pembangunannya disponsori oleh Jerry juga. Menariknya, “Sang Martir” pun diakhiri dengan ending yang lumayan bagus untuk sebuah eksekusi klimaks cerita.

Terlepas dari alur cerita, kemunculan tokoh-tokoh dengan peran sekadarnya atau dengan watak yang tak konsisten dalam “Sang Martir” diawali sosok Lily. Ini adalah film pertama Widy “Vierra”. Ia hanya muncul sekejap, menjadi korban perkosaan, histeris dan akhirnya alami gangguan jiwa. Sepanjang film, wajahnya hanya muncul tiga kali. Tetap harus diakui, aktingnya dalam adegan pemerkosaan begitu meyakinkan; berontak dan meronta kala disergap oleh Jerink (Edo Borne). Lalu aktingnya kala alami gangguan jiwa dan terus histeris, sampai akhirnya digambarkan pucat, murung dengan tatapan mata menerawang kosong di penampilan ketiga.

Dilanjutkan dengan tokoh Pendeta Joseph (sayangnya ga nemu siapa nama pemerannya), seorang narapidana kasus Ambon yang menjadi teman Rangga. Ada beberapa line yang bikin awkward saat dilontarkan, apalagi jika disandingkan dengan aksesori yang dipakai sang pemeran.

Sebagai Rangga, Adipati Dolken menampilkan sisi yang jauh berbeda dibandingkan perannya di “Perahu Kertas”. Aksi laga penuh kekerasan memang bisa dilakoninya dengan mantap. Konsekuensinya, ia kerap menampilkan mimik marah yang terasa tanggung (paduan geram dan sedih).

Selebihnya, peran Rangga sendiri menunjukkan pribadi yang labil dan memiliki respons emosi yang berubah-ubah (antara marah, takut, pasrah, dan bimbang) dalam sejumlah bagian. Belum lagi dengan kontroversi yang dimunculkannya: Rangga mengidolakan Soeharto, namun suka menulis puisi tentang perlawanan terhadap penguasa yang menyengsarakan rakyat.

Peran Cinta (Nadine Alexandra) terkesan datar dengan penampilan yang tidak maksimal. Mimik dan intonasi bicaranya terdengar terlalu berhati-hati, tidak pas dengan karakter seorang gadis buruh yang bekerja di tengah kebisingan. Latar belakangnya sebagai Putri Indonesia 2010 pun masih melekat kuat pada aktingnya.

Kesan emosi berbeda tertangkap dari peran Arman (Fauzan Smith). Dengan kemunculan yang juga tak banyak, Fauzan Smith menampilkan sosok Arman yang apa adanya. Tapi sukses menjadi kunci di akhir cerita.

Berbeda dengan penampilan para junior-juniornya, akting Tio Pakusadewo dan Ray Sahetapy dalam “Sang Martir” terasa pas dalam interpretasi masing-masing. Tio sukses menjadi bos preman yang beringas dan kasar, Ray berhasil menjadi bos preman yang kejam namun kalem.

Terakhir, sejumlah ikon keagamaan yang dimunculkan dengan maksud untuk memperkuat cerita pun malah memberi kesan berlebihan. Seolah menjadi ornamen yang tidak menambah kedalaman kesan apa-apa.

Setidaknya, itu yang saya saksikan dan rasakan setelahnya.

[]

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

1 × 2 =