Java Heat

21 April 2013
2
source: Facebook fanpage “Java Heat”

SUSAH untuk tidak jatuh cinta dengan Jogjakarta. Namun akan lebih susah untuk tidak terperangah ketika melihatnya dibalut dalam film bergaya Hollywood. Begitulah cara Conor Allyn menyajikan “Java Heat”, film action tipikal Amerika yang baru dirilis Kamis (18/4) kemarin.

Gengsi adalah hal pertama yang terendus dari film ini. Sang sutradara menggandeng Mickey Rourke dan Kellan Lutz–nama-nama beken perfilman Amerika–menjadi para bintang utamanya. As a brief reminder, Mickey Rourke berperan sebagai musuh utama dalam “Iron Man 2” (2010) dan tampil sebagai anggota tim dalam “The Expendables” (2010). Sedangkan nama Kellan Lutz melejit lewat serial “The Twilight Saga” yang fenomenal itu. Mereka diboyong untuk beradu akting di Kota Pelajar dan sekitarnya bersama Ario Bayu, Rio Dewanto, Atiqah Hasiholan, Uli Auliani serta Tio Pakusadewo. Kerja sama ini menghasilkan kolaborasi dengan kualitas setara. Rombongan pelakon dari barat mampu tampil tanpa kesenjangan label. Sedangkan seniman Tanah Air juga menunjukkan kemampuan yang maksimal. Bukan sekadar gengsi.

Pengalaman Conor Allyn dalam “Merah-Putih” (2009) dan semua karya terkait lainnya jelas berpengaruh besar dalam pembuatan “Java Heat”. Sang sutradara seolah makin akrab dengan Indonesia dan detail-detail keindonesiaan yang bisa ditemuinya di Jogjakarta. Semua dirangkai dengan sejumlah fakta pengetahuan umum dasar mengenai kondisi demografi, sosiopolitik, ditambah penekanan khusus pada budaya Jawa sebagai salah satu sendi utama cerita.

Film ini dimulai dari sebuah ruang interogasi kepolisian Jogjakarta dengan setting-an tipikal Hollywood, lengkap dengan kesan gloomy, kuno, pengap, dan dekil khas dunia ketiga. Di bawah sorotan lampu bertudung besi, Jake (Kellan Lutz) dikonfrontasi Letnan Hashim (Ario Bayu) dan Anton (Rio Dewanto). Jake yang mengaku berkunjung ke Indonesia sebagai asisten dosen dari Cornell University, diamankan karena diduga terlibat dalam insiden bom bunuh diri yang ditujukan kepada Sultana (Atiqah Hasiholan), sultan wanita pertama Kesultanan Jogjakarta. Pada titik ini, Conor Allyn mulai mengangkat sentimen terorisme sektarian sebagai salah satu komponen cerita. Hemat saya, topik ini menarik rasa penasaran banyak orang; mereka yang skeptis atas objektivitas penulis naskah dalam memosisikan sebuah kelompok, penonton dalam negeri yang antusias, maupun penonton asing. Menariknya, dalam dialog-dialog adegan awal ini, Letnan Hashim tak hanya menunjukkan dirinya sebagai seorang muslim yang taat, namun juga sebagai seorang polisi yang berperang melawan segala bentuk terorisme sebagai salah satu tupoksi utama satuannya. Selain itu, masih dalam rangkaian dialog-dialog adegan pembuka yang sama, Letnan Hashim juga banyak menggarisbawahi pernik budaya Indonesia. Tentang batik misalnya, yang disebut Jake sebagai kemeja santai model Hawaii.

Memerlakukan Jake sebagai saksi mata kunci dalam insiden ini, Letnan Hashim melanjutkan penyelidikannya. Kemudian, lewat kecermatan Jake yang tidak dimiliki Hashim (boobs and clit related sih, LOL), mereka akhirnya menemukan fakta baru.

Lepas dari bagian ini, Conor Allyn mulai menyodori penonton dengan aksi a la Hollywood. Melibatkan adegan tabrakan dan baku tembak. Hanya saja, adegan ini berlangsung di ruas jalan Jogjakarta, lengkap dengan suasana yang khas, lampu lalu lintas berpenghitung mundur, serta atribut-atribut jalanan lainnya. Pada bagian ini, sudah mulai banyak penonton yang bergumam “WHOA!”

Tanpa keterburu-buruan atau bagian yang dimasukkan secara paksa, adegan pemicu ketegangan tadi kembali dirangkai penggambaran-penggambaran tentang budaya Indonesia dengan presisi yang baik. Mulai dari etiket keseharian orang Jawa, penggunaan sebutan “bule” dan konotasi positif-negatifnya, hingga menu sarapan pagi nasi goreng dengan menghadirkan tokoh-tokoh baru. Setelah itu, Jake, Hashim dan Anton pun kembali menggiring penonton untuk mengikuti benang merah plot.

Kecurigaan Hashim dan Anton terhadap Jake tak juga berkurang, apalagi ketika Jake melanjutkan penyelidikannya atas kasus ini seorang diri dan bertemu dengan Rani (Uli Auliani) yang tampil luar biasa seksi. Dengan rapi, bagian ini kian mengerucutkan konflik ganda antara Jake dengan kelompok penjahat, maupun antara Jake dan Hashim-Anton. Sejurus kemudian, penonton kembali disuguhkan dengan aksi keren para figuran polisi dalam chasing-scene kelas Hollywood.

Melewati paruh kedua film yang berdurasi lebih dari 1,5 jam ini, “Java Heat” akhirnya mulai menunjukkan arahnya sebagai buddy cop film. Dengan sejumlah lecutan-lecutan event yang tegas dan kerap mengecoh persepsi penonton, akhirnya Hashim dan Jake mengejar tujuan yang sama. Tentu tetap dibarengi dengan nukilan-nukilan filosofi ketimuran. Hingga pada akhirnya pencarian mereka bermuara pada Malik (Mickey Rourke), penjahat perlente dengan aksen Prancis, dan eksentrik (termasuk secara seksual).

Keberadaan Malik sebagai sosok antagonis yang mengerikan diperkuat dengan sejumlah intrik dan skandal. Uniknya, interkoneksi pada intrik ini dimanfaatkan dengan luar biasa cerdas oleh Conor Allyn untuk menampilkan pasukan profesional dengan busana tradisional. Saya tidak bisa menahan luapan emosi gabungan antara kagum dan tergelak saat adegan serbuan mas-mas berblangkon dengan perangkat militer modern di siang bolong (maaf, sedikit spoiler, but I couldn’t help it). Semua akhirnya bermuara pada puncak plot dengan latar belakang Candi Borobudur.

Komponen-komponen di atas berpadu menjadi “Java Heat”, film Indonesia dengan citarasa Hollywood. Tak hanya dari sisi pemain, konsep cerita, persiapan properti dan gimmicks, tapi juga meliputi teknis produksi, bahkan sampai pada unsur sensual yang diselipkan sebagai bumbu.

Secara khusus, sebagai protagonis utama physical feature Kellan Lutz pun dimaksimalkan (ketimbang mubazir). Sekali dua kali penonton disodori adegan “jualan lekukan otot”, ketika sang aktor kelahiran 1985 ini melakukan olahraga. Jelas ini bertujuan untuk “menggembok” mata para penontonnya. Selain itu, sensualitas juga digenjotkan pada Kellan Lutz dan Uli Auliani dalam adegan ciuman yang HOT! untuk sekelas film Indonesia. Tak ketinggalan, You’ll see Lutz’s cheeks, “that cheeks” I emphasize, as a bonus. Selain itu, Conor Allyn juga sempat-sempatnya memanfaatkan label “Cullen” yang pernah disandang Kellan Lutz untuk menghasilkan lelucon yang ngena banget bagi penonton “Java Heat”.

Penampilan Mickey Rourke dalam “Java Heat” sebagai seorang penjahat kaliber dunia-akhirat benar-benar pas. Ia sukses memerankan penjahat dengan kepiawaian yang gila. Termasuk dalam penampilannya yang, ehm, terlalu eksentrik dengan menjadi kusir andong dalam adegan berfiguran anak-anak kecil dengan tatapan mata yang menusuk.

Apresiasi terbesar diberikan kepada Ario Bayu. Tak hanya lewat aktingnya yang mampu mengimbangi aura superstar Kellan Lutz dalam berbagai tahapan pembangunan hubungan antarkarakter, saya juga jatuh cinta dengan aksen “Indonesianlish” (Indonesian-English)-nya. Membuat bahasa Inggris yang dituturkan orang Indonesia terdengar memiliki ciri khas dan karakteristiknya sendiri, dan bukan untuk ditertawakan (layaknya Singlish, atau Indian English).

Selain Ario Bayu, penampilan para bintang Indonesia juga patut diacungi jempol. Laga maksimal Rio Dewanto, penampilan anggun dan elegan dari Atiqah Hasiholan serta dialog yang kuat sebagai seorang sultana, totalitas Uli Auliani, Verdi Solaiman dengan logat Kanton yang meyakinkan, maupun Agung Udijana yang hadir dalam peran kecil namun memberi warna khusus dalam jalinan cerita, termasuk aktor senior Frans Tumbuan maupun Rudy Wowor.

Dipersiapkan untuk distribusi dan selera global, “Java Heat” sepertinya menjadi media promosi paling komplet atas Indonesia; sebagai destinasi wisata, pusat budaya, checkpoint untuk kerja sama perfilman internasional, maupun contoh lingkungan sosial yang kondusif yang menyenangkan. Semoga akan semakin banyak film-film menyenangkan seperti ini, terlepas dari siapapun pembuatnya.

Thanks to Conor Allyn and His proficient team.

[]

source: aceshowbiz.com

 Posted from WordPress for BlackBerry.