Deru Debu Kota Tepian

16 August 2012

NUN, seperti “Suci dalam Debu” yang dipopulerkan oleh band Iklim dari Malaysia pada era 90-an lalu, atau “Butiran Debu” yang kini tengah jadi bahan sengketa, debu cuma bisa dinikmati sebagai bagian dari syair puisi atau lirik lagu. Selain daripada itu, debu cuma jadi objek keluhan, serapahan, dan kebencian.

Seperti yang ditunjukkan oleh warga Jl Mas Mansyur, pada pertengahan Juli lalu, ketika memblokir jalan mulai dari simpang Jl Untung Suropati karena jalan yang rusak dihajar truk tronton dan debu yang dihasilkan. Mereka ditemui Wakil Wali Kota Nusyirwan Ismail dan para pejabat terkait, kemudian berakhir dengan kesepakatan perbaikan jalan.

Debu Tebal Jl Jakarta

Saat sebagian ruas Jl Mas Mansyur sedang dalam proses perbaikan, lalu lintas truk pun dialihkan melalui Jl Jakarta, karena tidak ada jalur lain menuju Jembatan Mahulu selain dari sana. Ini malah membuat warga Jl Jakarta, Loa Bakung, yang sejak Sabtu (28/7) malam lalu giliran memblokir jalan dari truk-truk tronton pemuat kontainer, lagi-lagi lantaran sangat terganggu dengan debu yang dihasilkan. Aksi blokir jalan ini berlanjut kian intensif selama beberapa hari, bahkan sampai berhasil mendesak Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang untuk datang malam-malam dan mengiyakan semua tuntutan yang disampaikan. Meskipun beberapa poin di antaranya tidak relevan dengan urusan debu jalan, salah satunya seperti penyediaan lahan pekuburan.

Kekesalan warga Jl Mas Mansyur dan Jl Jakarta mungkin bisa dimaklumi oleh sebagian besar penduduk Kota Samarinda, walaupun warga kedua wilayah itu terkesan saling tak mau kalah dan bikin pejabat pemkot serba salah. Bisa saja aksi keras warga dua wilayah ini menjadi pecut bagi warga kawasan lain untuk berpola pikir serupa; “blokirlah jalan, maka semua urusan akan dimudahkan.”

Selama lebih dari tujuh tahun terakhir, debu sudah menjadi “makanan” sehari-hari warga yang kebanyakan menunggangi sepeda motor di jalan raya. Debu yang awalnya cuma bisa meningkatkan produksi upil dan kotoran mata, ternyata berdampak sistemik. Tidak percaya? Silakan coba melintas di sepanjang Jl Untung Suropati, pada siang hari.

Saat cuaca terik, jalan raya berdebu. Para pedagang masker hidung pun bermunculan dengan harga yang saling beradu. Ketika hujan, jalan raya berlumpur, karena debu dan air hujan bercampur. Kondisi tidak menyenangkan ini membuat banyak warga Samarinda kian mengidamkan punya mobil, hingga meningkatkan penjualan kendaraan roda empat itu secara tunai apalagi kredit dalam beberapa tahun terakhir. Wajar, karena di dalam mobil yang berpendingin udara, panas dan debu tak terasa. Hingga pada akhirnya membuat jumlah mobil yang seliweran tidak sebanding dengan ketersediaan ruas jalan, dan voila! Selamat datang kemacetan.

Lalu, sebenarnya dari mana sih datangnya debu yang melimpah ruah ke Kota Tepian, dan seolah membuat kiprah pasukan kuning mendadak tidak terasa? Hemat saya, dari truk dan jalan rusak.
Sudah menjadi wawasan umum, truk yang melintas di jalan raya tidak pernah ada yang bersih, kecuali truk baru beli atau baru dicuci. Selebihnya? Apakah itu truk yang keluar dari lokasi proyek maupun tambang dengan ban berlumpur, truk pengangkut bahan bangunan macam semen, pasir, maupun batu, semuanya kotor tidak keruan. Untuk urusan ini, sayang beribu sayang tudingan ketidakpedulian kembali diarahkan ke pemkot maupun instansi yang terkait. Kenapa bisa membiarkan truk kotor penebar debu berkeliaran di jalan kota, tanpa pemberlakuan sanksi yang nyata? Bukan hanya dengan sekadar tilang atau membayar denda, melainkan langsung meminta sang sopir membersihkan truknya di tempat, untuk menimbulkan efek jera. Bahkan truk tersebut seringkali dikendarai dengan ngebut membabibuta. Ironisnya, ketika warga ingin melaporkan truk durjana tersebut, pelat nomor polisinya kerap tertutup debu tebal sampai tidak terlihat apa-apa.

Kecaman untuk truk jorok ini juga bisa dialamatkan kepada para pengusaha pemiliknya. Mereka boleh mengklaim diri mereka pengusaha, tapi untuk urusan kebersihan truknya saja macam orang susah, tidak becus dikerjakan. Entah dengan dalih biaya operasional, kecepatan pengantaran, tabiat sopir, dan sebagainya, mereka seolah hanya ingin tahu truk mereka bisa dipakai jalan, barang dagangan mereka diantarkan kepada pembeli, urusan debu dan jalan rusak tidak jadi beban pikiran.
Sejauh ini hanya ada sedikit perusahaan konstruksi, yang menyediakan kolam pembilasan ban tepat di depan pintu masuk lokasi proyek. Itupun kebanyakan perusahaan pengembang milik pemerintah. Lain cerita dengan truk milik perusahaan bahan galian C seperti batu, dan Pasir Mahakam yang tempat penumpukannya (Stockpile) ada di daerah pinggiran. Warga Palaran pasti sudah “kenyang” dengan hal ini.

Tak cukupkah selama ini wajah Kota Tepian selalu terlihat lusuh dan kusam? Samarinda seolah-olah seperti kota di Timur Tengah, yang bisa kotor seketika setelah diserang badai pasir (seperti kota Dubai di film “Mission Impossible 4: Ghost Protocol”). Oh, boro-boro dibandingkan dengan Dubai, atau sesama ibu kota provinsi, wajah Kota Samarinda seolah “ditampar” ketika disandingkan dengan Kota Beriman, Balikpapan, atau Kota Taman, Bontang.

Untuk ini, ketimbang Pemkot Samarinda selalu disebut hanya kalang-kabut ketika muncul aksi protes warga, alangkah arifnya apabila mulai melakukan tindakan yang diperlukan guna menertibkan truk, sopir, sekaligus pengusaha pemiliknya. Dari data perusahaan dengan armada truk, pastikan mereka memiliki standar pembersihan truk sebelum memasuki dalam kota. Bila perlu, berdayakan semua tempat pencucian truk yang ada. Tetap dengan supervisi dari instansi terkait seperti Badan Lingkungan Hidup (BLH) untuk persoalan ke manakah kotoran truk yang rontok setelah dicuci mesti dibuang. Bila gagasan ini dirasa merepotkan, beralihlah ke metode paling sederhana; siram jalan. Tapi, daripada pemkot merasa terbabani dengan anggaran dan operasional, minta para pengusaha bertanggung jawab untuk menyiram jalan yang mereka buat berdebu. Jangan sampai pemkot kehilangan wibawa, kehilangan kemampuan menetapkan peraturan serta memberi sanksi, dan seolah merasa nyaman menjadi kambing hitam.

Kemudian, ada banyak penyebab jalan rusak. Selain banjir, dan tanah ambles, juga tidak jauh-jauh dari truk dengan muatan jauh di atas kelas jalan yang dipaksa melintas. Kali ini, mau tidak mau dinas terkait seperti Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), Dinas Perhubungan (Dishub) Samarinda harus unjuk gigi. Jika biasanya penyapu jalan beraksi jelang subuh, ada baiknya diawali dengan penyiraman jalan. Agar debu yang disapu bisa lebih mudah dikumpulkan dan tidak beterbangan saat dikumpulkan. Jadi, setelah jalan dibilas dan dibersihkan, giliran Dishub mengawasi agar truk yang melintas tidak boleh keterlaluan kotornya. Sebagai percontohan, bisa dilakukan tepat di simpang depan Jembatan Mahakam yang kini menunjukkan segitiga debu, lantaran semua kendaraan dari arah jembatan mesti berjalan memutar di simpang Jl IR Sutami.

Kenapa setelah disiram kemudian disapu? Saya masih ingat, beberapa tahun lalu sejumlah ruas jalan dalam kota, seperti Jl Biawan, seringkali disiram setiap pagi. Namun air siraman dibiarkan begitu saja mengalir ke dalam selokan, sehingga setelah kering, air menguap menyisakan tumpukan debu penyebab parit buntu. Terkesan ada skema pekerjaan yang tidak tuntas.

Terakhir, saya yakin masih ada banyak orang-orang cerdas yang peduli dengan kondisi kota kita tercinta ini. Saya sendiri, awam dengan urusan pengelolaan kota. Pastinya, kalau ada aksi blokir jalan di suatu kawasan, tidak mustahil ada aksi sosial lain dengan konsep kreatif lain yang bisa dijalankan. Intinya hanya satu, jangan sampai hanya gara-gara debu jalanan, daun hijau pun jadi buram. Kalau tidak mulai dirombak dari sekarang, kapan?

[]