Cerita dari Berau

15 August 2012

MENJADI penghuni salah satu pulau terbesar di Indonesia memang penuh tantangan dan gampang-gampang susah. Apalagi dengan kondisi alam yang sebagian besar masih belum human-friendly seperti Kalimantan. Ya, dalam hal ini manusia masih kalah keren dengan Orangutan, primata kerabat terdekatnya.

April 2010, untuk pertama kalinya saya benar-benar melihat Kaltim – provinsi tempat saya berdiam selama 25 tahun belakangan ini – dengan sudut pandang yang berbeda. Nggak melulu hanya Loa Janan (kebetulan tempat rumah saya berada), Samarinda, Tenggarong, Balikpapan dan Tarakan semata, yang jika luas seluruh wilayahnya digabung jadi satu, hanya menjadi sepersekian persen dari luas keseluruhan Kaltim. Berkesempatan mengikuti rombongan gubernur yang sedang melakukan kunjungan kerja dengan jalan darat dari Samarinda ke utara Kaltim hingga perbatasan, saya pun akhirnya berkesempatan untuk sekadar melintasi Kota Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau. Tanpa pernah tahu bahwa sebenarnya di sana sudah ada komunitas umat Buddha dengan Vihara Santi Graha yang berdesain serupa dengan Uposathaghara Mahavihara Buddha Manggala di Balikpapan.

FYI, perjalanan darat tersebut sungguh sangat melelahkan. Harus menggunakan kendaraan yang sanggup menghadapi medan offroad untuk perjalanan selama lebih dari sepuluh jam melewati satu kota (Bontang), satu kabupaten (Kutai Timur) lain dan satu kawasan pertambangan (Muara Wahau).

Hutan Kaltim yang bisa dilihat dari penerbangan 45 menit antara Balikpapan dan Tanjung Redeb, Berau.

Selepas kunjungan itu, hampir tidak pernah terpikirkan oleh saya untuk kembali lagi ke sana kecuali jika sewaktu-waktu ingin berpelesir ke Kepulauan Derawan, seperti yang kerap dilakukan oleh adik saya. Hingga pada akhirnya, di pertengahan 2011, Bhante Adhikusalo Thera (saat itu masih menjadi Kepala Vihara Muladharma, Samarinda) berceletuk, “loh Gon, di Berau sudah ada Patria-nya ya? Kapan berdiri?” Pertanyaan santai itu sontak bikin kaget. Karena saya baru sekali mengunjungi Berau dan itupun tanpa pernah berkontak dengan umat Buddha di sana.

Beberapa waktu setelah pertanyaan Bhante Adhikusalo Thera tersebut dilontarkan dan dibarengi dengan upaya mencari informasi pakai gaya bak seorang detektif, akhirnya dari Ronny (ketua DPC Patria Tarakan) diperoleh keterangan bahwa muda mudi Buddhis di Berau memang sedang aktif-aktifnya berkiprah dan sudah berkenalan dengan konsep Patria oleh Bapak Lilik, guru agama sekaligus pembina umat di sana. Lewat perantaraan Ronny, akhirnya saya pun bertukar kontak PIN Blackberry Messenger dengan Cinni Dewi, pentolan muda mudi di sana.

Kisah berlanjut pada trimester terakhir (Oktober – Desember) 2011. Mendekati jadwal perayaan Kathina di Berau, permintaan untuk melantik dan meresmikan Patria di Kabupaten Berau pun semakin intensif. Bahkan Cinni pun sempat meminta agar pelantikan Patria di Berau diselenggarakan bersamaan dengan Kathina di sana yang kebetulan jatuh pada November, sehingga bisa memanfaatkan kehadiran para Bhikkhu untuk menjadi saksi dan memberikan pemberkahan.

Tak ingin gegabah, diskusi dan konsultasi dengan Ketua Umum DPP Patria, Tanagus Dharmawan pun saya gencarkan. Karena sesuai amanat dalam Munas Patria terakhir (di Denpasar, Bali pada Desember 2009), pengembangan Patria tidak hanya memperhatikan kuantitas, namun juga kualitas. Kala itu, ada sinyalemen positif dari DPP, merestui peresmian DPC Patria Kabupaten Berau dengan catatan harus penuh pengawasan baik dari senior umat Buddha di Berau sendiri maupun oleh DPD Patria Kaltim.

Sepanjang itu juga, sempat terjadi tarik ulur keputusan antara saya dengan Cinni Dewi yang ternyata sudah ditunjuk menjadi ketua “Patria Berau”. Ibarat menggunakan tradisi lisan di zaman Sang Buddha, pertanyaan mengenai kepastian apakah muda mudi Buddhis di Berau mampu konsisten menjaga keberadaan Patria di sana saya sampaikan sebanyak tiga kali dalam tiga kesempatan terpisah. Mengingat komposisi muda mudi Buddhis di Kota Tanjung Redeb didominasi oleh pelajar SMA yang nantinya akan berkuliah di Surabaya, Jakarta maupun kota-kota besar lainnya di pulau Jawa.

Cinni Dewi sempat meminta timeout. Ia sempat melakukan rapat internal dengan rekan-rekannya untuk memastikan apakah mereka benar-benar memiliki kebulatan tekad untuk menjadi motor Patria. Hasil akhirnya, mereka tetap siap diresmikan.

Ada kabar angin yang mengatakan bahwa mereka sempat hampir kehilangan semangat, karena merasa kecil harapan untuk bisa diresmikan sebagai Patria. Untungnya berkat motivasi internal yang gencar, mereka pun tetap semangat. Gelora ini terlihat dalam aneka kegiatan sosial yang mereka laksanakan sebelum mereka dilantik.

Hingga pada akhirnya, dengan melakukan sejumlah penyesuaian, DPD Patria Kaltim pun siap melaksanakan pelantikan pada 7 April lalu. Dari November 2011 sampai April 2012, merupakan penantian yang tidak sebentar, dan untuk itu DPD Patria Kaltim berutang ribuan maaf kepada mereka.

Konon, setelah Cinni mendapatkan pesan BBM kepastian tanggal pelantikan mereka, dengan agak (mudahan pemilihan kata ini tepat dan tidak berlebihan) histeris berlari mengabarkan informasi ini kepada Lia, salah seorang anggota Patria yang kebetulan tinggal berdekatan. Kisah ini dituturkan sendiri oleh Cinni, ketika sedang nongkrong di Tepian Sungai Segah – tempat hangout paling happening di sana – beberapa jam setelah pelantikan berlangsung.

Pelantikan DPC Patria Kabupaten Berau berlangsung Sabtu, 7 April lalu mulai pukul 18.00 Wita di Vihara Santi Graha, Jl Pangeran Diponegoro. Dimulai dengan pemutaran video profil Patria yang ternyata langsung memberikan inspirasi bagi mereka.

Pelantikan disaksikan oleh sebagian perwakilan dari umat, juga oleh Bapak Lilik Sudarmawan, Bapak Ng Rudy selaku kepala vihara, serta Ibu Ham Mei Ling yang merupakan ketua DPC Wandani Kabupaten Berau. Pelantikan terselenggara tanpa kehadiran bhikkhu maupun pandita, karena pada kenyataannya Kota Tanjung Redeb belum memiliki kepengurusan Magabudhi dan tidak ada bhikkhu yang menetap atau yang bisa diundang hadir. Tetapi mengingat pemberkahan sudah dilakukan oleh Bhikkhu Sangha pada Kathina 2011 lalu, maka sesi inipun dianggap sudah dilalui.

Semua susunan acara pelantikan berjalan dengan lancar, sampai melangkah pada sesi penyampaian kata sambutan oleh Cinni Dewi, ketua Patria DPC Kabupaten Berau periode 2012 – 2014. Di tengah-tengah penyampaian sambutannya, mendadak Cinni menangis. Ini merupakan pengalaman pertama bagi saya, menyaksikan pelantikan yang diwarnai rasa haru.

Aura penuh rasa syukur begitu terasa. Tangis haru yang di Dhammasala Vihara Santi Graha seolah menunjukkan Cinni yang berseru kepada rekan-rekannya, “Akhirnya perjuangan kita berhasil!” Saya dan Yudianto, (bendahara DPC Patria Samarinda periode 2008 – 2010) yang ikut mendampingi hanya bisa terdiam dan tersenyum.

Lepas pelantikan, dalam obrolan yang lebih informal, barulah kami mendapatkan gambaran utama mengenai kondisi umat Buddha di sana. Pada awalnya, konsep Patria di Berau muncul sebagai wadah penghimpun muda mudi Buddhis untuk menggerakkan roda kegiatan di kabupaten pintu gerbang Kepulauan Derawan tersebut. Hal ini tak lepas dari sosok Bapak Lilik yang merupakan pemuda Buddhis asal Pati, Jawa Tengah yang ternyata memang akrab dengan Patria. Patria Berau memiliki peran penting itu, karena pada kenyataannya Vihara Santi Graha bahkan masih belum memiliki struktur Dayaka Sabha.

Patria Berau mengemban tanggung jawab moral yang jauh lebih besar dibanding postur tubuh para anggotanya yang rata-rata masih dalam masa pertumbuhan. Patria Berau menjadi pembimbing bagi anak-anak sekolah minggu yang luar biasa antusias mengisi puja bhakti Mingguan yang pada kenyataannya memang hanya diikuti oleh anak-anak dan remaja saja. Lalu mereka sekaligus diminta oleh para umat umum untuk bisa terus memfasilitasi beragam kegiatan di sana, seperti baksos, bazar dan sebagainya. Tidak hanya itu, beberapa waktu belakangan bahkan para umat umum juga meminta kepada Patria Berau untuk bisa membantu mereka belajar cara membaca Paritta yang lebih baik. Padahal para umat tersebut melakukan puja bhakti khusus hanya dua kali dalam sebulan, yakni pada tanggal 1 dan 15 hari Uposatha, purnama gelap dan purnama terang.

Posisi seperti inilah yang membuat Patria Berau memiliki peran yang luar biasa bagi perkembangan Buddha Dhamma di kabupaten utara Kaltim tersebut. Karena di satu sisi, Cinni pun mengakui bahwa mereka, para pentolan muda mudi Buddhis di sana, masih membutuhkan banyak pembinaan, pembelajaran Dhamma dan pengembangan ide-ide kreatif.

Terlepas dari itu semua, ada banyak keunggulan yang dimiliki oleh Patria Berau. Meskipun 90 persen dari mereka masih berstatus pelajar SMA, namun mereka sudah memperoleh kepercayaan dari para orangtua. Mereka bahkan bisa dengan leluasa saling berkumpul, baik untuk rapat maupun untuk sekadar nongkrong bareng hingga lepas tengah malam dan tetap aman, karena Tanjung Redeb merupakan kota yang relatif kecil. Kelebihan yang kian susah diperoleh di kota-kota besar lainnya.

Saat ini, tak tanggung-tanggung mereka sedang fokus pada tiga kegiatan yang akan mereka laksanakan secara berurutan. Mulai dari pelaksanaan perayaan Waisak 2012, lalu Dhammashanti Waisak 2012, serta bazar.

Lalu, apa yang membuat mereka sampai bisa sebegitu antusias mengabdi sebagai muda mudi Buddhis dan Patria? Ternyata jawabannya adalah, kegembiraan.

“Tahun lalu, kami diundang datang Dhammasanti Waisak di Tanjung Selor (Kabupaten Bulungan). Begitu kami di sana, kami bisa lihat kok anak-anaknya begitu bersemangat, terlihat senang saat menyelenggarakan acara. Kami juga kepengin seperti itu. Bisa aktif dan gembira juga,” tutur Ryan, salah satu pengurus Patria Berau.

Satu pelajaran penting yang kami peroleh dari peristiwa ini adalah, “DHAMMA ITU MENGGEMBIRAKAN, DAN DALAM KEGEMBIRAAN ITU ADA DHAMMA.”

Anumodana untuk semua rekan Patria DPC Berau.

[]