SELAMAT, bagi Anda, para pelajar SMA, SMK, dan MA yang kemarin baru saja mendapatkan pengumuman kelulusan. Selamat menjalani hidup baru, hidup yang mungkin bakal terasa jauh lebih keras dan berat ketimbang bangun pagi, bersekolah, bergulat dengan tugas dan ujian, serta melodrama yang menyertainya.
Seolah tradisi tahunan yang entah diprakarsai oleh siapa, perayaan kelulusan atas hasil Ujian Nasional (Unas) 2012 kembali dilakukan dengan sedemikian rupa. Ribuan pelajar se-Samarinda Sabtu lalu (26/5) terlihat masih banyak yang berusaha menghabiskan setiap jengkal setelan putih abu-abunya untuk dicoret dengan penuh gegap gempita, seolah seragam kesekian milik mereka (yang kemungkinan dibeli dengan uang orangtuanya) tersebut memang pantas dihujani tinta spidol, cat semprot, dan pewarna kimia lainnya. Tidak akan bisa hilang sempurna walaupun dicuci dengan deterjen paling mutakhir sekalipun. Mubazir.
Pengumuman kelulusan baru disampaikan pada pukul 17.00 Wita, namun di siang harinya sudah ada saja segerombolan pelajar bermotor yang berkonvoi dan ngumpul di tempat umum (seperti di Jembatan Mahulu) dengan sorak-sorai kegembiraan. Mungkin mereka memang memperoleh pengumuman sekian jam lebih awal dibanding rekan-rekannya, entahlah.
Terdapat dua tipe pelajar yang terlibat dalam keriaan tersebut: yang dicoret dan yang mencoret. Namun keduanya saling berbaur, sama-sama senang, karena kebetulan sama-sama lulus.
Ada yang rela menjadi kanvas, ketika pakaiannya digambari macam-macam. Mulai dari gambar titik dua dan tutup kurung atau ikon wajah yang sedang tersenyum “:)”, sampai gambar-gambar abstrak layaknya karya Pablo Picasso KW 3. Ada pula yang merasa bahwa seragamnya adalah buku tamu berjalan, tempat dibubuhkannya semua tanda tangan, atau malah menjadi buku Diary yang diisi dengan aneka kata-kata mutiara penuh kesan dan pesan. Dengan demikian, si pencoret pun seketika berubah menjadi seniman dadakan, entah dengan inspirasi “berkarya” dari mana.
Puas mereka mewarnai semua bagian seragam yang awalnya masih terlihat polos, perayaan pun dilanjutkan dengan konvoi motor di sejumlah ruas jalan dalam kota. Bunyi klakson bersahutan, asap knalpot aneka merk motor yang mengepul, arus lalu lintas yang mendadak padat merayap, bahkan di sejumlah wilayah, konvoi berlalu dengan teriakan “buka jalan!” dari mereka. Seakan tidak sadar bahwa tidak banyak warga Kota Tepian yang peduli akan alasan mereka “berpesta”, melainkan lebih merasa sebal dengan tindakan mereka yang sok-sokan menguasai jalan. “Baru lulus SMA, sudah lebay begitu,” celetuk seorang kawan yang terusik dengan teriakan mereka. Itu hal yang pertama.
Kedua. Efek samping dari model perayaan seperti ini, di beberapa kawasan pun bermunculan “Pasukan Air Peceren”. Sekumpulan oknum warga, yang sayangnya anak-anak, dan remaja hingga yang berusia di bawah 21 tahun, yang siap menghadang motor-motor para pelajar berseragam penuh coretan, menyiram air kotor yang saya tak sampai hati mencium aromanya, melemparkan lumpur dari anak-anak sungai yang ada, atau menggunakan plastik bening yang diisi dengan air kotor tersebut untuk kemudian dilempar dengan tujuan pecah membasahi si pelajar, bahkan ada yang sampai melakukan tindak pelecehan pada pelajar putri dan menyebabkan si pelajar terjatuh dari motornya.
Mereka, para pasukan penyiram air tersebut, terlihat melakukan aksinya dengan wajah gembira dan tertawa-tawa. Entah kesenangan dalam bentuk apa yang mereka rasakan, ketika melakukan tindakan yang – menurut saya – kurang menyenangkan dan mengganggu ketertiban. Sampai-sampai aksi ini membuat para pasukan tersebut makin terlihat haus mencari mangsa. Mengincar pelajar bermotor dari jauh untuk kemudian dijadikan sasaran tembak.
Sepertinya pasukan pelempar air kotor tersebut tidak peduli dengan pengguna jalan yang lain. Mereka tidak peduli jika lemparan air kotor tersebut malah akan membasahi pengendara motor lain, atau malah menyebabkan pengendara mobil yang melintas terkejut, terpaksa rem mendadak dan akibatnya menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Bahkan pengamatan di lokasi, para pelempar air kotor pun berlarian melintas jalanan seolah tidak peduli dengan arus lalu lintas yang mereka terobos. Mereka berlari menyelip di antara mobil dan truk-truk besar yang mungkin pengemudinya tidak sadar akan keberadaan mereka. Untungnya, Sabtu sore kemarin tidak dilaporkan adanya korban jiwa.
Jika begini keadaannya, siapa yang pantas dapat cap “BERSALAH”? Apakah kumpulan pelajar yang merayakan kelulusannya dengan berlebihan, atau para pasukan pelempar air kotor yang konon beralasan “ya disiram aja sekalian. Kan mereka juga sudah lulusan trus mengganggu jalan.” Atau malah kedua-duanya? Itu belum berbicara mengenai warga yang jauh lebih dewasa baik dari usia maupun pemikirannya, yang bisa saja berperan lebih aktif untuk mencegah keduanya. Membuat para pelajar tidak lebay merayakan kelulusan, atau meminimalkan kesempatan para oknum warga yang “mempersenjatai” dirinya dengan ember dan kantung plastik lengkap dengan air kotor yang antah berantah komposisi mikrobanya.
Saya berusaha untuk menepis keyakinan, bahwa bila hal ini dibiarkan tanpa pencegahan dan penanganan, pada momen kelulusan tahun depan bisa saja terulang insiden serupa; mubazir yang sama, lebay yang persis, serta potensi tindakan menjurus kriminal yang identik. Jangan lupa, pembiaran juga bisa membuat para pelempar air kotor tersebut merasa diamini atas tindakannya. Bahkan, tidak mustahil, jumlah “satuan” pasukan pelempar air kotor akan bertambah. Membuat motor yang dikendarai pelajar berseragam coretan harus sanggup menerima gempuran setiap 200 meter sekali di Jl RE Martadinata. Memangnya, siapa yang mau membersihkan ceceran lumpur, plastik-plastik kotor yang berhamburan tersisa di atas jalan? Si pelempar? Jangan harap.
Terakhir, saya penasaran, apabila anak-anak pelempar air kotor dan lumpur tadi sudah menginjak usia SMA dan lulus juga, apakah bakal terima jika mendapatkan perlakuan serupa, seperti yang mereka lakukan Sabtu lalu?
[]
* foto-foto adalah milik Hagusman, wartawan Samarinda Pos.