Bukan Cuma Urusan Bayar-membayar

21 October 2015

Saat pertama kali hadir di kota ini sebagai sesuatu yang baru hampir dua dekade lalu, ternyata tidak terlampau susah bagi kebanyakan orang Samarinda untuk menyesuaikan diri dengan konsep diner atau self-service restaurant, atau yang kerap dijuluki “rumah makan bayar duluan”. Yakni gerai-gerai waralaba dengan ayam tepung dan kentang goreng sebagai menu utamanya. Kendati tetap ada saja segelintir orang tua yang mencibir, dan menganggap model pelayanan seperti itu absurd. Sebab di restoran konvensional, skema pelayanannya adalah: pelanggan datang, memesan, makan, kenyang, bayar, pulang.

“Belum dimakan, sudah disuruh bayar, mahal pula. Ngantrinya lama. Terus kita malah disuruh bawa makanannya sendiri. Apa digawi sama bubuhan pelayannya ini?”

Kurang lebih seperti itulah omelan yang pernah saya dengar, entah berapa tahun lalu.

Kini, selain gerai-gerai waralaba yang menjual makanan siap saji, juga telah hadir beberapa kafe waralaba dengan konsep pelayanan serupa. Hanya saja, tidak sedikit konsumen yang memberikan perlakuan berbeda. Bahkan terang-terangan menampilkan ketidaksukaannya, ditujukan kepada para waiter atau penyaji di kafe tersebut.

Kafe pertama di Samarinda dengan model pelayanan seperti ini adalah gerai donat di mal Jalan Bhayangkara. Pengunjung datang, mengantre, menyampaikan pesanan dan ditanya namanya (untuk nantinya dipanggil), dan membayar. Setelah minuman selesai diracik, barista akan memanggil nama pelanggan secara lantang, agar yang bersangkutan datang dan mengambil pesanan.

Ada satu waktu di kafe tersebut, saya melihat sendiri pengunjung yang sengaja tidak menggubris panggilan nama dari barista. Bukan lantaran tidak mendengar atau tidak sadar namanya dipanggil, sang pengunjung yang kira-kira berusia paruh baya ternyata sengaja bersikap begitu. Dengan mimik tersenyum mengejek, ia berkata:

“heheh… Apa-apaan? Kita yang bayar kok kita disuruh ambil sendiri. Anterin dong,” kepada temannya.

Sampai beberapa menit kemudian, seorang waiter tergopoh-gopoh mengantarkan pesanan si bapak tersebut dalam kondisi kafe yang sedang sangat ramai pengunjung.

Dari contoh kejadian di atas, perasaan tidak suka ditujukan kepada waiter. Karena ada anggapan, pelanggan adalah raja, dan raja harus dilayani. Hadir sebagai pelayan, para waiter.

Untung saja para waiter kafe-kafe waralaba itu juga dibekali dengan keterampilan berkomunikasi, sebagai keharusan dan ciri khas merek dagangnya. Sehingga semenyebalkan apa pun perlakuan yang mereka terima, mereka tetap (harus) berbicara dengan intonasi yang baik laiknya Public Relations Officer (PRO) lengkap dengan senyum seoptimal mungkin. Kondisi ini pula yang menyebabkan begitu nyatanya perbedaan antara berkunjung ke restoran atau kafe waralaba, dibanding ke rumah makan lokal. Makin terasa perbedaan kemampuan dalam bidang hospitality and services, setelah gerai pertama Starbucks buka di Samarinda.

Seiring berjalannya waktu, pasti makin banyak orang Samarinda yang maklum dan mafhum dengan pola pelayanan di kafe-kafe tersebut. Jadi, makin banyak yang paham bahwa untuk bersantap di sana, haruslah mengantre, dan membawa sendiri pesanan yang telah jadi. Kalaupun belum tahu, tetap ada para waiter yang dengan sabar menjelaskan cara pemesanannya.

Akan tetapi, dinamika belum berhenti sampai di situ saja. Masih berkutat pada para waiter, banyak pengunjung kafe maupun restoran waralaba yang hanya mau tahu dengan datang, pesan, bayar, makan, pulang. Sehingga sering kita jumpai, meja makan yang seperti “kapal pecah” dengan piring kotor, pembungkus nasi putih, gelas kertas, potongan tulang ayam, dan sampah lainnya yang berhamburan. Sengaja dibiarkan sangat berhamburan. Bisa jadi karena anggapan:

“ah nanti ada yang bersihkan juga, kan kita mbayar.”

Okelah, sebagai pengunjung restoran atau kafe waralaba, kita tidak perlu bersikap seperti saat mengunjungi Singapura, dengan konsep self-service yang total. Tidak hanya membawa sendiri makanannya, namun juga mengembalikan baki ke tempatnya, serta membuang semua sampah kertas ke tempat yang memang disediakan (setidaknya itu yang saya alami waktu singgah ke BK entah terminal berapa Changi, saat baru kedua kalinya ke luar negeri). Apalagi di sana, waiter bahkan bisa mengingatkan pengunjung yang lupa, atau sengaja meninggalkan sampahnya di meja. Sementara di sini, saat saya yang bersantap seorang diri sengaja membuang sampah dan mengangkat piring kotor ke wadahnya saja, langsung dipandang dengan tatapan aneh dari pengunjung lainnya. Dikira sok bener kali.

Barangkali, perbedaan perlakuan terhadap waiter itu pula yang membuat profesi itu terlihat berbeda di luar sana. Banyak mahasiswa Indonesia di luar negeri yang tidak malu menjadi pekerja paruh waktu di restoran atau kafe waralaba. Sedangkan di sini, pekerjaan itu malah dianggap sebagai pilihan paling akhir, dan jelas tidak untuk dipamerkan.

Di sana, para waiter memang bekerja, sebagai pekerja. Apa yang kita bayar, sebagiannya memang jadi gaji mereka. Tapi tidak ada salahnya untuk tidak bersikap berlebihan–berasa raja–pada mereka. Karena mereka adalah waiter, penyaji, pelayan dalam arti luas, bukan budak.

[]