Tomorrowland
DIRILIS di tengah-tengah gelombang euforia “Mad Max: Fury Road” yang fenomenal itu (which I still don’t get any urge to watch it soon, tho’), boleh dibilang “Tomorrowland” merupakan film bergenre sci-fi fantasy yang amat sangat ringan, sehingga dapat dimasukkan dalam kategori tontonan remaja. Walaupun begitu, film yang diracik Damon Lindelof bersama Brad Bird (sekaligus sutradara) ini menawarkan premis yang cukup segar. Agak terwakilkan dalam pemilihan judul.
Sambil memikul sebuah tas kanvas berukuran besar dan berat, seorang bocah berwajah imut datang seorang diri ke sebuah acara pameran teknologi. Dengan mudah, Frank Walker (Thomas Robinson) yang begitu bersemangat dan antusias berbicara soal teknologi dan hasratnya untuk terus bermimpi, menarik perhatian Athena (Raffey Cassidy), gadis cilik berwajah cantik dengan aksen British yang anggun. Dari interaksi antara mereka berdua, cerita “Tomorrowland” bermula.
20 menit awal “Tomorrowland” penuh dengan aura manis. Adalah wajar, apabila penonton–terlebih yang melodramatis–banyak tersenyum selama 15 menit pertama. Karena justru bagian itu berhasil memantapkan landasan plot, mempersiapkan mental penonton untuk menerima hal-hal indah berikutnya. Untuk kemudian dikejutkan dengan sejumlah twists.
Source: hollywoodreporter.com
Dimulai dengan munculnya Casey Newton (Britt Robertson), seorang cewek rebel dengan pandangan visioner terhadap segala sesuatu, dan cenderung terobsesi ingin melakukan banyak hal. Bahkan yang imajinatif sekalipun. Sayangnya, aksi anarkistis Casey terpaksa membuatnya berurusan dengan polisi. Lalu, dari situ babak cerita berikutnya bermula. Ketika ia harus bersusah payah bertemu dengan Frank Walker, the less optimistic one.
Sesuai dengan genrenya, kisah dalam “Tomorrowland” disajikan dengan formula yang relatif klasik: mengajak penonton ikut bertualang bersama. Ditambah dengan tingkah polah para lakon di dalamnya, yang memang sengaja bertujuan untuk menghibur, sehingga jangan khawatir bakal melihat kengerian yang berlebihan. Dengan demikian, film ini cocok dijadikan tontonan keluarga. Ditunjang pula dengan chemistry yang cukup solid antar karakter, sesuai masing-masing babak. Seperti antara Thomas Robinsin dan Raffey Cassidy di awal cerita, ketika penonton mulai dikenalkan dengan lakon-lakon lain seperti Tim McGraw, terlebih George Clooney yang bahkan mendapatkancompliment line dari antagonis utama. Tapi patut diakui, Clooney was too charming and that’s make him lack of vibe for playing as an upset scientist.
Terlepas dari itu, jangan lupa soal efek visual yang ditampilkan. Jelas terlihat bahwa “Tomorrowland” menawarkan pengalaman imajinatif kepada para penonton remaja dengan beragam objek futuristik. Cukup menyenangkan, meskipun tidak adil rasanya jika dibandingkan dengan aksi gila-gilaan non-CGI yang tengah dielukan kebanyakan orang dewasa setelah menonton karya terakhir George Miller. Dan mungkin gara-gara ini, banyak yang merasa “Tomorrowland” hanya bikin “geli-geli” doang; bahwa Brad Bird gagal mengajak seisi bioskop ikut terbang. Bisa jadi, memang tergantung siapa yang menontonnya. Lumayanlah.
[Bagian ini ditambahkan belakangan]
Kendatipun “Tomorrowland” tergolong film ringan untuk segmentasi remaja dan seterusnya, sebenarnya sih tetap bisa dipakai untuk berpikir yang enggak-enggak (itu pun kalau Anda cukup kurang kerjaan, atau punya ketertarikan pada topik filsafat). Pasalnya, film ini berkutat pada gambaran dunia masa depan yang utopis dan membangkitkan harapan. Dengan menonton film ini, bakal ada perdebatan yang menggantung mengenai manusia seperti apa saja yang pantas memasuki dunia impian itu. Tuh, kan?
[]
Artikel ini juga dimuat di Undas.co, situs andalan Samarinda. 😉