Titit: Kenali, Pahami, Nikmati
SULIT membayangkan, bagaimana caranya Jonah Falcon (43) menyembunyikan tonjolan besar di celananya saat “salah orbit”. Rasanya pasti tidak nyaman. Aktivitas sepele kaum Adam tersebut menjadi terasa begitu menyusahkan, apabila memiliki titit sepanjang 8 inci (sekitar 20,32 cm). Itupun masih dalam kondisi terkulai.
Begitulah–mungkin–kira-kira sekelumit kerepotan dalam hidup Jonah Falcon, yang dinobatkan sebagai pria dengan titit terpanjang di dunia. Punyanya memang wajar untuk bikin tercengang. Dalam kondisi “siap tempur”, tititnya dapat bertiwikrama menjadi sepanjang 13.5 inci atau 34,29 cm. Bisa jadi, apa yang ia miliki merupakan idaman semua pria… dan wanita.
“Size doesn’t matter.” Ungkapan ini terus didengungkan di seluruh dunia, untuk menunjukkan bahwa panjang-pendek titit bukanlah penentu kiamat dalam kehidupan pria. Tapi, apakah memang demikian? Soalnya, banyak juga yang lebih girang dengan ungkapan “Once You go black, You’ll never go back.”
Tak bisa disangkal, titit memang merupakan salah satu organ tubuh yang paling menarik perhatian manusia sejak zaman prasejarah. Ihwal titit memang selalu mengundang rasa ingin tahu, dan tak pernah habis dibahas. Mulai dari perspektif spiritual dan seni yang membuatnya begitu dihormati, sampai coretan di dinding toilet umum dan nama yang tabu untuk diucapkan/dituliskan.
Bagi banyak pria, titit merupakan simbol ego, lambang kejantanan, dan harga diri. Tidak sedikit pria yang berpikiran sempit bahwa ukuran besar menjamin kepuasan maksimal, dan tak sedikit pula yang menyetujuinya, baik pria (pemilik juga penikmat) maupun wanita (penikmat). Realitasnya tidak demikian. Toh, benda silindris itu juga tidak pantas dipamer-pamerkan–terutama kalau tampilannya tergolong disturbing picture–sehingga harus disembunyikan atas nama etiket, tata susila, dan kemanusiaan. Sehingga kebanyakan klaim kebanggaan hanya sekadar celetukan, dan masih perlu pembuktian.
Di sisi lain, justru pria yang benar-benar bertitit besar cenderung lebih cool, tidak banyak omong. Berbeda dengan pria yang sesumbar, atau dikit-dikit bicara soal titit. Entah sebagai bentuk pelarian, atau diam-diam malah doyan.
Untung saja, lingkungan kita saat ini mengharuskan semua orang untuk menutupi tubuh dengan pakaian. Beda cerita dengan para pengidap gangguan jiwa. Jika tidak, entah ada berapa banyak pria dewasa yang enggan keluar rumah, karena “sang adik kesayangan” berukuran jauh lebih kecil dari milik sejawatnya.
“Padahal besar itu yang seberapa sih? Relatif kan?” kata seorang kenalan, seorang psikolog klinis.
Efek sampingnya, tak sedikit pria yang merasa bertitit lebih kecil cenderung bersikap rendah diri. Kelimpungan ke sana-sini, mencari cara dan metode yang bisa dijalani. Sebaliknya, ada juga yang malah merespons “kekurangan” tersebut dengan bersikap angkuh, arogan, berusaha mati-matian untuk terlihat macho, gagah, dan dominan. Latar belakang atas kedua bentuk sikap ini, sama-sama berpengaruh buruk bagi kondisi psikis.
Padahal, salah satu fungsi utama titit adalah dipergunakan dalam aktivitas seksual. Sebagai hasil akhir, nyaman atau tidaknya hubungan seksual tersebut tentu dirasakan kedua belah pihak. Sang pria bisa saja merasa terlalu percaya diri, dan mendeklarasikan bahwa tititnya mampu memberikan kepuasan. Tapi itu tetaplah klaim sepihak, sebelum dilengkapi testimonial lawan tanding. Sementara, sudah menjadi anggapan umum bahwa sesi terpenting dalam sebuah hubungan seksual bagi wanita adalah sebelum dan setelah penetrasi, adegan yang memerlukan sentuhan, menimbulkan kemesraan, dan melibatkan banyak rangsangan inderawi (CMIIW). Bagian yang–barangkali–tidak terlalu memperhitungkan panjang-pendek maupun besar-kecilnya titit sebagai fokus utama. Lain lagi ceritanya kalau bicara soal fungsi titit sebagai bagian dari sistem reproduksi, salah satu sarana berketurunan.
Kenyataannya, justru tidak sedikit masalah rumah tangga yang disebabkan karena perbedaan persepsi. Misalnya, para istri yang kecele karena titit-titit besar para suami yang ternyata tak mampu memuaskan mereka. Apalagi setelah ejakulasi, malah langsung ditinggal ngorok, padahal “kentang”. Efek lanjutannya, istri enggan diajak berhubungan (karena tahu rasanya bakal enggak enak). Suami mencari selingkuhan atau jajan supaya nafsunya terlampiaskan (tapi tidak mengubah keadaan bahwa tititnya tetap kurang memuaskan). Istri mungkin juga bisa mencari selingkuhan yang bisa lebih membahagiakan perasaan, meskipun tidak menutup kemungkinan titit selingkuhannya tidak lebih besar dari milik si suami.
Dengan ini, bijak untuk dipahami bahwa ukuran memang bukan segalanya. Ukuran titit tidak selalu berbanding lurus dengan kepuasan seksual. Syukur-syukur kalau tititnya memang besar, dan bisa dipergunakan dengan maksimal. Apalagi jika penggunanya bukan seseorang yang egois; yang hanya mau dilayani tapi ogah melayani. Mirip Khal Drogo yang terkesiap ketika pertama kali merasakan W.o.T.. Bener sih, kalau titit berukuran lebih gede, stimulus yang diberikan juga bisa lebih besar. Hanya saja, kalau dilakukan dengan sekenanya, bisa-bisa malah cuma bikin sakit dan enggak nyaman. Terus, kalaupun ukurannya terhitung rata-rata, ngewe itu bukan cuma urusan masuk-memasukkan titit, kan?
Selebihnya, berhubung tidak semua pria paham dan cepat menangkap pesan yang disampaikan pasangannya, maka para wanita pun jangan sungkan-sungkan untuk berkomunikasi. Maunya bagaimana? Pengin coba yang seperti apa? Lebih nyaman bagaimana? Dan sebagainya. Kan sudah pasangan resmi juga, jadi diperkenankan mengeksplorasi keindahan masing-masing dengan metode seliar apapun asal tetap hati-hati. Kalau berasa kurang indah, kan bisa saling menyemangati supaya bisa jadi lebih indah, hehehe… Jangan malah pasrah dengan posisi “Bintang Laut”, because marital life is too boring for bad sex.
Sepanjang peradaban manusia, persepsi keliru tentang ukuran titit memang dibangun lewat sudut pandang norma sosial budaya. Para wanita harap-harap cemas menjelang pernikahannya, untuk kemudian dibuat terkejut di malam pertama. Entah kejutan menyenangkan atau mengecewakan. Sebab mereka tentu tidak bisa memilih calon suami berdasarkan ukuran tititnya, bukan? Teorinya, perkembangan kebudayaan manusia memengaruhi cara pandang dan perlakuan pada titit. Bahkan tak mustahil juga berdampak pada evolusi bentuk maupun ukuran titit.
Masih ingat kah dengan dalil yang menyebut bahwa ketebalan telapak kaki manusia berkurang drastis setelah manusia mengenal dan mengenakan alas kaki ribuan tahun silam? Begitupun dengan titit. Ada studi yang menghasilkan dugaan bahwa titit manusia prasejarah relatif jauh lebih besar ketimbang yang kita miliki saat ini. Alasannya, beberapa.
Dalam artikel National Geographic News, disebutkan bahwa titit manusia primitif adalah penarik perhatian lawan jenis. Jika gajah jantan menarik perhatian dengan gadingnya, titit manusia juga sekaligus digunakan sebagai alat reproduksi. Itu sebabnya, makin besar titit, makin obvious lah benda itu. Mengapa bisa obvious? Sebab manusia berkaki dua yang berdiri tegak, dan dulunya tidak tahu soal pakaian. Hasilnya, ada “buntut” yang menggantung di antara paha atas, di bawah perut, dan mungkin para wanita prasejarah menanggapinya dengan komentar “ih, apaan itu?” dengan campuran rasa penasaran, takut, namun gemas karena terlihat lucu. Respons pun berkembang seiring aksi kontak berikutnya. Sedangkan si pria prasejarah, mengalami perasaan aneh yang menyenangkan untuk pertama kalinya. Barangkali.
Iseng kita konvergensikan ke masa kini, atraksi visual bergeser dari titit ke wajah dan bentuk badan. Para wanita (maupun pria) akan dengan bangga memamerkan pacarnya yang ganteng dan/atau berbodi atletis, bukan memamerkan pacar dengan titit yang ngeliatnya aja bikin ngilu. Entah ya, apakah manusia prasejarah ada yang cakep atau tidak.
Skenario itu juga yang diduga “membentuk” titit hingga menjadi seperti yang kita kenal saat ini. Bila diamati, hampir semua hewan jantan memiliki titit yang tersimpan di dalam tubuhnya (coba lihat kucing atau kambing kawin deh). Titit hewan baru kelihatan saat ereksi untuk tujuan penetrasi. Berbeda dengan titit manusia, yang template-nya sudah menggantung di area selangkangan, terbagi menjadi dua fase utama: letoi dan ngaceng. Karena itu, titit memerlukan kulit khusus dari pangkal sampai kulup sebagai pembungkus.
Teori lain mengenai ukuran dan bentuk titit, dikemukakan seorang Evolutionary Psychologist, Gordon Gallup Jr. Ia menyebut bahwa bentuk dan ukuran titit dipengaruhi nuansa kompetisi antara para jantan. Khususnya terkait keberhasilan membuahi, sebelum konsep pernikahan monogami mulai dikenal. Titit yang lebih panjang memiliki keunggulan peluang pembuahan. Logikanya, bisa ngecrot lebih di dalam. Kemudian, kompetisi itu juga yang membuat titit berbentuk seperti jamur, punya “palkon”. Sebab celah antara “palkon” dan batang (disebut cincin Corona) berfungsi untuk menyerok keluar sperma pejantan lain yang lebih dulu ada di dalam vagina, agar spermanya lah yang berhasil membuahi ovum.
Dengan demikian, enggak salah apabila diasumsikan bahwa pria maupun wanita yang terpaku pada ukuran semata, berarti masih memiliki pola perilaku dan insting manusia purba. Nenek moyang yang memperlakukan hubungan seksual hanya sebagai proses reproduksi, bukan rekreasi, selayaknya manusia masa kini.
Kenalilah titit Anda atau titit pasangan Anda, maksimalkan potensinya.
[]
aduh ko gono udah mulai jago “campur” nih skrg :p
Hahaha!
Asumsi yg salah itu mah, Ndis. Masih ting-ting ini. 😀