The Wolverine

27 July 2013

DENGAN kacamata awam, tidak berlebihan jika setiap tokoh mutan yang ada dalam serial X-Men berhak memiliki penggemarnya sendiri. Bahkan termasuk Magneto, dan para anak buahnya yang tergabung dalam Brotherhood of Mutants. Namun bisa dibilang, Wolverine adalah salah satu figur yang memiliki daya tarik terkuat dengan beragam alasan. Sehingga baik dalam komik maupun film, sosok Wolverine dilimpahi latar belakang yang sarat detail, membuatnya pantas untuk diusung dalam cerita tunggal, terpisah dari keberadaan Profesor X dan rekan-rekannya.

Sejak 13 tahun silam dalam “X-Men”, Wolverine dimunculkan sebagai tokoh yang direkrut Profesor X. Perannya sebagai salah satu pentolan kubu mutan protagonis, terus muncul dalam dua judul berikutnya: “X2” (2003), dan “X-Men: The Last Stand” (2006). Baru pada 2009 lalu, penonton (terutama kalangan non-fanboy) diajak untuk mengetahui biografi James Howlett, yang kemudian menjadi Logan alias Wolverine lewat “X-Men Origins: Wolverine”, film Wolverine-sentris pertama.

Kisah tunggal petualangan mutan bertulang adamantium itu berlanjut Rabu (24/7) kemarin, dengan dirilisnya “The Wolverine”. Tetap dengan Hugh Jackman sebagai pemerannya, yang bahkan tampil lebih “berani”.

Film yang disutradarai James Mangold ini menampilkan Logan yang hidup menyendiri, terpisah dari kelompoknya, dan masih terpukul karena ending tidak menyenangkan dalam “X-Men: The Last Stand”. Kejadian buruk tersebut bahkan menyebabkan gangguan psikologis dalam tubuh abadinya.

Alih-alih menjadi pahlawan super yang tinggal di X-Mansion dan memiliki seragam ketat, Logan hidup layaknya manusia gua, tak terurus, hanya bergaul dengan hewan buas, dan sesekali turun ke kota terdekat untuk membeli barang yang membuatnya tetap terhubung dengan peradaban. Hingga akhirnya Logan dijemput oleh Yukio (Rila Fukushima), untuk terpaksa terbang ke Tokyo, Jepang. Ini menjadi kunci awal plot yang disuguhkan dalam “The Wolverine”.

Benang merah yang menghubungkan Logan dan Jepang adalah momen Perang Dunia II. Dalam reka ulang bencana nuklir yang digambarkan cukup dramatis, penonton diajak untuk melihat figur Logan sebagai salah satu prajurit Sekutu yang berhasil menyelamatkan seorang serdadu Jepang bernama Yashida (Ken Yamamura). Hingga 68 tahun kemudian, ketika sang konglomerat Asia, Yashida tua (Haruhiko Yamanouchi) sekarat, ia ingin kembali bertemu dengan penyelamatnya.

source: aceshowbiz.com

Plot yang melibatkan Logan dan keluarga besar Yashida di Tokyo ternyata berkembang menjadi kompleks. Lengkap dengan bumbu asmara banyak segi antara Logan, Mariko Yashida (Tao Okamoto), dan Harada (Will Yun Lee), plus bayang-bayang Jean Grey (Famke Janssen) yang cenderung bertingkah laku layaknya Phoenix. Di lain sisi, dilema batin yang dialami Logan sebagai seorang Ronin, atau kesatria tanpa panglima makin menguat, lantaran hidup abadi tanpa makna yang terus dijalaninya selama ini. Semuanya terbungkus rapi dengan klimaks twist berlapis yang tetap seru walaupun agak mengecewakan para fanboy Wolverine karena rekonstruksi fitur mutan idolanya.

Secara penokohan, berbeda dengan judul-judul sebelumnya, “The Wolverine” minim mutan. Bahkan, hanya ada dua mutan yang dilibatkan dalam cerita ini. Bisa ditebak, salah satunya adalah Wolverine. Mutan lainnya memainkan peran antagonis cukup tangguh, walaupun sama sekali terlepas dari dualisme X-Men versus The Brotherhood of Mutants. Ini yang menyebabkan figur mutan Wolverine begitu mencolok, karena nyaris tanpa lawan berkekuatan seimbang. Meskipun demikian, ada salah satu line dari sang mutan antagonis yang sekilas menunjukkan bahwa ia memiliki karakteristik menarik untuk dilibatkan dalam judul-judul X-Men lainnya.

Di lain sisi, Wolverine justru berhadapan dengan sekelompok manusia biasa tanpa kekuatan spesial namun memiliki keahlian khusus. Bahkan ada dua adegan tentang hal ini, yang menjadi penggambaran terkuat dalam cerita. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan mencolok untuk menikmati adegan-adegan ini dalam format 3D atau biasa. Label 3D terkesan tidak berguna.

Terlepas dari itu, dengan setting Jepang, penonton akan disuguhkan dengan sisi sosial budaya yang dirajut menjadi partikel cerita. Misalnya, nama panggilan khusus Yashida kepada Wolverine yang ternyata menyimpan makna cukup esensial dalam ikatan emosional antara Wolverine dan Mariko sebagai fitur cerita.

Semua ini menjadi lebih berwarna lewat pola hubungan antartokoh; Wolverine-Yukio, Wolverine-Yashida, Wolverine-Mariko, Mariko-Harada, Harada-Yashida, Mariko-ayahnya, Yashida-putranya, dan lain sebagainya. Menjadikan “The Wolverine” sebagai film yang tepat, sebelum judul X-Men berikutnya dirilis tahun depan. Kabar ini makin jelas, karena secara tak tanggung-tanggung, James Mangold sudah menyiapkan kejutan pada credit-titles yang sangat sayang untuk dilewatkan. Itupun dengan durasi yang lumayan panjang untuk kelas adegan tambahan, plus detail-detail yang menggelorakan para penonton, apalagi fanboy. Untuk itu, saya ingatkan, jangan buru-buru tinggalkan ruang bioskop.

[]