The Mortal Instruments: City of Bones
PEPERANGAN antara malaikat dan iblis adalah pertempuran yang tak akan pernah usai. Dengan segala trik dan cara, kedua pihak saling memperkuat pasukan dan meneruskan perseteruan yang telah berlangsung sejak awal penciptaan, hingga akhir zaman. Sedangkan manusia, ada di tengah-tengah; menjadi makhluk yang paling lemah namun diberi kesempatan untuk memilih bergabung di sisi yang mana.
Konsep cerita ini menjadi dasar ketertarikan saya menonton “The Mortal Instruments: City of Bones” (CoB), yang diangkat dari novel berjudul sama. Atau setidaknya itu yang saya tangkap dari trailer-nya. Namun, untung saja–sang penulis–Cassandra Clare tidak melulu berkisah tentang perseteruan adiduniawi abadi ini dalam karyanya, tapi menggeser fokusnya. Sehingga serial novel “The Mortal Instruments” (berisi enam judul; lima di antaranya sudah terbit) berhasil digandrungi remaja dari seluruh dunia, bahkan sukses memunculkan penggemar garis keras yang diyakini bakal menjadi garansi kesuksesan film ini… tanpa memedulikan sejumlah kekonyolan jalan cerita yang disajikan, terutama bagi penonton nonpembaca.
Karena penanganan sedemikian rupa dari sang penulis, alih-alih menjadi sebuah cerita fantasi, “CoB” malah terkesan sebagai kisah romansa plus-plus dengan polesan budaya urban berlatar belakang salah satu pusat gaya hidup dunia: New York City. Membuat konsep dasar tentang peperangan antara malaikat dan iblis sebagai sebuah ide sampingan, atau kedok, yang kebetulan masih lumayan segar untuk dieksploitasi.
Mungkin tidak berlebihan jika menggunakan kata konyol dalam menggambarkan beberapa bagian cerita yang ditunjukkan dalam film ini, which is either cheesy or corny atau setidaknya terlalu lebay untuk ditanggapi secara serius. Yang pasti, ada banyak adegan dalam “CoB” yang membuat saya (dan mungkin sejumlah penonton nonpembaca lainnya) berusaha menahan tawa, rolling our eyes, atau bahkan menepuk dahi sambil berceletuk “astaga…”. Rata-rata, pada adegan yang menggambarkan geliat asmara antara para tokohnya. Sedangkan di sisi lain, para penggemar cerita ini bisa menanggapi bagian-bagian tersebut dengan gemas dan geregetan, termasuk lewat gumaman “aaaw…”.
Dikisahkan, dalam peperangan antara malaikat dan iblis, Malaikat Raziel merekrut manusia sebagai tambahan tenaga. Transformasi kekuatan dan status manusia menjadi separuh malaikat itu dilakukan dengan menggunakan “The Mortal Instruments”, atau benda yang khusus diciptakan sang malaikat untuk tugas para rekrutannya. Dari sini, plot dasar “CoB” sebagai awal serial adalah ambisi Valentine Morgenstern (Jonathan Rhys Meyers), seorang manusia separuh malaikat yang paling kuat namun ingin menguasai “The Mortal Instruments” demi kepentingannya sendiri. Di sisi yang berseberangan dengan Valentine, ada sekumpulan manusia setengah malaikat lainnya yang berusaha menyembunyikan pusaka dari Malaikat Raziel tersebut. Perjuangan mereka penuh dengan rona asmara; daya tarik utama dari cerita ini. Tak tanggung-tanggung, bukan sekadar memunculkan cinta segilima, tapi juga melibatkan lintas jenis makhluk dan preferensi seksual. If You thought that the human-vampire-werewolf love triangle was frustrating, try this one.
Pasukan manusia berkekuatan khusus sebagai pembasmi iblis tersebut disebut Shadowhunters. Digambarkan selalu berkostum ketat gaya Gothic dengan bahan kulit, lengkap dengan rajah pelindung yang ditatokan di seluruh tubuh. Sayangnya, dari sekian banyak simbol rajah yang digunakan, hanya ada satu yang berbentuk simetris. Membuat simbol rajah lainnya terkesan seperti coretan asal-asalan yang kebetulan terlihat rapi.
Dalam klasifikasi ala cerita “The Mortal Instruments”, ada banyak kelompok selain Shadowhunters yang tergolong bukan malaikat, bukan manusia sepenuhnya, maupun iblis. Beberapa di antaranya (yang baru dimunculkan dalam “CoB”) adalah The Clave, The Silent Brothers, dan makhluk kategori Downworlder yang terdiri dari penyihir, Vampire, serta manusia serigala.
Jerat cinta dialami Clary Fray (Lily Collins), Jace Wayland (Jamie Campbell Bower), Simon Lewis (Robert Sheehan), Alec Lightwood (Kevin Zegers), dan Magnus Bane (Godfrey Gao)! Saking banyaknya personel yang terlibat dalam satu skema asmara carut marut seperti ini, penonton awam hanya bisa pasrah mengikuti fokus yang sedang dimunculkan. Itu sebabnya, intrik asmara dalam “CoB” akan terasa terlalu mampat bagi para nonpembaca yang tidak memiliki gambaran tentang bagaimana simpul kusut gairah para anak muda tersebut akan terurai dalam judul-judul berikutnya.
Di samping itu, layaknya film dengan sasaran remaja dan anak muda lainnya, pemain “CoB” adalah para daun muda, eye candy, dan cocok untuk bersikap labil. Sehingga mudah diakrabi dan terasa dekat di hati para penontonnya. Karakteristik penokohan yang seperti ini saja, sudah bisa dijadikan dispensasi untuk akting para pemainnya. Begitupun pada twist cerita utama yang kalah mencengangkan ketimbang twist subplot asmara.
Sebagai kesimpulan, “CoB” adalah film reader-friendly yang tetap terasa mampu menghibur. Tontonlah bila Anda memiliki toleransi terhadap sesuatu yang absurd.
[]