The Conjuring

4 August 2013

APA yang Anda harapkan dari sebuah film horor? Jalan cerita? Keseraman suasana yang senyap atau malah dengan musik latar yang membahana? Penampakan yang mengejutkan? Rupa hantu yang mengerikan? Aneka bentuk teror? Ekspresi para lakon manusianya? Atau atribut lain, termasuk moral kisah?

Bagi saya yang tidak terlalu gemar genre horor, “The Conjuring” hampir memenuhi semua kriteria di atas. Kecuali terhadap satu detail kecil dalam jalan cerita, mengenai latar belakang munculnya teror metafisika yang mengganggu keluarga Perron sebagai kelompok figur utama. Meskipun demikian, setakut apapun kita, sulit untuk berpura-pura tidak tertarik dengan karya James Wan ini. Pasalnya, kisah dalam “The Conjuring” didasarkan pada kasus misterius serupa pada era 70-an, yang ditangani Ed-Lorraine Warren (Patrick Wilson-Vera Farmiga), pasangan Demonologist–sebut saja ahli periblisan–terkenal pada masa itu. Bahkan salah satu di antara mereka, masih hidup dan muncul sebagai cameo di pertengahan film.

Inti “The Conjuring” sebenarnya cukup sederhana. Sebuah keluarga pindah ke rumah baru yang ternyata berhantu, dan mereka harus menghadapinya. Namun konsep dasar itu diolah sedemikian rupa menjadi film horor yang benar-benar padat, lengkap dengan sejumlah detail yang mampu bertahan menghantui penonton sampai beberapa jam setelah meninggalkan ruang bioskop. Detail-detail itulah yang berhasil membuat film ini menjadi tren pembicaraan seru maupun meme atau kelakar digital di seluruh dunia dalam sepuluh hari terakhir, sehingga mengundang lebih banyak orang untuk ikut “menikmati”. Beberapa di antaranya seperti boneka Annabelle, permainan hide and clap, rumah tua yang berukuran besar dengan catatan sejarah di baliknya, bayangan di cermin, lemari kayu antik, termasuk ritual pengusiran setan ala tradisi Katolik, dan sebagainya. Sisi menarik lain, setting cerita yang dibuat sepersis mungkin dengan keadaan tahun 70-an, karena menyesuaikan dengan kronologi kasus yang sebenarnya.

source: sheknows.com

Lewat ketepatan yang pas, semua pernik cerita tersebut disajikan dalam rangkaian yang rapi. Saat membangun ketegangan, penonton memperoleh interval menghela napas panjang yang melegakan dari James Wan, untuk kemudian dibuat terkejut kembali. Untungnya, sebagai penonton Asia, kita mampu menyesuaikan diri dengan gaya sang sutradara. Sehingga pada kesimpulan akhir, banyak yang berkomentar bahwa keseraman bukanlah komoditas unggul dalam “The Conjuring”, melainkan berondongan kekagetan.

Sayangnya, penonton yang berisik menjadi pengalih perhatian yang cukup mengganggu. Momen tegang pun sukses dicederai dengan teriakan spontan penonton. Sehingga saya sarankan Anda untuk menonton secara berkelompok, agar bisa lebih memberikan toleransi atas kebisingan. Sekaligus untuk sharing the fear, sebagai efek samping.

Dengan statusnya sebagai film horor yang didasarkan pada kisah nyata, baik peran utama protagonis maupun antagonis dalam “The Conjuring” pantas mendapat credit utama. Tidak hanya tampil sebagai pasangan pembasmi kekuatan jahat, Patrick Wilson dan Vera Farmiga sebagai pasangan Ed-Lorraine Warren berhasil mengangkat sentimen emosional ala manusia. Misalnya rasa cinta suami kepada istri dibarengi sikap saling menjaga, rasa sayang kepada anak, semangat seorang pria sekaligus kepala rumah tangga mengejar eksistensi diri secara profesional pada bidang yang tak lazim dan kerap berbuah cemoohan tanpa mengorbankan kepentingan keluarga, maupun empati kepada sesama ibu. Sejumlah penggambaran ini mengundang rasa penasaran penonton untuk mengetahui lebih jauh tentang biografi dan perjalanan hidup pasangan Warren sebagai pegiat dunia metafisika, lengkap dengan beragam kasus yang pernah mereka tangani, yang beberapa di antaranya menjadi inspirasi untuk sejumlah film horor pada 20 atau bahkan 30 tahun lalu.

Selain itu, pujian juga pantas diberikan kepada figur Bathsheba yang dihadirkan sebagai paduan dari Joseph Bishara sebagai pemeran (sekaligus penata musik), James Wan sebagai pengarah gaya, maupun tim efek visual yang mampu memunculkan keseraman rupa. Karena sebagai sosok antagonis, Bathsheba merupakan pusat dari semua teror atas manusia maupun hantu para mantan korbannya. Bathsheba, pondasi “The Conjuring” itu sendiri.

Tidak ketinggalan, kelompok peran penderita oleh Lili Taylor dan Ron Livingston sebagai Carolyn-Roger Perron beserta lima putrinya yang menjadi penghuni rumah horor tersebut. Mereka mampu tampil manis sebagai sebuah keluarga, sekaligus tampil memprihatinkan sebagai para korban. Kengerian yang mereka alami menyisakan rasa takut pada para penonton.

Terakhir, sebagai salah satu komponen penting dalam film ini, adalah musik latar dan efek suara yang disuguhkan Joseph Bishara dan Mark Crozer dengan kesan mencekam. Seingat saya, hanya ada satu lagu nonhoror yang diperdengarkan di tengah-tengah cerita, itupun lagu berirama groovy khas era 70-an. Jadi, bisa dibilang “The Conjuring” memang benar-benar tidak menyisakan banyak ruang lega bagi persepsi audiovisual. Memperbesar ketakutan.

[]