The Amazing Spider-Man

12 August 2012
1

TOKOH komik dan ceritanya memang menjadi “lauk” sedap yang selalu disajikan oleh dunia perfilman Hollywood.

Lebih dari sepuluh tahun lalu, sosok manusia super berkekuatan laba-laba pertama kali muncul di layar lebar dalam “Spider-Man” (2002) dan kemudian berakhir sebagai trilogi pada 2007 lalu.

Kini, setelah lima tahun, akhirnya Spider-Man kembali dimunculkan dalam cerita yang secara garis besar sama dengan komiknya, namun berbeda gaya dalam “The Amazing Spider-Man” (TASM) garapan Marc Webb. Film ini tayang sejak 3 Juli lalu, termasuk di Samarinda.

Sebagai bintang utama, Andrew Garfield menghadirkan sosok Peter Parker, sekaligus sosok Spider-Man, yang agak berbeda (baca: lebih baik) daripada versi Tobey Maguire. Walaupun pada akhirnya, keputusan untuk menentukan versi mana yang lebih bagus, kembali kepada Anda.

source: filmofilia.com

Dalam TASM, Peter Parker tidak muncul sebagai cowok yang sudah yatim piatu “dari sananya”, juga bukan seorang kutu buku dengan penampilan yang culun. Peter Parker malah digambarkan sebagai anak yang memiliki orangtua, namun kemudian terpaksa harus dititipkan ke paman dan bibinya tanpa tahu apa alasannya. Kemudian ia dimunculkan sebagai cowok SMA yang umum gayanya, lengkap dengan aksesori papan seluncur (skateboard), rambut yang berantakan, kepribadian yang labil, dan kebetulan tetap dengan kemampuan akademis yang tinggi, serta hobi fotografi. Walaupun begitu, ia tetap menjadi seseorang yang kerap di-bully oleh Flash, sang “preman sekolah”.

Peter Parker tetap mengalami perubahan fisik (yang membuatnya menjadi Spider-Man) setelah digigit oleh laba-laba hasil rekayasa genetik, hanya saja, lagi-lagi TASM memberikan alur cerita yang lebih nyaman untuk diikuti dan langsung menyuguhkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini; “mengapa Peter Parker bisa tergigit laba-laba?”, “di mana Peter Parker tergigit laba-laba?”, “mengapa ia ada di tempat laba-laba tersebut?”. Bukan sekadar “tak sengaja tergigit laba-laba” seperti dalam film pendahulunya.
Pada paruh pertama film, semua informasi baru mengenai kehidupan Peter Parker yang tidak didapatkan dalam film sebelumnya, membangun emosi dan keterikatan antara penonton dan yang ditonton. Semuanya terasa lebih realistis. Termasuk detail cerita, seperti bagian ketika Peter Parker mulai mencoba membuat alat untuk mengeluarkan jaring laba-laba, dan seterusnya.

Setelah separuh bagian tersebut berlalu, barulah Anda dipersilakan untuk menikmati aksi heroik Spider-Man yang lebih mantap disaksikan melalui kacamata 3D.

Meskipun TASM tetap menampilkan bagian khas, ketika Paman Ben tewas dibunuh penjahat figuran, namun bagian itu hadir tanpa ungkapan “with great power comes great responsibility” yang dipopulerkan dalam film Spider-Man pertama. Sedangkan kisah asmara Peter Parker, tetap ada dan menyita kesan, namun bukan dengan Mary Jane Watson, melainkan dengan Gwen Stacy yang diperankan oleh Emma Stone. Tampil dengan flick yang berbeda, less drama, jauh lebih segar dan menyenangkan untuk diikuti.

Terakhir, tentang antagonis utama dalam TASM, Lizard alias si kadal. Musuh utama Spider-Man tidak muncul sebagai sosok yang jahat dari awal cerita. Pasalnya, ada satu tindakan Peter Parker yang menjadi kunci kemunculan makhluk tersebut. Semuanya apik tersaji selama 136 menit dalam film berbudget USD220 juta ini.

Oya, hampir ketinggalan! Salah satu bagian favorit saya dalam TASM adalah ketika Stan Lee, sang “pencipta” tokoh komik Spider-Man, cameo (tampil sekejap) dalam salah satu adegan pertempuran antara Spider-Man dan Lizard. Cameo legenda komik Amerika yang sudah berusia 89 tahun itu, berlangsung hampir satu menit dan sangat jenaka.

Chemistry Cinta Lebih Kuat

Dari sekian banyak hal baru yang ditawarkan dalam The Amazing Spider-Man (TASM) dan membedakannya dengan trilogi Spider-Man sebelumnya, chemistry cinta yang dihadirkan oleh Peter Parker dan Gwen Stacy jadi satu bagian yang paling memikat.

Di trilogi milik Sam Raimi (2002 – 2007), Peter Parker jatuh cinta dengan Mary Jane Watson. Cinta Peter kepada Mary Jane berawal dari rasa suka yang diam-diam, dan mereka pun digambarkan bertetangga. Kisah cinta antara Peter Parker dan Mary Jane berlangsung sendu, melankolis, dan romantis. Ikon dari romantisme Spider-Man keluaran tahun 2002 ada pada adegan ketika Peter Parker sedang dalam posisi tergantung terbalik dan berciuman di tengah hujan.

Mary Jane tampil sebagai cewek yang rapuh, emosional, dan labil, bahkan bisa terlibat dalam cinta segitiga. Ujung-ujungnya malah berakhir pada drama insekuritas.

Berbeda dengan yang ditunjukkan oleh Andrew Garfield (Peter Parker) dan Emma Stone (Gwen Stacy). Karakter mereka dalam porsi asmara sama-sama kuat.

Singkatnya, Gwen Stacy bisa diistilahkan dengan “Smexy” (Smart and Sexy). Ia digambarkan sebagai cewek yang sudah sangat mandiri secara akademis dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Seolah menunjukkan bahwa tanpa Peter Parker sekalipun, Gwen Stacy pasti tetap memiliki kehidupan asmara yang semarak. Gwen bahkan mampu membuat Flash, tokoh “preman sekolah” tunduk. Berbeda dengan Mary Jane yang lebih terlihat lemah, dan seolah diciptakan hanya untuk berteriak ketakutan, khawatir, sedih, kecewa, dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam TASM, Gwen Stacy juga memiliki peran penting membantu Spider-Man mengalahkan musuhnya. Terlihat sebagai cewek yang punya inisiatif dalam bertindak dan cerdas dalam mengambil keputusan. They’ve made an extraordinary couple. Kebetulan, Emma Stone juga memiliki pesona khusus yang menjadi ciri khasnya, dari raut wajah, cara berbicara, dan sebagainya.
Hanya saja, makin mendekati akhir durasi TASM, makin terlihat bahwa Gwen Stacy adalah sosok wanita dewasa, who loves a boy, Peter Parker.

[]