Ted

23 September 2012

Yes, It’s About A F***ing Teddy Bear!

SIAPA yang tak tahu Teddy Bear? Boneka beruang berwarna cokelat dengan wajah imut dan lucu, yang namanya diambil dari presiden Amerika Serikat ke-26, Theodore Roosevelt.

Teddy Bear menjadi boneka populer dunia sejak awal era 1900-an,salah satu ikon dari dunia anak-anak yang manis dan lugu.

Kesan seperti ini juga yang ditunjukkan dalam prolog, atau bagian awal dari film “Ted” yang baru tayang di Samarinda sejak Rabu (19/9) lalu.

Namun, Anda salah bila berpikir bahwa “Ted” adalah film yang sepenuhnya mengisahkan tentang kelucuan Teddy Bear dan anak-anak yang lugu. Karena film garapan Seth MacFarlane ini menceritakan tentang bagaimana kondisi sang Teddy Bear, setelah ia dan pemiliknya sudah tumbuh dewasa, ya sekurang-kurangnya berumur 35 tahun.

Film ini mendapatkan label “Dewasa”, bukan sekadar inisial “D” saja (bahkan di beberapa kota di Indonesia, penonton yang dicurigai belum cukup umur mesti menujukkan KTP di ticket counter).

source: reelmovienation.com

Sejak kecil, John Bennett (Mark Wahlberg) memiliki masalah sosial. Tidak ada yang ingin berteman dengannya. Kehidupan sosialnya agak berubah setelah mendapatkan hadiah sebuah Teddy Bear berukuran sedang, yang kemudian ia perlakukan layaknya seorang teman, dan hanya bisa terdiam menanggapi kebawelannya (yang terlihat berlebihan untuk ukuran seorang anak cowok berusia 8 tahun). Sampai pada sebuah momen, akhirnya Teddy Bear hidup. Ia dipanggil Ted, ia bisa berinteraksi, bahkan mengikat janji persahabatan dengan John lewat sebuah pertanda alam. John pun menjadi salah satu anak yang paling bahagia bersama Ted. And they lived happily ever after… (uhm, scratch that!)

Cerita ternyata tidak berakhir sampai di sana. Adegan berubah. John melewatkan 27 tahun hidupnya sebagai anak cowok yang normal (nakalnya), bersama Ted. Mereka berdua sama-sama amburadul. Selalu mabuk, mulai dari mabuk cairan sampai mabuk Flash Gordon.

Anehnya, sekacau-kacaunya hidup yang dijalani oleh John, ia tetap bisa punya pacar yang cantik luar biasa, Lori Collins (Mila Kunis). Bisa jadi ini salah satu formula supaya bisa dapat cewek cantik; jadilah cowok serampangan. Hahaha!

“Boys will always be boys”. Ungkapan itu yang berlaku pada John dan Ted. Lori membuat John menghadapi krisis kedewasaan. Sampai kapan ia akan terus menjadi seorang “bocah” yang tidak bisa lepas dari boneka Teddy Bear, mainan favorit yang sampai kini menjadi sahabatnya, secara harfiah.

“Ted” tampil menjadi salah satu film komedi reflektif yang lengkap. Ada beragam ikon dan simbol yang dimunculkan, tersebar mulai dari tema Keajaiban Natal, hingga kemunculan Ryan Reynolds sebagai cameo sebanyak dua kali (di adegan keduanya, penampilan Ryan Reynolds langsung disambut dengan “eeewww…” dari para penonton Samarinda). Saya gunakan istilah reflektif, lantaran apa yang digambarkan dalam jalan cerita “Ted”, bisa jadi menggambarkan kondisi kebanyakan cowok saat ini, yang mungkin tetap menjadi seorang bocah laki-laki namun dengan mainan yang berbeda. Jadi, bisa saja film ini sedikit menohok pribadi para pria-pria penontonnya.

Kelakar yang ditampilkan cenderung dewasa, dan tidak semuanya diakrabi penonton Samarinda. Seperti ketika Ted menjawab pertanyaan John, soal hadiah untuk Lori. Begitupun ketika penonton disuguhkan dengan fakta cerita (yang tetap fiksi sih sebenarnya), bahwa Ted adalah boneka yang sangat populer di kalangan orang-orang populer pula.

“Ted” adalah penabur tawa. Dengan skrip yang unik, “Ted” pantas mendulang box office empat kali lipat dari budgetnya. Tapi ingat, khusus dewasa. Karena Ted memang sangat menggemaskan, tapi menjadi tidak kid-friendly setelah 27 tahun keberadaannya.

Oh, anyway, penasaran. Kenapa juga si itu yang jadi pengisi suara naratornya?

[]

Posted from WordPress for BlackBerry.