Tanah Surga …Katanya
MOMEN menjadi salah satu kunci kesuksesan sebuah film. Bila dirilis saat momen yang pas, dan dibarengi dengan promosi yang proporsional, sebuah film bisa menarik perhatian banyak orang. Begitupun dengan yang dilakukan oleh Deddy Mizwar, produser film “Tanah Surga …Katanya”, yang sudah tayang sejak 15 Agustus lalu di Samarinda.
Film ini hadir sebagai satir berbalut parodi khas ala Deddy Mizwar atas nasionalisme. Mengangkat cerita seputar kehidupan sebuah dusun di perbatasan Kalbar dan Malaysia.
Pemilihan setting dan isu sentral dalam film ini boleh dibilang cerdik. Pasalnya, selama ini segala urusan yang melibatkan Indonesia dan Negeri Jiran itu selalu menjadi topik panas seantero Nusantara. Karena umumnya diwarnai dengan masalah, perebutan, dan sengketa.
Apa yang ditampilkan dalam “Tanah Surga …Katanya”, merupakan kenyataan yang pahit, bahwa rasa cinta tanah air seringkali tak mampu memberikan kesejahteraan sebagai hak dasar warga negara. Dalam film ini, pemerintah dimunculkan sebagai pihak yang menelantarkan rakyatnya, namun sayang, tetap digambarkan pantas mendapat permakluman dari warga. Terlihat dari beberapa petikan dialog yang terdengar membela pemerintah atas ketidaksanggupannya mengatur Indonesia di luar pulau Jawa.
Dibintangi oleh Osa Aji Santoso (Salman), Fuad Idris (Kakek Hasyim), Ence Bagus (Haris), Ringgo Agus Rahman (dr Anwar), dan Astri Nurdin (Ibu Guru Astuti), “Tanah Surga …Katanya” banyak menampilkan wajah-wajah nonpopuler sebagai perangkai cerita. Peran yang mereka lakoni pun mampu mengaduk emosi, sehingga wajar apabila film ini berbuah tangis dari penontonnya.
“Tanah Surga …Katanya” mengisahkan tentang Kakek Hasyim yang merawat dua cucunya. Konflik bermula ketika putranya, Haris, lebih memilih merantau ke Malaysia dan kemudian berencana untuk mengajak mereka semua pindah negara. Bisa ditebak, alasan kepindahannya adalah rezeki yang lebih melimpah, dan ketersediaan fasilitas hidup yang lebih lengkap di negara tetangga. Padahal, seperti dalam lirik lagu “Kolam Susu” milik Koes Plus, Indonesia adalah tanah surga, katanya.
Sang kakek, dengan kondisi fisik yang lemah lantaran sakit parah, menolak keras permintaan putranya. Sang kakek berpijak pada latar belakangnya sebagai salah satu pasukan sukarelawan dalam perang konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 60-an. Disebutnya, berpindah tempat tinggal, berarti sama saja dengan mengaku kalah pada musuh. Sampai pada bagian ini, tamparan-tamparan kenyataan selalu dimunculkan; anak-anak dusun tidak mengenali bendera Merah Putih, tidak tahu lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, sekolah yang buruknya tiada tara, rupiah yang tidak laku sebagai mata uang, harus berjalan tanpa alas kaki menembus hutan perbatasan untuk menjual hasil kerajinan mereka ke kota Malaysia, jalan milik Malaysia yang teraspal mulus versus jalan milik Indonesia yang hanya agregat, orang Indonesia yang membela kesebelasan Malaysia, dan aneka penggambaran lainnya. Semua ini memang ditampilkan sebagai fiksi, namun banyak kondisi di dalamnya terjadi berdasarkan kejadian nyata (kecuali patriotisme buta dari sang kakek, mungkin).
Sebagai satir bernuansa parodi, film ini kerap menampilkan adegan maupun dialog yang lucu. Namun, banyak tawa yang dihasilkan adalah tawa getir; tawa yang tidak menimbulkan penghiburan, lantaran kelucuan yang muncul adalah akibat dari kondisi hidup yang memprihatinkan.
Secara subjektif, saking getirnya penggambaran cerita dalam film ini, bagian akhir film terasa samar. Tidak jalan keluar atas kondisi yang terjadi, dan penonton pun seolah diajak pasrah untuk menerima bahwa inilah realitas berbangsa dan bernegara. Hanya bisa menunggu keajaiban, dari kinerja pemerintahan.
Selain itu, sebagai film komersial, “Tanah Surga …Katanya” menyajikan sinematografi yang mantap. Keindahan alam pedalaman Kalbar disuguhkan dengan sangat apik, terlihat familiar di mata kita, warga Kaltim, provinsi dengan daerah perbatasan yang tak kalah menyedihkan. Berpadu musik latar yang tepat, dan penyambungan adegan demi adegan yang pas. Mengingat film ini sepenuhnya dibuat di Kalbar, termasuk setting kota Malaysia-nya. “Tanah Surga …Katanya”, pantas masuk dalam deretan film-film tanah air yang pantas diperhitungkan, dan direnungkan. Walaupun harus rela bersaing dengan “Perahu Kertas”, “Step Up Revolution”, “The Expendables 2”, maupun, ehm, “Cinta Suci Zahrana”.
Anda orang Kalimantan? Sudah nonton?
[]
[…] Motivator Indonesia yang Tidak Tamat SDTanah Surga …Katanya […]
[…] Osa Aji Santosa sebagai bintang utama. Pengalamannya bermain pada film bernuansa serupa yaitu “Tanah Surga… Katanya” (2012), menjadi modal kuat untuk membawakan lakon Dahlan dengan maksimal. Interaksi yang ia […]