Tak Bisa Donor Darah Lagi

4 December 2012
39

SAMPAI saat ini, saya tidak pernah melakukan aktivitas yang berisiko. Kecuali sebuah eksperimen yang melibatkan kentut dan kantung plastik bening, satu kali menggantung hati dan perasaan seseorang, serta sejumlah pilihan berinvestasi. Terlepas dari fakta tersebut, saya lumayan suka donor darah (karena kebetulan belum ada yang menawarkan donor sperma, seperti di Eropa sana).

Kartu donor darah.
Kartu donor darah buluk.

Minggu, 25 November lalu, PMI lokal membuka areal donor darah di atrium lantai dasar sebuah mal. Secara spontan, saya yang baru kelar makan siang tampan dan menawan bersama dua orang rekan, langsung ingin ikut setor darah.

Prosedurnya tak ada yang berubah, dan belum ditambah tes-tes lain semisal uji kejujuran atau pengukuran kadar ketampanan. Saya hanya mengisi formulir pendaftaran, menyiagakan kartu donor darah yang sudah lusuh, serta menjalani pemeriksaan umum berupa cek tekanan darah, serta cek kadar hemoglobin. Setelah semua prosedur dilalui, petugas kedua menginput nomor registrasi pendonor milik saya ke online database. Saya yang sudah kadung menarik lengan baju, mendadak kaget saat petugas nomor dua berkata, “Ini enggak bisa donor darah.” Ia lalu memberikan konfirmasi kepada dokter pemeriksa.

“Besok pagi, Mas datang ke PMI ya, langsung periksa ke petugasnya,” kata sang dokter, sembari mengembalikan kartu donor darah dan formulir yang sudah diberi catatan tambahan “CV + indeterminate” di bagian atasnya. Sejauh yang saya ketahui, indeterminate itu berarti sesuatu yang tidak pasti atau yang belum dapat dipastikan.

Sekadar informasi, beberapa tahun sebelumnya, saya juga pernah mengalami kondisi yang sama (kecuali pada bagian dibubuhkannya coretan “CV + indeterminate”). Kala itu, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa saya mendonorkan darah dalam kondisi yang agak kurang fit, sehingga darah saya tidak layak untuk dikelola. Karena pengalaman tersebut, saya mengira kali ini kondisinya serupa.

After blood withdrawal
Pasca tusukan kedua.

Senin, 26 November pagi, saya mendatangi PMI dan langsung menjalani pengambilan sampel darah untuk diperiksa. Tanpa berharap mendapatkan paket pil penambah darah, biskuit, susu cokelat, dan mi instan (lumayan buat snack gratis) seperti biasanya, saya harus menunggu hasilnya pada keesokan hari. Kondisi ini menimbulkan tiga rasa penasaran:

  • Kenapa pemeriksaan darah sederhana tidak bisa dilakukan secara kilat?
  • Apa hasil pemeriksaannya? (dan)
  • Mengapa setiap cewek cantik yang mau digebet selalu sudah punya pacar?

Selasa, 27 November pagi, saya kembali mendatangi PMI, dan kembali menemui si Mas petugas yang sama. Ternyata, dirinya mengatakan bahwa hanya dokter kepala PMI saja yang berhak memberitahukan hasil pemeriksaan. Sayangnya, sang dokter sedang berkegiatan di luar. Semua jurus lobi-lobi, tawar menawar, hingga bujuk rayu dan tujuh kali pertanyaan konfirmasi, berbuah penolakan. Si Masnya persistence sekali, macam diajak balikan sama mantan.

*DEG! Kok malah bikin sport jantung begini sih?*

Akhirnya saya mengalah, menyusul sang dokter yang ternyata sedang berada di acara donor darah sebuah lembaga. Beruntung, ternyata sang dokter lumayan asyik diajak berbicara, dan enggak kaku. Sampai akhirnya beliau bersedia untuk membeberkan hasil pemeriksaan di pojokan yang–enggak terlalu–tersembunyi-tersembunyi amat.

Dokter: “Dari hasil donor darah yang terakhir, kan darahmu tuh diperiksa. Nah, sampai dibawa ke Jakarta juga. Ternyata, dari hasil pemeriksaan sampel darah di PMI Jakarta, darahmu itu DICURIGAI terinfeksi HIV.”

*JEDHYAR!!!*

Mendadak pandangan berkunang-kunang, perut mulas, liur menetes, dan terdengar kidung surgawi dengan suara petikan harpa. (Oke, ini lebay)

Dokter: Tapi ini baru INDETERMINATE kok. Baru DICURIGAI. Soalnya metode pemeriksaannya dengan tiga reagen. Dua di antaranya menunjukkan negatif, sedangkan satunya menunjukkan hasil yang berbeda (bereaksi, tetapi bukan positif). Bisa juga false, hasil pemeriksaannya salah. Jadi ini kamu saya rujuk untuk pemeriksaan di VCT, biar lebih yakin.”

Dokter: “Saya tahu, ini memang nyebelin kok. Wong kita enggak pernah macem-macem, katakanlah intercourse aja enggak pernah, pakai jarum suntik bergantian apalagi. Eh, tahu-tahu malah divonis DICURIGAI begini. Yakin aja deh, hasilnya negatif.”

Berbekal surat rujukan darurat yang kertasnya hanya berupa HVS polos hasil minta ke toko ATK di lokasi acara, saya langsung ke RSUD yang ditunjuk, salah satu dari dua RS yang melayani VCT (Voluntary Counseling Test) secara gratis. Tanpa derai air mata, namun dengan hati yang penuh luka dan tanya. Di luar dugaan, ternyata ruang VCT berada di gedung paling belakang dari kompleks RS. Sekadar gambaran, RS itu menyediakan sepeda untuk para pegawainya berpindah dari satu area ke area lainnya. Luas banget.

Sesampainya di gedung yang dituju, dengan wajah polosnya saya langsung menanyakan ruang VCT ke meja perawat resepsionis. Langsung dong ya, direspons dengan ekspresi wajah terkejut campur takut dan sekilas pandangan jijik. Sumpah, tatapan dan air mukanya bikin enggak enak. Mengintimidasi, dan menimbulkan kesan inferior. Seolah-olah mereka berkata “ih, kamu kena AIDS!” Saya pengin menyatakan, tindakan tersebut adalah bentuk tidak profesional dan tidak manusiawinya pekerja medis di sana. Mudahan saya tidak menggeneralisasi.

Syukur, orang-orang di dalam klinik VCT sangat bersahabat (mungkin karena sebelumnya sudah dihubungi oleh sang dokter kepala PMI). Mereka mengantarkan saya bertemu dengan dokter khusus konseling VCT, dalam ruangan terpisah hanya untuk dua orang. Hal ini menjadi prosedur normal sebelum pengambilan sampel darah, untuk memastikan apakah pasien bersedia diperiksa, dan untuk mempersiapkan psikologis pasien atas hasil pemeriksaan yang bakal diterimanya. Iseng Googling, ternyata ada beberapa negara di dunia yang memperbolehkan pekerja medis memeriksa darah tanpa persetujuan si pasien, namun tidak di Indonesia.

Dokter konseling: “Ya siapa tahu, kita memang enggak pernah melakukan yang aneh-aneh. Tapi barangkali waktu kita tolong orang kecelakaan, tak sengaja terpapar darah yang terinfeksi. Dan kalaupun ternyata positif, ya pasti Tuhan punya rencana di baliknya. Mungkin supaya kita bisa lebih kuat lagi (menjalani hidup), atau ada hal-hal yang kita tidak tahu.”

*religius sekali ya*

Dalam sesi konseling, saya jelaskan bahwa tidak pernah melakukan aktivitas yang berisiko. Si dokter terlihat yakin, sehingga tanpa berlama-lama lagi, saya langsung ditransfer ke laboratorium untuk pengambilan sampel darah. Tidak hanya sekadar memeriksakan adanya infeksi HIV atau tidak, dokter konseling juga menambahkan item pemeriksaan CD4, yang berfungsi untuk mengetahui antibodi.

Laboratorium ada di area paling depan RS. Sangat jauh. Memberikan cukup waktu untuk merenung sambil ngupil. Sesampainya di sana, darah diambil. And, that’s all.

Dokter laboratorium: “Habis ini, Mas kembali ke klinik VCT ya.”

Di klinik VCT, ternyata petugas klinik langsung dapat telepon. Ternyata itu dari laboratorium di depan. Ternyata hasilnya bisa diperoleh dalam waktu singkat.

Mas VCT: “Sebentar ya, saya panggilkan dokter konseling. Soalnya cuma dokter yang boleh memberitahu hasilnya.”

Dokter konseling: “Jadi, hasilnya sudah keluar. NEGATIF kok. Tenang aja.”

Saya: “Ini serius? Tapi kok pemeriksaan yang di PMI bisa INDETERMINATE?”

Dokter konseling: “Ya kan kondisinya dulu dan sekarang berbeda. Siapa tahu waktu itu enggak fit. Jadi bisa bikin hasil yang INDETERMINATE itu tadi. Yang penting sekarang hasilnya NEGATIF. Kecuali kalau kamu mau cari second opinion, barangkali hasilnya beda. Soalnya pemeriksaan PMI biasanya pakai ELISA, jadi lebih sensitif. Kalau di sini kan pakai sistem Rapid Test (dengan mekanisme skema standar WHO).”

*Busyet dah! Amit-amit!*

Berbeda dengan pemeriksaan infeksi, hasil tes CD4 baru bisa diambil keesokan harinya.

Rabu, 28 November pagi agak siang, hasil CD4 diberikan dalam amplop tertutup. Setelah dokter lab menyerahkan hasilnya, saya pun menyergap.

Saya: “Dokter, boleh nanya? Kan hasilnya kemarin NEGATIF, tapi waktu sama PMI hasilnya INDETERMINATE? Itu gimana tuh?”

Dokter laboratorium: “Ini hasilnya sudah final kok. Kemarin juga darahnya sudah diuji dua kali, dan hasilnya NEGATIF. Jadi Masnya tenang aja.”

Test result
Lembaran tes CD4 yang menunjukkan hasil NEGATIF. Lembaran ini tidak boleh dibawa pulang oleh pasien.

*Fyuuuh ~~~*

Pernyataan sang dokter laboratorium tadi diperkuat dengan bukti pemeriksaan CD4 yang ternyata tak sepenuhnya berisi hasil pemeriksaan CD4.

Mas VCT: “Ini enggak apa-apa kalau saya aja yang buka? Dokternya (dokter VCT) lagi keluar.”

Mas VCT: “Oh, ini bukan hasil CD4. Kalau hasilnya NEGATIF, enggak dicek CD4-nya. Ini, dikosongin. Dan ada keterangan kalau hasil pemeriksaan infeksinya NEGATIF.”

Akhirnya bisa sepenuhnya lega dengan urusan curiga-dicurigai ini. Walaupun demikian, saya sudah di-banned dari urusan donor darah. Regulasi PMI.

PENTING

Kita mungkin sangat risi dan tabu berbicara soal HIV, apalagi mengaitkan diri sendiri dengan virus tersebut. Tapi, sebaiknya lakukanlah pemeriksaan VCT. Apakah Anda termasuk orang yang berisiko atau tidak, lebih baik dipastikan, ketimbang terkaget-kaget kemudian.

Seperti sejumlah analogi yang disampaikan oleh dokter laboratorium di atas, kita mungkin tidak pernah ngewe sembarangan, atau pakai jarum maupun alat cukur dan potong secara berbarengan, tapi siapa duga, siapa sangka, pada saat kita sedang berjalan-jalan di tempat umum, tanpa sengaja terkena paparan darah yang terinfeksi (which is, kemungkinan terinfeksinya memang sangat kecil). Yang jelas, kelegaan atas kesehatan itu tak ternilai harganya.

Di sisi lain, dengan menjalani tes VCT, sedikit banyaknya membuat kita bisa belajar memahami posisi ODHA, belajar memahami betapa tidak nyamannya dikucilkan, tidak nyamannya dipandang dengan tatapan penuh rasa jijik, serta belajar memahami betapa berharganya penerimaan sosial. Setidaknya, kita bisa mengerti betapa pentingnya memanusiakan manusia.

Sekian tulisan ini. Please, be safe. And don’t discriminate.

[]

Catatan. Saya sempat ragu saat ingin mem-posting tulisan ini. Karena, jujur, saya takut orang yang membaca tulisan ini, dan mengenal saya secara personal, mengira yang bukan-bukan. Malah bisa menjauhi saya. Prove it wrong, please.

Per hari ini pun, tidak jelas status saya di PMI. Apakah masih termasuk dalam daftar hitam, atau sudah dipulihkan dan dapat donor darah kembali.

[Ditambahkan 30 November 2019]

Beberapa tahun kemudian, eh, kena Indeterminate lagi.