Tahun Baru Imlek; Apakah Demikian?

253
views

MINGGU, 10 Februari mendatang, Tahun Baru Imlek kembali dirayakan. Sebagai pendahulu, sembahyang tutup tahun rampung diselenggarakan, beragam ornamen khas sudah dipasang. Mereka yang terpisah jauh dari orangtua pun telah dipanggil pulang.

Jauh sebelum Kongzi (孔子–Kongfuzi–Confucius–Khonghucu) mengusulkan pembakuan ulang sistem penanggalan Imlek lebih dari 2.000 tahun lalu, bangsa Tionghoa yang agraris selalu merayakan datangnya musim semi sebagai permulaan masa bercocok tanam. Momen ini juga menjadi wujud syukur bahwa mereka kembali berhasil melewati musim dingin dengan selamat, meski hanya bermodal kehangatan keluarga dalam rumah yang sederhana.

Perayaan purba itu kemudian ditetapkan sebagai tahun baru dalam penanggalan Imlek, dan terus dilakukan sampai sekarang dengan sebutan Chun Jie (春節, dibaca: chun-cie) atau Perayaan Musim Semi. Namun warga Tionghoa Indonesia lebih akrab menyebutnya dengan Xinnian (新年, dibaca: sin-nien) yang berarti Tahun Baru, atau Sin Cia (新正) dari dialek Hokkian yang berarti Bulan ke-1 yang Baru.

Menjadi perayaan yang sudah berusia lebih dari lima milenium dan terus dimodifikasi sesuai zaman; alasan di balik pemasangan lampion merah, pemasangan tebu, pembakaran petasan, dan sebagainya, Xinnian pun disikapi dengan beragam tanggapan. Dengan kepatuhan, keleluasaan, hingga ketidakpedulian.

Dari hasil pengamatan sederhana selama sepuluh tahun terakhir, ada lima kelompok orang berdasarkan cara mereka menanggapi Xinnian.

Dimulai dari para pemeluk agama Khonghucu yang menempatkan Xinnian sebagai hari raya keagamaan. Karena tahun kelahiran Khonghucu (551 SM) ditetapkan sebagai tahun ke-1, setelah ia merestorasi sistem penanggalan Imlek pada masa Dinasti Zhou Timur. Mereka merayakan Xinnian dengan kekhidmatan khusus.

Kemudian, para warga Tionghoa yang menganggap Xinnian sebagai bagian dari tradisi nenek moyang dengan beragam aturan, dan pantangan. Mereka menjalani semua ritual umum sebagai sebuah kebiasaan, dan mempercayai bahwa Xinnian berhubungan dengan peruntungan nasib di tahun yang akan berjalan. Itu sebabnya, mereka akan menyembunyikan sapu sejak hari pertama hingga ketiga Tahun Baru Imlek, atau menolak menerima tamu di hari ketiga atas dasar tabu.

Selanjutnya adalah orang-orang yang menganggap Xinnian sebagai simbol identitas; ikon pembeda dari suku lainnya (layaknya tradisi Ruwat bagi suku Jawa, atau perhelatan Erau bagi suku Kutai). Mereka tetap menjalani semua ritual yang melekat dalam perayaan Xinnian, namun tidak dengan pola pikir yang kaku (totok), dan menyadari pentingnya hal tersebut sebagai bentuk pelestarian budaya.

Kelompok berikutnya didominasi kaum muda Tionghoa, umumnya mereka yang dikirim orangtuanya ke luar kota (luar pulau, bahkan luar negeri) untuk bersekolah atau kuliah. Kebanyakan dari mereka menganggap Xinnian sebagai libur tahunan, waktu untuk mereka pulang kampung dan kembali berkumpul dengan keluarga, kerabat, dan kawan di kota asal. Seminggu setelah Tahun Baru Imlek, mereka pun “pulang” dan meneruskan kehidupan.

“Kalau sudah mau Imlek, ya pulang ke Samarinda. Kecuali kalau terlalu sibuk atau enggak sempat pulang. Kadang-kadang, ya papa mama berangkat ke sini, Imlek-an di sini,” ujar seorang teman, yang kini sudah mendapatkan status Permanent Resident di Singapura.

Mereka yang masuk dalam kelompok ini sudah tak menganggap Xinnian sebagai waktu untuk “memanen hongbao” semata. Hanya anak-anak kecil saja yang terlalu antusias untuk mengumpulkan amplop merah berisi uang dari setiap rumah yang mereka datangi. Pada dasarnya, Tahun Baru Imlek memang bukan sekadar harinya membagi/memburu hongbao belaka.

Terakhir, adalah kelompok mereka yang berdarah Tionghoa namun tidak merayakan Xinnian lantaran dianggap tidak sesuai dengan ketentuan agama yang mereka anut. Untuk mengurangi kesan mencolok, mereka melewati Tahun Baru Imlek hanya dengan berkunjung. Tapi ada juga yang memilih pergi berlibur, untuk menikmati kemeriahan suasana di Hong Kong atau Malaysia.

Cindy, menyampaikan ucapan selamat Tahun Baru Imlek kepada engkongnya.

Terlepas dari munculnya kategori-kategori yang masih bisa dirinci kembali tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa perayaan Tahun Baru Imlek makin terasa sebagai sebuah seremoni; meninggalkan lelah, stok bahan gosip, dan kejenuhan. Kini, Tahun Baru Imlek terasa begitu-begitu saja, agak jauh dari wujud syukur, ketulusan, serta upaya pelestarian kebijaksanaan. Semoga perasaan saya salah.

Di era Orde Baru, detik demi detik perayaan Tahun Baru Imlek yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi terasa begitu berarti. Karena tidak menjadi libur nasional, banyak siswa yang terpaksa izin dari sekolah, mengaku sakit, atau bahkan membolos. Kemeriahan Barongsai terasa luar biasa lantaran menjadi tontonan langka. Serta kebahagiaan tersendiri ketika melihat satu-satunya kelenteng di Samarinda dipenuhi orang yang khusus datang untuk bersembahyang tanpa acara tambahan. Di rumah masing-masing, keluarga besar berkumpul. Saling berbagi makanan dan minuman.

Kakek nenek bercengkerama dengan cucu-cucunya, kembali mengulang silsilah dan cerita masa lalu. Ada yang bertanya “Kenapa setiap Xinnian harus ada hiasan pohon sakura imitasi yang digantungi banyak hiasan?“, “Kenapa di depan semua pintu harus digantungi seikat Jeruk Cina, dan mengapa setiap Xinnian seikat jeruk berukuran kecil tersebut harus diganti dengan yang baru?“, dan beragam pertanyaan penuh rasa ingin tahu lainnya. Sedangkan di ruangan lain, ada sekelompok orang terpukau menonton kemeriahan Tahun Baru Imlek di Tiongkok lewat tayangan parabola.

Suasana kebersamaan begitu terasa. Bukan sekadar bersama-sama secara fisik, dan menghabiskan waktu dalam limpahan makanan, minuman, dan ingar-bingar lainnya, melainkan kebersamaan sebagai kesatuan. Gembira saat bersua dengan wajah-wajah yang hanya bisa dilihat dua-tiga kali setahun.

Karena berbagai keterbatasan, banyak warga Tionghoa yang merasa perlu menanamkan kecintaan atas budaya kepada anak-anak mereka, rasa syukur, serta harapan agar tahun yang baru membawa masa depan yang lebih baik. Semangat ini membuat Xinnian selalu terasa istimewa.

Setelah gerbang kebebasan dibuka, semua sumber daya dikerahkan. Perayaan besar-besaran diadakan oleh siapapun (atau organisasi apapun) yang merasa perlu menyelenggarakannya. Walaupun secara gamblang, perayaan-perayaan besar tersebut identik antara satu dengan yang lain, hanya diisi dengan makan bersama, menonton penampilan bintang tamu, serta maju tampil menyanyi di panggung.

Para anak muda sibuk memikirkan penampilan dan gaya, para orangtua sibuk mengatur open house di rumahnya, sedangkan para pengurus organisasi subetnis Tionghoa juga sibuk ini-itu agar perayaan Imlek milik mereka berlangsung tanpa cela.

Semangat perayaan Tahun Baru Imlek seolah tenggelam dengan hal remeh temeh lainnya. Ucapan “Gongxi Facai, Wan Shi Ruyi” (Semoga selamat sejahtera, dan semua urusan sesuai harapan) yang selama ini selalu menjadi maskot perayaan Tahun Baru Imlek pun kehilangan rohnya. Sepasang lampion merah dipasang tanpa tahu maknanya, tradisi sujud kepada orangtua pun sudah ditinggalkan, serta menyisakan generasi Tionghoa yang seakan tak peduli dengan ketionghoaannya.

Dengan realitas ini, tak ada salahnya bagi kita untuk introspeksi dan berusaha kembali ke nilai hakiki perayaan Xinnian. Bertanyalah pada diri sendiri, apakah kita sudah melakukan tindakan yang tepat atau malah menjauh dari yang seharusnya? Menyadari kembali bahwa berkumpul dengan keluarga merupakan kebahagiaan utama. Bersemangat untuk mencapai kemajuan, menghindari pencitraan, dan tidak meninggalkan makna serta akar budaya.

Sekali lagi, semoga perasaan saya atas hal ini tidak benar adanya. Atau mungkin, saya saja yang lebay.
Dan semoga di tahun Imlek yang baru, Anda berbahagia, selalu sehat, dan sejahtera sekeluarga.

[]

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

7 + 2 =