Tabula Rasa

27 September 2014

TERNYATA bukan–sekadar–film soal masakan. Kesimpulan itu saya peroleh setelah menonton jalinan drama yang terjadi antara Hans (Jimmy Kobogau), Mak (Dewi Irawan), Parmanto (Yayu Unru), dan Natsir (Ozzol Ramdan) dalam “Tabula Rasa”.

Di luar perkiraan, sebenarnya. Lantaran sebelum masuk ruangan bioskop, saya sudah bersiap melihat banyak adegan yang mengeksploitasi masakan dan proses pembuatannya secara zoom in. Lengkap dengan detail inderawi berupa ilusi aroma dan bunyi-bunyian khas aneka aktivitas dapur.

Ekspose itu memang tetap ada. Secara menarik dan menggugah selera disajikan Adriyanto Dewo, sang sutradara. Hanya saja dengan porsi yang terasa kurang banyak. Selebihnya, penonton dibuai dengan potongan-potongan besar Dendeng Batokok Bakar, yang disaput bumbu menggunakan batangan serai. Lalu disajikan dengan Sambal Lado Mudo yang hijau segar. Maupun dengan kuah gulai kuning di wajan besar, yang langsung mengingatkan penonton dengan tipikal lauk sajian Nasi Padang.

Tayang perdana Kamis (25/9) lalu, film ini memang menjadikan masakan Minang sebagai medium penyampai pesan. Bukan pesan mengenai filosofi masakan saja tentunya, namun menunjukkan bahwa isi pinggan mampu menjadi penyatu perasaan manusia.

Sekilas, “Tabula Rasa” mengajak penonton untuk memandang masakan tak cuma sebagai makanan. Melainkan sebagai bahasa universal, yang dipahami lewat ujung-ujung syaraf pada bantalan lidah.

source: gastronomy-aficionado.com

Bahasa universal itu yang disampaikan kepada Hans, pemuda tunawisma yang gagal bunuh diri di awal cerita. Ia ditolong Mak dan Natsir, dibawa ke warung Padang mereka, dan diberi makan sepiring Gulai Kepala Ikan Kakap sebagai bantuan kemanusiaan. Hanya saja, penonton punya tebakan berbeda-beda perihal penerimaan Hans terhadap bahasa universal tersebut. Ekspresi Hans kala pertama kali menyendokkan nasi bersiram bumbu gulai yang masih mengepul itu, entah merasakan kelezatan luar biasa, teringat akan kampung halamannya, atau aspirasi-aspirasi lain. Ditambah lagi, karena tidak ada perubahan sikap yang signifikan setelahnya, juga ada penonton yang menganggap bahwa sikap Hans begitu karena ia sangat-sangat kelaparan. Pastinya, adegan tersebut sukses membuat seisi ruangan bioskop meneguk liur, membayangkan sesendok hidangan serupa yang tengah dilumat perlahan.

Persepsi berbeda ditawarkan dalam adegan Parmanto yang menangis sejadi-jadinya, saat mencicipi menu yang sama. Bahkan kesan tersebut makin kuat, dengan gerak zoom in lensa, meskipun sayang durasinya lumayan pendek. Emosi penonton terlalu cepat dipisahkan dengan sumber gejolak, sebelum benar-benar ikut hanyut dalam kesedihan peran.

Di luar itu semua, “Tabula Rasa” bermain pada konflik mengenai kekecewaan, rasa percaya, kebersamaan, keberanian, dan ketegaran. Pergulatan batin Hans yang malu, Parmanto yang merasa dilupakan, ataupun Mak yang merasa dikhianati.

Masakan Minang memang menjadi poros sekaligus jejaring cerita “Tabula Rasa”, namun perhatian utama justru dijatuhkan pada perkara-perkara manusiawi yang dihadapi para lakonnya. Terlepas dari itu, suasana humor yang ditampilkan dalam film ini, lumayan cocok bagi penonton di Samarinda. Baik berupa respons pada celetukan beraksen Indonesia timur (hal ini yang sering dikeluhkan para penonton di pulau Jawa), maupun respons atas polah tingkah para pemainnya.

Sementara itu, “Tabula Rasa” tidak hanya menampilkan khazanah kelezatan Indonesia barat, namun memadukannya dengan visual keindahan alam Indonesia timur. Penonton dibuat refleks terkecap-kecap melihat beragam masakan Minang, sekaligus berdecak kagum menyaksikan lanskap alam Serui, Papua.

Soal muatan tambahannya, lumayan banyak juga. Salah satu fokus yang paling menarik untuk dicermati, ialah argumentasi Mak kala memilih bawang (makasih Ko Glenn, untuk ulangan dialognya). Gamblang, adegan ini efektif dan efisien menyentil siapapun yang merasa. Hanya lewat pertanyaan awam seorang pengunjung pasar.

Pada akhirnya, ada yang suka, tapi mungkin tidak sedikit pula yang merasa film ini tak masuk preferensinya. Akan tetapi, “Tabula Rasa” sukses mempertontonkan sekelumit kekayaan dari ujung-ujung Nusantara, dalam tampilan yang belum pernah ada sebelumnya.

[]