Sungai Mahakam Itu Keren, dan Bisa Lebih Keren Lagi!

580
views

BOLEH dibilang beruntung, terlahir sebagai warga Samarinda. Sebab, sejak awal sudah terbiasa dengan pemandangan Sungai Mahakam yang membentang begitu panjang, sekaligus memiliki kedalaman yang luar biasa dibanding sungai-sungai besar lainnya di seluruh Indonesia. Aliran sungai pun diapit dengan beragam latar belakang, mulai dari hutan dengan pohon yang rapat dan memberikan kesan sejuk, hingga berhadapan dengan lingkungan perkotaan yang modern dengan gedung-gedung tinggi. Meskipun sayangnya, konsekuensi dari kondisi ini adalah pencemaran yang tinggi dari sampah rumah tangga, serta beragam tindakan tak ramah lingkungan lainnya. Namun setidaknya, sejauh ini Sungai Mahakam masih bisa diandalkan sebagai sumber baku air bersih warga lewat pengolahan PDAM yang menggunakan seperangkat mesin serta bahan-bahan kimia penjernih.

Tidak hanya menawarkan pemandangan lanskap yang khas dan berkarakter, Sungai Mahakam juga seakan menjadi dunia tersendiri bagi ekosistem air tawar keruh berlumpur. Secuplik di antaranya, kerap kita nikmati dalam bentuk tekstur daging ikan patin yang berlemak dan juicy, ikan haruan yang menjadi lauk khas nasi kuning maupun lontong sayur, ikan nila dengan rasa daging yang gurih dan dapat digoreng kering, udang-udang air tawar dengan bentuk tubuh yang silindris sempurna tidak seperti udang laut yang agak pipih, dan sebagainya. Tidak ketinggalan, air Sungai Mahakam sejatinya adalah habitat mamalia air tawar unik dunia: pesut. Khazanah secara harfiah.

Upaya konservasi demi kelestarian lingkungan di Sungai Mahakam, harus didukung kepedulian dan kecintaan warga terhadap fitur alam ini. Setidaknya sebelum pencemaran dan kerusakan alam semakin parah, dan membuat sumber air utama di Kota Samarinda dan beberapa kabupaten/kota lainnya ini benar-benar tidak layak disentuh manusia (lihat saja air Sungai Karang Mumus).

Demi menumbuhkan kepedulian dan kecintaan warga terhadap Sungai Mahakam, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Dimulai dengan penataan secara serius dan bebas korupsi, penyajian Sungai Mahakam dari sisi artistik lantaran sungai ini tidak kalah keren dibanding sungai-sungai besar di beberapa kota dunia, serta kesempatan untuk menikmati Sungai Mahakam dari sudut pandang berbeda.

Untuk itu, coba sejenak berimajinasi tentang Sungai Mahakam yang lebih keren, dengan beberapa ide yang barangkali jauh dari sempurna tetapi tidak mustahil untuk dilaksanakan.

  • Sungai Mahakam bakal jadi tambah keren apabila kedua sisinya terang benderang

Penurapan bantaran sungai adalah sebuah keniscayaan dalam upaya penataan. Selain demi keindahan dan kerapian, turap sungai berfungsi untuk meningkatkan keamanan bagi warga maupun hewan yang berada di sekitarnya (baca: supaya tidak jatuh). Area-area yang diturap pun bisa menjadi ruang terbuka tambahan bagi warga, demi pemenuhan kebutuhan sosialnya. Seperti rekreasi, bersantai, berolahraga, termasuk memancing, dan sebagainya.

Sejauh ini, belum semua sisi bantaran Sungai Mahakam di Kota Samarinda yang sudah diturap. Di beberapa kecamatan, masih banyak pemukiman berdiri pada tepian sungai. Sisa-sisa dari pola kehidupan yang kurang modern, saat Samarinda masih menjadi sebuah kampung bernama Samarendah.

Relatif gelap, kan?
Relatif gelap, kan?

Kendati demikian, sudah ada beberapa kawasan utama yang telah diturap dan dihiasi dengan taman-taman umum. Sayangnya, belum semua terang benderang secara konsisten. Artinya, lampu taman terpasang, sayangnya kerap hanya bertahan beberapa bulan sebelum akhirnya pecah, rusak, dicuri, dirusak, atau tidak beroperasi karena urusan setrum entah apa masalahnya. Karena ini pula, banyak kawasan tepian Mahakam yang identik sebagai ruang gelap Kota Samarinda: wadah mesum, tempat para junkies dan gelandangan, area preman dan bandit, dan sebagainya.

Barangkali memang ada segelintir oknum yang lebih nyaman apabila tepian Mahakam remang-remang bahkan gelap. Tanggung jawab pemerintah dan aparat keamanan untuk memastikannya.

  • Sungai Mahakam bakal jadi tambah keren apabila mudah diseberangi

Bagi kamu yang pernah berlibur ke Bangkok, Thailand dengan daftar tujuan yang umum, alias memang khusus buat turis, pasti tidak akan melewatkan agenda menyusuri Sungai Chao Phraya yang membelah kota tersebut. Di salah satu titik akan menikmati pemandangan stupa matahari terbenam atau Wat Arun, di salah satu titik lainnya akan dipersilakan membeli bongkahan roti untuk diberikan kepada ikan-ikan belakang salah satu kelenteng yang makan dengan lahapnya. Itu dari sisi wisata. Akan tetapi jangan lupa, Sungai Chao Phraya pun masih diseberangi kaum urban Kota Bangkok sebagai akses transportasi menuju kantor, sekolah, mal, maupun tempat-tempat lainnya.

Bagaimana dengan Samarinda? Warga kota ini kadung beranggapan bahwa memiliki kendaraan pribadi itu lebih keren dan bergengsi ketimbang naik kendaraan umum. Kendaraan pribadi yang dimaksud pun adalah motor maupun mobil, yang saat menyeberangi sungai, mau tidak mau harus bertumpuk, mengantre, dan terjebak macet serta ditandai dengan perilaku nakal pengemudi yang ugal-ugalan di Jembatan Mahakam (Jembatan Mahulu tidak masuk hitungan karena siapa sih orang yang mau jauh-jauh lewat sana kalau bukan warga sekitar dan sopir truk peti kemas?). Sementara Jembatan Mahkota II katanya baru akan rampung akhir tahun nanti, which is dua bulan lagi, setelah berbelas-belas tahun dibangun kada tuntung-tuntung.

Jembatan Mahulu saat baru banget diresmikan, dan masih terang benderang. Sekarang, jembatannya gelap, lampunya mati, dan sering dijadikan lokasi balap liar.

Lalu, siapa yang masih menggunakan tambangan atau kapal kelotok khas Samarinda? Paling-paling warga Samarinda Seberang dan kelurahan-kelurahan sekitar, yang rumahnya tidak jauh dari dermaga tambangan di Kelurahan Mesjid. Di sisi lain, memang akan kurang efektif apabila naik tambangan untuk kemudian bingung mesti naik ojek atau Angkot dari dermaga ke lokasi lain.

Okelah, apabila sebagai akses transportasi Sungai Mahakam masih belum bisa diberdayakan, jadikanlah sebagai fitur wisata tentu dengan harga yang tidak dilebay-lebaykan. Sebab selama ini, pemberdayaan Sungai Mahakam sebagai objek gaya hidup bernilai jual, baru dilakukan secara parsial. Misalnya, dalam kegiatan komunitas baru-baru ini, atau dijadikan latar pemotretan sesi pre-wedding. Salah satu mata acara kegiatan paguyuban, berupa jamuan makan siang tamu-tamu dari seluruh Indonesia di atas kapal yang sedang berlayar, dan masih banyak lagi. Bukan mustahil, banyak warga Samarinda lainnya yang ingin juga merasakan sensasi serupa.

Sungai Chao Phraya yang membelah Bangkok, di depan Wat Arun.
Sungai Chao Phraya yang membelah Bangkok, di depan Wat Arun.

Terus, apakah bingung harus diberdayakan seperti apa? Enggak punya ide? Otak buntu? Do brainstorming lah. Instansi terkait, seperti Dinas Pariwisata, Ekonomi Kreatif, dan Kominfo (Disparekrafkominfo) Samarinda, atau Dinas Pariwisata (Dispar) Kaltim malah lebih bisa melibatkan diri secara dinamis dalam proses susun konsep bareng-bareng tanpa embel-embel harus studi banding lah, jalan-jalan lah, apa lah.

Berikut beberapa ide di antaranya.

  • Sungai Mahakam bakal jadi tambah keren apabila makin banyak event beragam budaya

Sejauh ini, kegiatan yang identik dengan Sungai Mahakam baru ada satu, yakni Festival Mahakam yang umumnya digelar pada November. Dalam festival tersebut, ada beberapa mata acara khas yang ada sejak penyelenggaraan tahun pertama, ditambah dengan acara-acara yang disadur dan dijadikan bagian dari festival. Seperti Mahakam Jazz Fiesta garapan komunitas Jazz Kota Tepian. Although it keeps declining every year. Kalau begini, apakah acara meriah terkait Sungai Mahakam cuma berlangsung setahun sekali? Agak disayangkan. Padahal masih ada beragam kegiatan yang bisa dilangsungkan di Sungai Mahakam tersebar dalam satu tahun.

Apabila kendalanya adalah dana, sangat bisa diakali dengan penyelenggaraan acara per dua atau tiga tahun sekali. Skemanya, misal ada lima festival baru (A, B, C, D, E), dalam tahun ini digulirkan tiga festival (A, B, C), lalu tahun depan digulirkan tiga festival lain (A, D, E), dan dikombinasikan. Sebab, festival-festival yang berpotensi dijadikan ajang rutin, didominasi event tahunan. Sudah ada beberapa contohnya, dan memang perlu biaya. Pastinya tidak harus selalu di-markup dan dimahal-mahalkan, kan?

>> Tahukah kamu bila setiap tanggal 5 bulan kelima dalam penanggalan Imlek, warga Tionghoa memiliki ritual membuang bacang atau makanan khas dari ketan secara simbolis ke sungai? Ritual biasanya juga dibarengi dengan persembahyangan secara sederhana, baik dilakukan di pinggir sungai maupun di tengah sungai. Festival ini berlangsung pada musim panas, sehingga biasanya juga dibarengi dengan minum teh bunga krisan sambil menyantap bacang tersebut. Selain itu, juga kerap dimeriahkan dengan festival perahu naga yang sebenarnya, maupun eksibisi perahu naga dengan titik berat pada permainan perkusi tambur.

Miniatur perahu naga dan bacang yang dilarung di perairan Sungai Mahakam dekat Pulau Buaya, beberapa tahun lalu.
Miniatur perahu naga dan bacang yang dilarung di perairan Sungai Mahakam dekat Pulau Buaya, beberapa tahun lalu.

>> Tahu Erau, kan? Selama ini, Sungai Mahakam di area Samarinda hanya dilintasi kapal pengangkut replika naga yang diantar ke kawasan Kutai Lama. Apabila memungkinkan, saat kapal naga lewat di Samarinda, disinggahkan sebentar untuk dapat dinikmati lebih lama warga Samarinda. Tidak hanya itu, kehadiran naga juga bisa “disambut” dengan pagelaran seni budaya berupa tari-tarian tradisional. Erau pun bisa jadi semacam event budaya dengan kepanitiaan gabungan. Para kontingen dari negara-negara sahabat pun ikut diberangkatkan dengan kapal sampai ke Samarinda untuk manggung sejenak.

Saat naga Erau atau Naga Bekenyawa tiba di dermaga Samarinda Seberang. Source: kutaikartanegara.com
Saat naga Erau atau Naga Bekenyawa tiba di dermaga Samarinda Seberang. Source: kutaikartanegara.com

Berani lebih gila lagi? Teknisnya mungkin agak ribet dengan keamanan dan regulasi. Pemerintah pasti punya kewenangan untuk mengerahkan atau meminjam ponton luas guna dijadikan panggung terapung. Para penampil juga penonton bisa berkumpul di sana, atau dibuat agak mendekat ke tepian.

Kami yakin, dari celetukan ide ini, pasti ada pro kontra. Selebihnya, pasti ada pula yang punya pemikiran lebih brilian dan realistis untuk bisa dilaksanakan.

>> Bicara soal panggung terapung, kenapa tidak dibuat pertunjukan musik, pesta kembang api, atau konser di atas kapal? Penonton pun berkumpul di tepian sungai. Atau mungkin bisa memberdayakan tambangan untuk menjadi “tempat duduk” terapung mengelilingi panggung. Acaranya jelas berlangsung malam, dan diupayakan aman sedemikian rupa dari cuaca, ketinggian permukaan air, dan batasan usia penonton.

Tidak perlu panggung yang heboh dan berlebihan, dengan terapung di atas sungai saja sudah wow! Source: wsdg.com

>> Antara September sampai November, umat Buddha di Samarinda (dan di seluruh dunia) merayakan hari Kathina. Salah satu tradisi yang khas dan unik dari perayaan adalah kegiatan melarungkan pelita lilin dengan tatakan berbentuk teratai ke air. Di Thailand, momen seperti ini berlangsung saat Festival Loi Krathong yang kebetulan juga jatuh setiap November.

Pelarungan pelita berlangsung di Vihara Muladharma, Jalan PM Noor.

Kegiatan seperti ini juga dilangsungkan di Sri Lanka, maupun negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur lainnya termasuk Jepang, serta Korea, pelita dilarungkan ke sungai, danau, laut. Sementara orang-orang di Indonesia, selama ini terpaksa hanya melarungkan di kolam permanen maupun temporer yang khusus dibuat untuk tujuan itu. Bisa dibayangkan suasananya berlangsung indah dan relatif aman terawasi. Lilin pun bisa habis terbakar dalam waktu sekitar 20 sampai 30 menit.

Bagi warga Tionghoa di Tiongkok maupun Taiwan, juga ada tradisi serupa pada waktu berbeda dan bertujuan sebagai penghormatan kepada Dewi Guanyin.

Bayangkan saja apabila ada area khusus Sungai Mahakam tengah kota, tepatnya di depan kantor gubernur, yang dilokalisasi atau diamankan pada radius tertentu. Baik umat Buddha maupun warga umum bisa berpartisipasi melarungkan pelita. Pasti akan terlihat cantik dan syahdu. Di sisi lain, pemerintah pun bakal diapresiasi karena memberikan keleluasaan khusus dalam ibadah, serta kreatif bersinergi menghasilkan kegiatan budaya yang bisa jadi ikon kota.

Kalau disambungkan dengan tradisi umat Buddha Indonesia, bisa saja festival bernama Siripada Puja ini akan mampu menyaingi popularitas menerbangkan lentera di Candi Borobudur saat peringatan Waisak. Ya, kalo? Siapa saja, umat maupun wisatawan, bisa berpartisipasi dalam kegiatan dan memenuhi media sosial dengan foto dan video yang menarik lebih banyak orang untuk datang tahun depan.

But the main concern will be safety issue. Harus benar-benar dipastikan aman.

>> Ide lainnya, bisa diberi nama Mahakam Short Cruise. Rute yang ditempuh pendek, dari Kota Samarinda menjelajah sampai ke muara sungai, atau ke lokasi-lokasi budaya seperti Kutai Lama, dan sebagainya. Bukan sekadar jalan-jalan, dalam satu sesi juga minimal disajikan makan siang dengan menu khas Samarinda, Kutai, Banjar, atau sesuai kreativitas masing-masing. Fokusnya bisa disesuaikan dengan objek-objek yang ingin dilihat. Bagi penggemar desain arsitektural, pasti girang banget melintas di bawah atau bisa memerhatikan detail mega structures infrastruktur. Mulai dari Jembatan Mahakam yang usianya hampir 30 tahun, Jembatan Mahulu dengan desain arch, atau Jembatan Mahkota II dengan desain cable-stayed. Juga bisa melihat Islamic Centre dari depan dan megah, kantor gubernur, bahkan bila memungkinkan juga diatur kerja sama dengan perusahaan Migas di muara agar peserta bisa melihat rig atau titik bor, dan sebagainya. Sedangkan bagi para ahli ilmu sosial, pasti akan senang melihat ragam hidup warga bantaran. Lalu bagi para pecinta alam, bisa menyaksikan hutan bakau di beberapa wilayah, hewan-hewan liar yang bisa bermunculan di sisi sungai. Banyaklah pokoknya.

  • Sungai Mahakam bakal jadi tambah keren apabila ditangani sepenuh hati

Artikel ini sudah cukup panjang, jadi lebih baik diakhiri sekarang. Kendati terdengar klise, tetapi pada kenyataannya belum pernah dilakukan sampai sekarang.

Tunjukkan bahwa kamu benar-benar mencintai Sungai Mahakam, Kota Samarinda, Kaltim, dan Indonesia ini dengan berani mengerahkan ide dan kreativitas, bukan hanya karena memang sedang bertugas di bidang itu. Kalau memang ide sudah buntu, gandeng sebanyak-banyaknya orang berkompeten untuk mewujudkannya. Setelah mereka terkumpul, jangan langsung diperalat dan dimanfaatkan demi menguntungkan diri sendiri.

Sekali lagi, kami yakin ada banya ahli tata ruang, arsitek, ahli botani, pemikir kreatif, pebisnis santun yang akan sangat bersedia membantu revitalisasi Sungai Mahakam. Jangan pernah malu untuk meminta ilmu. Di Bandung, ada arsitek yang jadi wali kota dan menyulap Kota Kembang itu jadi lebih indah dan nyaman. Di seluruh dunia juga ada agensi tata eksterior yang berani terlibat dalam pitching ide. Jadi, mulailah bergerak.

Kuncinya, asal memang punya niat dan tekad serius untuk melakukannya. Bukan cuma untuk cari muka, dan cari objekan. Selama ini, kita sebagai manusia-manusia Samarinda sudah dihidupi air Sungai Mahakam, dan kini saatnya bagi kita untuk “membalas budi”. Mengonservasi kehidupan di dalamnya, dan membuatnya lebih cantik dan patut dipuji.

Sebab sejatinya, Sungai Mahakam sudah keren, dibuat kotor dan buruk justru oleh manusia-manusia yang mengambil air dan mengeruk isinya, serta mencemarinya. Berhentilah bersikap kurang ajar dan tak tahu malu.

[]

Artikel ini pertama kali ditulis untuk Undas.Co, September 2015.

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

14 − 13 =