Sukses?

22 January 2013
2

KESUKSESAN dalam hidup. Hmm…

Topik ini adalah salah satu bahasan paling basi sepanjang masa. Namun ironisnya, suka tidak suka, mustahil untuk dihindari.

Setelah tercebur ke dalam bahasan dan upaya pembuktian atas hal ini (it’s just a matter of time, obviously), bak dipaksa minum air laut; makin diteguk, makin menghauskan. Seseorang yang belum sukses, terdesak untuk bisa mencapai kesuksesan. Lalu orang yang dianggap sudah sukses, dituntut–lingkungan maupun dirinya sendiri–untuk meningkatkan tingkat kesuksesan yang telah dicapainya.

“Orang sukses adalah orang yang tak gampang berpuas diri,” katanya.

Hingga saat ini, saya menganggap orang-orang yang mampu menjalani hidup di atas dualitas sukses/belum sukses ini sebagai kelompok manusia yang beruntung. Mereka terbebas dari keterbatasan dan kekangan label. Seolah mereka menjalani hidup karena kehidupan itu sendiri, bukan karena harus memenuhi kualifikasi hasil kesepakatan orang lain. Tapi, pasti ada yang menimpali pendapat saya dengan komentar, “ah, emang dasar kamunya aja yang belum sukses. Bikin pembenaran dan alibi.”

Well, bisa jadi begitu. Karena sejujurnya, I have no fcuking idea about that. Ya anggap saja saya adalah seseorang yang memang belum sukses, dan silakan cela, cerca, hina, dan jauhi saya karena itu. You’re welcome. 🙂

Omong-omong, bagaimana sih cara mengukur kesuksesan dalam hidup?

Saya akrab dengan cekokan dogma bahwa hidup yang sukses itu dinilai dari empat hal; seputar selangkangan, peran dalam keluarga, status ekonomi, dan capaian sosial. Boleh diurusi satu persatu atau acak, yang penting harus semuanya.

Sukses seputar selangkangan meliputi menikah dengan pasangan yang ideal (raga, jiwa, dan asal mula). Ya pokoknya pasangan yang menyenangkan diri sendiri, melegakan mertua, pantas dipamerkan, serta jauh dari potensi keterpisahan. Berlanjut pada terselenggaranya persetubuhan yang menggembirakan agar saling puas dan jauh dari penyelewengan (dangkal banget ini mah). Lalu digenapi dengan kemampuan untuk menghasilkan keturunan yang bisa bikin orang lain iri, saking lucunya (pintarnya, cakepnya, imutnya, baiknya, dan sebagainya-nya).

Sukses peran dalam keluarga adalah kemampuan untuk mampu membahagiakan orangtua, baik kebahagiaan esensial maupun yang tidak.
Diawali dengan tuntutan agar si anak mampu menuruti keinginan orangtuanya, entah karena keinginan tersebut memang benar-benar benar atau hanya ego semata, lantaran merasa paling benar. Misalnya, harus pintar membaca, menulis, dan berhitung di usia pra-Taman Kanak-kanak, rajin mengumpulkan piala untuk lomba apa saja, mahir bermain piano dan biola, atau lentur menari balet. Tuntutan ini berlanjut dengan meminta si anak membuktikan kemampuannya menjalani pernikahan dan meneruskan keturunan.

Sukses status ekonomi meliputi kemampuan untuk bekerja dengan posisi yang mentereng dan diganjar penghasilan yang tinggi. Setelah itu, tuntutan berubah. Si anak yang mendapatkan penghasilan lewat bekerja pada orang lain didorong untuk bisa menjadi pemberi penghasilan, alias pengusaha. Pasalnya, setinggi-tingginya gaji, tetap berbatas pada kebijakan keuangan perusahaan juga. Pencapaian ini mesti diperkuat dengan objek visual; mobil, rumah, foto perjalan wisata ke luar negeri, foto anak yang bersekolah di luar negeri, aneka aset, dan sebagainya. Di sisi lain, anak (terutama cowok) dengan orangtua pengusaha, dituntut untuk mampu meneruskan kesuksesan pendahulunya. Suka tidak suka. Mempertaruhkan reputasi pribadi dan keluarga, serta sumber pendapatan utama. Momok untuk poin ini adalah pertanyaan, “kalau kamu enggak mau, bisnis ini mau diwariskan ke siapa dong?”

Sukses capaian sosial adalah penutup dari ketiga parameter kesuksesan sebelumnya. Seseorang yang mampu mencapai ketiga sebelumnya, akan mendapatkan pengakuan sosial atas “prestasi-prestasinya”. Walhasil, bisa mabuk kepayang atas gelombang kebanggaan yang bertubi-tubi dari komentar orang lain. Poin ini akan makin berlimpah dengan kemampuan untuk (tampil) religius; rajin ibadah dan sedekah, bersikap rendah hati dan tutur halus laku pekerti.

Sebenarnya ada poin kelima, yaitu sukses masuk surga setelah meninggal. Tapi, berhubung belum ada yang mampu membuktikan urusan ini, jadi, untuk sementara biar jadi urusan pribadi masing-masing deh.

Lalu, apa yang salah dari keempat poin di atas?
Enggak ada!

Hanya saja…
Empat poin penilaian di atas akhirnya memunculkan generalisasi “benar/salah”. Apabila semua poin di atas tercapai, itu berarti cara menjalani hidup benar. Begitupun sebaliknya. Walaupun sebenarnya, yang dianggap benar belum tentu benar, sedangkan yang salah belum tentu sepenuhnya salah. Ya udah, itu aja.

Lalu, bagaimana dengan saya?
Dari keempat poin di atas, belum semuanya tercapai. Padahal, bisa jadi hal-hal yang tercapai pun belum tentu dianggap sebagai prestasi hidup.

Sukses seputar selangkangan: belum menikah, apalagi punya anak
Sukses peran dalam keluarga: mulai dari rapor SD hingga SMA, ijazah S1, aneka sertifikat, sampai tulisan dan foto yang muncul di koran, dan lain-lainnya (yang enggak mungkin dijabarkan semua) kerap dibanggakan oleh Mama, sampai bikin gerah sendiri.
Sukses status ekonomi: baru berstatus karyawan yang masih mencintai pekerjaannya (atau mungkin enggan beranjak dari comfort zone-nya), walaupun sudah mid-levels (kata orang sih).
Sukses capaian sosial: lumayan populer di antara warga Tionghoa lokal; masih dicap sebagai seorang penggiat di vihara yang aktif berbicara; dan anak muda yang memiliki minat rada absurd terhadap budaya Tionghoa.

Dengan checklist di atas, saya jelas belum termasuk orang yang sukses dalam hidup. Lah, terus… Memangnya kenapa? Biarkanlah rencana dan upaya untuk berubah muncul dengan sendirinya. Entah apakah perubahan itu muncul terlambat atau apapun itu, ya begitulah.

Ini curhat? Mungkin.

Saya egois? Bisa jadi.

Ah, mbuh lah.

Semoga semua kesuksesan ada pada Anda. 🙂

[]

Bacaan terkait:
“Marriage vs Social Insecurity”
“Pembayaran adalah Imbalan”

Sukses?

22 January 2013
2

KESUKSESAN dalam hidup. Hmm…

Topik ini adalah salah satu bahasan paling basi sepanjang masa. Namun ironisnya, suka tidak suka, mustahil untuk dihindari.

Setelah tercebur ke dalam bahasan dan upaya pembuktian atas hal ini (it’s just a matter of time, obviously), bak dipaksa minum air laut; makin diteguk, makin menghauskan. Seseorang yang belum sukses, terdesak untuk bisa mencapai kesuksesan. Lalu orang yang dianggap sudah sukses, dituntut–lingkungan maupun dirinya sendiri–untuk meningkatkan tingkat kesuksesan yang telah dicapainya.

“Orang sukses adalah orang yang tak gampang berpuas diri,” katanya.

Hingga saat ini, saya menganggap orang-orang yang mampu menjalani hidup di atas dualitas sukses/belum sukses ini sebagai kelompok manusia yang beruntung. Mereka terbebas dari keterbatasan dan kekangan label. Seolah mereka menjalani hidup karena kehidupan itu sendiri, bukan karena harus memenuhi kualifikasi hasil kesepakatan orang lain. Tapi, pasti ada yang menimpali pendapat saya dengan komentar, “ah, emang dasar kamunya aja yang belum sukses. Bikin pembenaran dan alibi.”

Well, bisa jadi begitu. Karena sejujurnya, I have no fcuking idea about that. Ya anggap saja saya adalah seseorang yang memang belum sukses, dan silakan cela, cerca, hina, dan jauhi saya karena itu. You’re welcome. 🙂

Omong-omong, bagaimana sih cara mengukur kesuksesan dalam hidup?

Saya akrab dengan cekokan dogma bahwa hidup yang sukses itu dinilai dari empat hal; seputar selangkangan, peran dalam keluarga, status ekonomi, dan capaian sosial. Boleh diurusi satu persatu atau acak, yang penting harus semuanya.

Sukses seputar selangkangan meliputi menikah dengan pasangan yang ideal (raga, jiwa, dan asal mula). Ya pokoknya pasangan yang menyenangkan diri sendiri, melegakan mertua, pantas dipamerkan, serta jauh dari potensi keterpisahan. Berlanjut pada terselenggaranya persetubuhan yang menggembirakan agar saling puas dan jauh dari penyelewengan (dangkal banget ini mah). Lalu digenapi dengan kemampuan untuk menghasilkan keturunan yang bisa bikin orang lain iri, saking lucunya (pintarnya, cakepnya, imutnya, baiknya, dan sebagainya-nya).

Sukses peran dalam keluarga adalah kemampuan untuk mampu membahagiakan orangtua, baik kebahagiaan esensial maupun yang tidak.
Diawali dengan tuntutan agar si anak mampu menuruti keinginan orangtuanya, entah karena keinginan tersebut memang benar-benar benar atau hanya ego semata, lantaran merasa paling benar. Misalnya, harus pintar membaca, menulis, dan berhitung di usia pra-Taman Kanak-kanak, rajin mengumpulkan piala untuk lomba apa saja, mahir bermain piano dan biola, atau lentur menari balet. Tuntutan ini berlanjut dengan meminta si anak membuktikan kemampuannya menjalani pernikahan dan meneruskan keturunan.

Sukses status ekonomi meliputi kemampuan untuk bekerja dengan posisi yang mentereng dan diganjar penghasilan yang tinggi. Setelah itu, tuntutan berubah. Si anak yang mendapatkan penghasilan lewat bekerja pada orang lain didorong untuk bisa menjadi pemberi penghasilan, alias pengusaha. Pasalnya, setinggi-tingginya gaji, tetap berbatas pada kebijakan keuangan perusahaan juga. Pencapaian ini mesti diperkuat dengan objek visual; mobil, rumah, foto perjalan wisata ke luar negeri, foto anak yang bersekolah di luar negeri, aneka aset, dan sebagainya. Di sisi lain, anak (terutama cowok) dengan orangtua pengusaha, dituntut untuk mampu meneruskan kesuksesan pendahulunya. Suka tidak suka. Mempertaruhkan reputasi pribadi dan keluarga, serta sumber pendapatan utama. Momok untuk poin ini adalah pertanyaan, “kalau kamu enggak mau, bisnis ini mau diwariskan ke siapa dong?”

Sukses capaian sosial adalah penutup dari ketiga parameter kesuksesan sebelumnya. Seseorang yang mampu mencapai ketiga sebelumnya, akan mendapatkan pengakuan sosial atas “prestasi-prestasinya”. Walhasil, bisa mabuk kepayang atas gelombang kebanggaan yang bertubi-tubi dari komentar orang lain. Poin ini akan makin berlimpah dengan kemampuan untuk (tampil) religius; rajin ibadah dan sedekah, bersikap rendah hati dan tutur halus laku pekerti.

Sebenarnya ada poin kelima, yaitu sukses masuk surga setelah meninggal. Tapi, berhubung belum ada yang mampu membuktikan urusan ini, jadi, untuk sementara biar jadi urusan pribadi masing-masing deh.

Lalu, apa yang salah dari keempat poin di atas?
Enggak ada!

Hanya saja…
Empat poin penilaian di atas akhirnya memunculkan generalisasi “benar/salah”. Apabila semua poin di atas tercapai, itu berarti cara menjalani hidup benar. Begitupun sebaliknya. Walaupun sebenarnya, yang dianggap benar belum tentu benar, sedangkan yang salah belum tentu sepenuhnya salah. Ya udah, itu aja.

Lalu, bagaimana dengan saya?
Dari keempat poin di atas, belum semuanya tercapai. Padahal, bisa jadi hal-hal yang tercapai pun belum tentu dianggap sebagai prestasi hidup.

Sukses seputar selangkangan: belum menikah, apalagi punya anak
Sukses peran dalam keluarga: mulai dari rapor SD hingga SMA, ijazah S1, aneka sertifikat, sampai tulisan dan foto yang muncul di koran, dan lain-lainnya (yang enggak mungkin dijabarkan semua) kerap dibanggakan oleh Mama, sampai bikin gerah sendiri.
Sukses status ekonomi: baru berstatus karyawan yang masih mencintai pekerjaannya (atau mungkin enggan beranjak dari comfort zone-nya), walaupun sudah mid-levels (kata orang sih).
Sukses capaian sosial: lumayan populer di antara warga Tionghoa lokal; masih dicap sebagai seorang penggiat di vihara yang aktif berbicara; dan anak muda yang memiliki minat rada absurd terhadap budaya Tionghoa.

Dengan checklist di atas, saya jelas belum termasuk orang yang sukses dalam hidup. Lah, terus… Memangnya kenapa? Biarkanlah rencana dan upaya untuk berubah muncul dengan sendirinya. Entah apakah perubahan itu muncul terlambat atau apapun itu, ya begitulah.

Ini curhat? Mungkin.

Saya egois? Bisa jadi.

Ah, mbuh lah.

Semoga semua kesuksesan ada pada Anda. 🙂

[]

Bacaan terkait:
“Marriage vs Social Insecurity”
“Pembayaran adalah Imbalan”