Spy

29 May 2015

POSTING-AN ini ditulis tepat sepekan setelah menonton “Spy”, Jumat (22/5) lalu. Memang terbilang agak telat untuk sebuah review, namun ternyata kesan yang ditinggalkan mampu bertahan relatif lama. Membuktikan bahwa “Spy” layak direkomendasikan sebagai tontonan menyenangkan.

Terpujilah Melissa McCarthy, Jason Statham, dan Miranda Hart untuk performa mereka dalam “Spy”. Terlebih untuk Jason Statham, yang sukses meruntuhkan reputasi layar lebarnya selama ini; seorang jagoan botak yang cool dan keren tanpa citra santai sedikit pun, a perfect specimen of alpha male. Mengutip komentar seorang teman yang berkesempatan menyaksikan screening-nya di SXSW, Texas, beberapa bulan lalu: “… one big revelation from the movie is that Jason Statham is a gifted comedian.”

Dalam hal ini, kegilaan Jason Statham mengekskalasi sekaligus melengkapi penampilan Melissa McCarthy sendiri, sang bintang utama, yang sebelumnya juga berhasil mengocok perut penontonnya dalam “The Heat” (2013) bersama Sandra Bullock. Meskipun begitu, secara garis besar perbedaan antara lakon Susan Cooper dalam “Spy” dan Shannon Mullins dalam “The Heat” terlampau tipis. Curiganya, sosok Melissa McCarthy bakal telanjur makin melekat dengan peran-peran kocak berlatar belakang aksi. Selebihnya, kekonyolan-kekonyolan yang selama ini ia tampilkan dapat mendistraksi penerimaan penonton kala ia bermain menjadi lakon lebih serius. Entahlah.

Terlepas dari itu, Melissa McCarthy efektif mengoptimalkan fitur-fitur fisiknya untuk menjadi Susan Cooper sebaik mungkin. Bila sebagai Shannon Mullins ia sudah berakting berangasan sejak awal kemunculan, dalam “Spy” ia lebih dulu dikenal sebagai sosok yang quite girly, memiliki fantasi alamiah berupa rasa suka kepada pria keren despites of their “gap”, serta berupaya keras agar tidak kehilangan sang pria idaman. Kemudian barulah penonton diajak untuk tahu bahwa Susan Cooper menyimpan sosok Shannon Mullins selama ini, lantaran beberapa alasan, dan beberapa di antaranya terbilang kocak khas American Dark Humor. Pun begitu dengan Miranda Hart, yang fitur-fitur fisiknya ditampilkan se-ndagel mungkin serta aksen British-nya, menjadi paduan yang unik.

Mereka bertiga menjadi “nyawa” film garapan Paul Feig ini, yang bercerita tentang dunia spionase Amerika Serikat dengan segala ke-less-sophisticated-annya.

Spy
Source: Foxmovies.com

Tak perlu bercerita banyak soal plot, yang kendatipun tetap memiliki sejumlah plot-hole di sana sini, akan tetapi tetap menyenangkan dan penuh guyonan beragam genre. Semuanya terjalin baik dengan aksi yang ditampilkan, dan membuatnya tampak serius dan menggelikan secara bersamaan. Not to mention, Jason Statham bisa berbuat bodoh, lalu garang kemudian. Padahal keberadaan figurnya tidak banyak berfaedah dalam petualangan Susan Cooper, malah menimbulkan gangguan-gangguan penyebab ngakak.

Menariknya, di pengujung cerita ditampilkan kesan bahwa “Spy” juga menonjolkan secuil isu mengenai feminisme (kok ya kebetulan dirilis setelah “Mad Max: Fury Road” yang juga mengedepankan kesan serupa). Saat antiklimaks, Susan Cooper tidak lagi menjadi seorang perempuan yang insecure dengan segala keadaannya. Alih-alih pasrah pada fantasinya selama ini, yang kemudian seakan kehilangan pesonanya, Susan Cooper mampu bersikap layanya perempuan yang kuat dan mandiri. Menarik.

[]