Spectre

8 November 2015
3

AKHIRNYA, setelah rangkaian plot yang seolah tidak saling berhubungan dan mengorbit di semestanya masing-masing, mulai “Casino Royale” (2006), “Quantum of Solace” (2008), dan “Skyfall” (2012), “Spectre” yang tayang perdana Jumat (6/11) lalu berhasil merajut semua benang merah menjadi satu. Secara sederhana, bisa dibilang film kedua tentang agen rahasia Inggris berkode 007 besutan Sam Mendes ini, berhasil menjadi muara semua konflik yang telah terjadi. Jelas bukan sebuah kebetulan pula, “Spectre” menyajikan akhir petualangan Daniel Craig sebagai James Bond.

Film dengan durasi lebih dari dua jam ini memang menuai respons beragam. Komentar-komentar negatif terus mengalir di media sosial setelah penayangan terbatas di Jakarta, Kamis (5/11) malam lalu mengenai banyak hal. Dari yang paling sepele, sampai kurangnya kesan gereget yang tertinggal di benak undangan. Bahkan jauh sebelum itu, cemooh internasional terus dilancarkan hingga kini. Namun bagi saya–yang terlampau fokus pada alur cerita, “Spectre” tersaji sebagai hasil paduan yang pas. Entah, mungkin frame of reference-nya saya doang yang cetek. 😛

Seperti biasa, layaknya film-film James Bond lain yang dibintangi Daniel Craig, “Spectre” diawali dengan deretan aksi yang gila. Lokasi yang terpilih kali ini adalah Mexico City, dengan Festival Orang-orang Mati sebagai latarnya. Kegilaan pertama dalam film ini ditampilkan dalam adegan udara, ketika James Bond berkelahi dengan gaya khasnya yang brutal dalam sebuah helikopter di atas belasan hingga puluhan ribu manusia. Bagian itu mengantarkan James Bond masuk dan bersentuhan dengan sesuatu yang jauh lebih besar dibanding musuh-musuh utamanya selama ini, termasuk yang menyebabkan tewasnya M (Judi Dench) dalam “Skyfall”, dan membuat figurnya digantikan Ralph Fiennes.

"Spectre"
Source: Wired.com

Ornamen-ornamen konflik terus ditambahkan di sepanjang film, meskipun pada beberapa bagian terasa tidak terlampau perlu dan dapat dihilangkan tanpa mencederai cerita. Di “Skyfall”, kita ingat tentang silang pendapat antara MI6–organisasi intelijen yang menaungi James Bond serta para agen dengan kode 00 lainnya–dan pemerintah Inggris. Begitupun di “Spectre”, aksi James Bond di Meksiko membuatnya harus disanksi sang bos. Bagian menariknya justru ada pada alasan di balik aksi tersebut, yang saking kuatnya sampai-sampai membuat James Bond mampu menyusun tim internalnya sendiri. Ya sih, mirip-mirip dua “Mission Impossible” terakhir.

Pasti ya, dalam upaya James Bond menyelidiki, menguak, dan menyelesaikan musuh utamanya diwarnai interaksi dengan sejumlah wanita. The Bond Girls. Mereka adalah Lucia Sciarra (Monica Bellucci), dan Madeleine Swann (Lea Seydoux) yang sebenarnya secara tak langsung telah terhubung dengan James Bond sejak era “Casino Royale”, dan “Quantum of Solace”.

Anyway, sejak pertama kali berperan sebagai James Bond, penampilan Daniel Craig memang fluktuatif. Namun hal itu bisa juga dilihat sebagai evolusi peran. Di “Casino Royale” misalnya, sang James Bond terkesan lebih serampangan, asal hajar, bahkan tidak peduli Vodka Martini diracik pakai metode apa. Lalu dalam “Skyfall”, sang agen rahasia harus memulihkan diri dan batinnya, untuk kemudian kembali diganggu dengan hantu dari masa lalunya. Sedangkan dalam “Spectre”, muncul kesan bahwa James Bond sudah jauh lebih santai dalam menjalankan misinya, dan benar-benar siap untuk pensiun. Bagi sebagian penonton yang kecewa dengan film ini, mereka menyebut perubahan tersebut sebagai bentuk inkonsistensi. Bagi saya, justru asyik-asyik saja melihat Daniel Craig yang sangat peduli fashion dengan beragam objek dari Tom Ford, dan santai mengisi hari-harinya dengan keindahan.

Ditambah lagi dengan lakon Q yang jauh lebih ceriwis, tetapi dengan peralatan berteknologi canggih yang minim; lakon Moneypenny yang seolah kembali berperan sebagai penunjang aktif aksi James Bond; serta M yang kaku, pasrah dengan konflik antara pemerintah dan lembaga intelijen yang dipimpinnya. Kendati demikian, peran Q, Moneypenny, dan M tetap mampu memeriahkan cerita. Keceriwisan Q membuatnya lebih humoris, serta menjadi rekan yang efektif dan efisien bagi sang jagoan. Pun M, yang menjelang pengujung cerita kebagian “jatah” menghajar penjahat.

Sementara itu, kehadiran tokoh-tokoh lain seperti Dave Bautista yang sangar, Andrew Scott yang mencurigakan sejak awal, terlebih Christoph Waltz sang musuh utama yang pertama kali mencuat dengan gegap gempita yang hening, menjadi komponen penting dalam film berbujet gede ini. Bujet besar, jadi wajar dong kalau ledakan besar di mana-mana, pilihan lokasi yang barangkali bakal masuk bucket list banyak orang dalam waktu dekat, dan sebagainya.

Akan tetapi, tetap ada satu hal yang tak terbantahkan ketidakjelasannya: “Writing’s on The Wall”, lagu tema yang dibawakan Sam Smith. Ndakjelas!

[]