Snow White and the Huntsman

12 August 2012

DALAM semester pertama tahun ini, tercatat sudah ada dua film yang mengangkat kisah tentang Snow White (Putri Salju). Entah apa yang menyebabkan dongeng tradisional Jerman ini mendadak begitu digandrungi oleh industri film Hollywood; apakah hanya ide seketika untuk membuat kembali film-film dari cerita yang sudah diakrabi oleh orang sedunia (sehingga berpengaruh pada nilai box office-nya)? Atau ada agenda lain yang menyusul sesudahnya.

Film pertama, “Mirror Mirror” yang dirilis pada Maret lalu dengan menampilkan aktris kawakan Julia Roberts sebagai si ratu jahat, bersanding dengan Lily Collins sebagai Snow White. Film ini lebih menonjolkan sisi komedi, dan adegan menari-menyanyi yang berkiblat ke Bollywood. Maklum, sutradaranya adalah Tarsem Singh. Disusul dengan “Snow White and the Huntsman” (SWATH) dengan penayangan perdana pada 1 Juni lalu dengan tampilan yang lebih kelam dibandingkan “Mirror Mirror”.

Kelam, karena SWATH menampilkan kisah Snow White nyaris tanpa adegan yang bisa dipakai untuk tertawa bahagia, kecuali di bagian awal serta akhir film, saat ratu jahat berhasil dikalahkan, atau adegan yang melibatkan tujuh kurcaci. Bahkan pada kenyataannya, 80 persen bagian dari film berdurasi 127 menit ini menampilkan aneka bentuk penderitaan serta perjuangan hidup yang dijalani oleh Snow White (Kristen Stewart), Eric the Huntsman (Chris Hemsworth), William (Sam Claflin), serta tujuh kurcaci yang beberapa di antaranya diperankan oleh aktor kawakan seperti Bob Hoskins dan Nick Frost. Namun tidak hanya kasihan dengan para tokoh protagonis dalam film ini, ada satu bagian yang membuat sosok sang ratu jahat Ravenna (Charlize Theron) dan Finn (saudaranya) terlihat pantas mendapatkan simpati. Saya menduga, sang ratu jahat hanya perlu diterapi oleh Psikiater, untuk mencegahnya bersikap kejam karena kadung sakit hati, mendendam, serta merasa tidak dimengerti oleh lingkungan. Nuansa audiovisual seperti ini membuat perasaan saya bercampur saat menontonnya, walaupun kesan ini akan berbeda pada masing-masing orang.

Sama seperti pada “Mirror Mirror”, jalan cerita dalam SWATH juga sudah mengalami modifikasi dari kisah aslinya. Semuanya tetap diawali dari latar belakang sebuah kastel kerajaan dengan raja dan ratu yang rupawan. Hingga suatu ketika sang ratu hamil dan terinspirasi untuk menamakan anaknya Snow White karena mengagumi keindahan salju di musim dingin. Sayangnya, pada saat Snow White masih kecil, ratu mengalami sakit yang merenggut nyawanya. Sang raja menjadi duda, sampai akhirnya bertemu dengan wanita cantik yang nanti akan dijadikan ratu baru. Nah, setelah bagian ini, SWATH menampilkan alur cerita yang berbeda tentang bagaimana kerajaan jatuh ke tangannya, bagaimana Ravenna ratu memperlakukan Snow White, hingga bagaimana Snow White mampu mengalahkan ibu tiri yang jahat. Pastinya, ikon-ikon utama dalam kisah Snow White tetap dimunculkan, seperti apel beracun serta cermin ajaib yang sudah pasti Anda tahu perannya masing-masing. Kali ini dengan tampilan yang lebih jahat. Favorit saya, tepat pada saat Snow White menggigit apel beracun dari Ravenna yang menyamar.

source: cdn.breitbart.com

Dalam kisah aslinya, ratu jahat dikalahkan setelah Snow White dinikahi oleh Prince Charming (pangeran) dari kerajaan lain yang menyelamatkannya dari kutukan apel beracun lewat sebuah True Love Kiss (ciuman cinta sejati). Prince Charming menikahi Snow White dan menghukum ratu jahat dengan menari di atas sepatu besi hingga mati kelelahan. Sedangkan dalam SWATH, justru Snow White yang mengenakan baju besi, dan berperang melawan Ravenna beserta pasukannya.

Bagi saya, tidak ada yang istimewa dalam scene pertempuran antara Snow White beserta pasukannya melawan Ravenna dan bala tentaranya. Kristen Stewart masih terlihat sedikit canggung memainkan pedang, senjata yang dipegangnya. Namun setidaknya aksi Kristen Stewart sebagai “The Fighting Snow White” patut menerima pujian, jika dibandingkan dengan penampilannya dalam rangkaian empat film “Twilight Saga” yang lebih sering menunjukkan kegalauan. Dalam SWATH, lecutan emosi Kristen Stewart dimunculkan dalam adegan yang membuat ia harus tampil berani, termasuk saat memberikan pidato pembangkit semangat. Yang jelas, Kristen Stewart tampak sangat berbeda ketika ia tampil dengan mengenakan baju zirah, terdiri dari Armor dan Mail dari lempengan besi yang menutupi badan, bahu dan tangan.

Terakhir, lokasi syuting yang dilangsungkan di Marloes, Pembrokeshire, Inggris menambah kuatnya gambaran menyedihkan dari masa itu. Dengan desa yang terlihat kotor dan kumuh, lumpur di mana-mana, orang-orang dengan wajah tak bersahabat benar-benar menonjolkan wajah Snow White yang cantik, Eric the Huntsman yang tampan nan jantan, William yang rupawan dan lembut, serta Ravenna yang kejam di balik pesonanya.

Dilema di Setiap Peran

Bila saya ditanya tentang aktor atau aktris berpenampilan paling mengesankan dalam SWATH, saya tidak akan menjawabnya dengan Kristen Stewart, pemeran utama dari film garapan Rupert Sanders ini. Ia hanya mendapatkan posisi kedua, bukan karena saya tidak begitu suka dengan rangkaian film The Twilight Saga – yang telah membumbungkan namanya – tapi karena Kristen masih tampil ke-Bella-Bella-an. Sepanjang film, saya lebih sering melihat ekspresi wajah Bella Swan ketimbang Snow White. Ekspresi wajah yang cenderung datar, baru kemudian ditambahkan dengan sedikit aksen pada kerutan dahi, senyum tipis, ataupun tatapan mata yang melebar dalam sejumlah adegan. Hanya pada beberapa bagian tertentu saja, sosok Kristen Stewart yang benar-benar menjadi Snow White muncul. Padahal (tanpa berani lancang untuk sok tahu), sepertinya Kristen Stewart berusaha mati-matian tampil berbeda.

Pilihan saya justru jatuh kepada Charlize Theron yang dengan apik menjalankan perannya sebagai ratu jahat Ravenna berkekuatan sihir luar biasa dengan simbol gagak. Karakter Ravenna yang dibawakannya mampu berkilau menonjol dibanding peran-peran lain, terlepas dari posisinya sebagai antagonis utama.

Baik Kristen dan Charlize sama-sama meluapkan emosinya dalam peran masing-masing. Namun nampak jelas bahwa aksi Charlize lebih banyak meninggalkan cue batin, ketimbang Kristen. Itu sebabnya, walaupun Charlize berperan sebagai Ravenna yang sudah lazim untuk dibenci dan bikin geregetan karena kejam, tapi dalam adegan yang lain justru bisa bikin trenyuh, mengundang simpati untuk dikasihani.

Meskipun demikian, penampilan Kristen dan Charlize sama-sama memberikan kesan bahwa SWATH adalah film yang sangat feminis. Beberapa kata kunci yang bisa saya tangkap sepanjang film adalah kecantikan, keengganan untuk mengalami perubahan, ego, kemandirian dan perjuangan, perasaan yang sensitif, sakit hati, ketidakpercayaan, kerinduan, serta hati yang rapuh. Semuanya cewek banget.

Snow White dan Ravenna sama-sama menunjukkan latar belakang yang tidak mengenakkan. Bedanya, Ravenna sudah mengalaminya puluhan bahkan mungkin ratusan tahun sebelum ia menjadi ibu tiri Snow White dan membunuh Raja Magnus. Dengan pengalaman buruknya, Ravenna menjadi seseorang yang meyakini bahwa pria adalah sumber masalah, dan satu-satunya cara untuk menguasai pria adalah lewat kecantikan.

Sayangnya, kebanyakan pria justru akan mencampakkan wanita setelah kecantikan dan usia muda pergi berlalu menyisakan kerut dan uban.

Di sisi lain, Kristen tetap setia pada penampilan khas seperti dalam film-film sebelumnya. Ia tetap tampil tomboi dan tidak pernah tidak mengenakan celana panjang. Bahkan celana panjang tersebut ada di balik gaun ala abad pertengahan Eropa yang dikenakannya. Untungnya pencitraan Kristen yang seperti itu membantunya mewujudkan Snow White yang jauh berbeda dibandingkan dengan yang selama ini kita bayangkan atau saksikan dalam film Disney penuh warna, nyanyian dan tarian dengan makhluk hutan. Dalam SWATH, Snow White berubah dari figur seorang putri yang hanya bisa menunggu untuk ditolong oleh pangeran tampan, menjadi seorang gadis pemberani yang ternyata mampu membela diri sendiri. Sehingga, jangan harap bisa mendapatkan kisah cinta yang bombastis dalam SWATH. Selain menjadi rekan perang, keberadaan Eric the Huntsman maupun William masih menyisakan pertanyaan “kepada siapa hati Snow White akan benar-benar diberikan?” Terlebih, konsep True Love Kiss atau ciuman cinta sejati benar-benar dijungkirbalikkan. Ada twist pada bagian tersebut, karena ada dua kecupan yang didaratkan, namun hanya satu yang mampu membangkitkan Snow White dari kutukan apel berbonus kematian.

Lalu, bagaimana dengan penampilan Chris Hemsworth (Eric the Huntsman) dan Sam Claflin (William)? Masih segar dalam benak saya bagaimana Chris tampil memukau dan kocak dalam “The Avengers” sebagai Thor baru-baru ini. Sedangkan Sam, terakhir kali muncul dalam “Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides” sebagai Philip Swift. Mungkin hal ini bisa dijadikan referensi awal.

Dalam SWATH, Eric menjadi tokoh pria paling dominan ketimbang William. Eric disebut The Huntsman (pemburu) karena awalnya muncul sebagai tokoh duda yang seharusnya memburu Snow White dan membawanya kembali ke Ravenna demi imbalan. Sedangkan William adalah teman sepermainan Snow White waktu kecil yang terpisah selama sekian belas tahun setelah Ravenna berhasil merebut kerajaan.

Terlihat jelas tokoh Eric merupakan pria yang lebih bad boy ketimbang William. Lecutan emosinya muncul sepanjang cerita: sejak pertama ia berhasil menyelamatkan Snow White, mendampinginya, berniat meninggalkannya karena tak ingin Snow White terkena masalah bila berada di dekatnya, sampai ketika ia terpukul tatkala mengetahui bahwa Snow White telah (terlihat seperti) meninggal karena telah memakan apel beracun dari ibu tirinya. Sementara William, nanti bisa dilihat sendiri deh dalam film.

Empat tokoh inilah yang membuat SWATH menjadi film yang berbeda. Mereka muncul dengan dilemanya masing-masing, yang semuanya kebetulan berujung pangkal di titik yang saling bersinggungan.

[]