Sepatu Dahlan

12 April 2014

DIANGKAT dari novel berjudul sama karya Khrisna Pabichara, kisah “Sepatu Dahlan” merupakan tafsiran dramatis dari secuplik pengalaman masa kecil Dahlan Iskan di kampung halamannya, sebuah desa di Magetan. Fokus cerita, tentu saja berotasi pada sepasang sepatu, termasuk upaya untuk mendapatkannya. Lengkap dibarengi sejumlah subplot yang berhasil diselipkan minus kesan berlebihan.

source: 21cineplex.com

Dahlan (Osa Aji Santosa), anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya (Donny Damara) bekerja nggaduh (beternak dengan sistem bagi hasil) kambing, berkebun, maupun berdagang. Sedangkan sang ibu (Kinaryosih), menghabiskan malam-malamnya sebagai buruh batik. Mereka memang bukan keluarga yang berada.

Dahlan baru lulus Sekolah Rakyat (SR), atau setingkat dengan SD pada masa kini. Sudah saatnya ia memiliki sepasang sepatu. Lantaran selama ini, semua aktivitasnya ia jalani dengan bertelanjang kaki. Hanya saja, diperlukan perjuangan berat untuk memperolehnya. Itupun mesti ditambah deretan peristiwa yang membuat penonton tertegun, mensyukuri apa yang telah mereka miliki.

Ya, film ini memang bertujuan untuk menginspirasi. Atau setidaknya, mengajak para penonton agar terus bersemangat dan pantang menyerah kala menghadapi kesukaran hidup yang beraneka.

Berlatar belakang kehidupan desa puluhan tahun silam, penonton disuguhi dengan kesederhanaan. Dibuka dengan setting­ kebun tebu yang luas lewat wide shot (yang sekilas mengingatkan pada scene pertama “The Raid 2: Berandal”), penonton seolah diajak untuk melihat pemandangan yang diakrabi Menteri BUMN itu di masa kecilnya. Masuk pada 15 menit awal cerita, barulah penonton merasakan bahwa kesederhanaan hidup–yang terpaksa dijalani–Dahlan dan keluarganya, mengarah pada dua hal: kegetiran, dan harga diri. Hal tersebut tergambarkan lewat quote pertama dari Ayah Dahlan; “Kita memang miskin, tapi miskin bermartabat.” Prinsip itu yang terus didengungkan hingga akhir cerita, sampai akhirnya Dahlan berhasil mendapatkan sepatunya.

Soal pemain, casting film yang disutradarai Benni Setiawan ini terbagi dua. Yakni pelakon ibu kota, dan anak-anak luar ibu kota. Termasuk yang berasal dari Madiun. Meskipun demikian, kemampuan akting para bocah asal Jawa Timur tersebut patut diacungi jempol. Mereka memang minim pengalaman di depan kamera, namun penampilannya tak kalah menarik perhatian. Bahkan dengan nilai lebih pada dialek tutur yang meyakinkan, ketimbang Donny Damara maupun Kinaryosih.

Para remaja usia SMP itu memainkan peran-peran tambahan: lakon teman sekolah Dahlan. Yakni, Kadir (Sarono Gayuh Wilujeng) dengan pembawaan yang spontan, serta tawa yang khas dan menjadi maskot; juga Komariah (Putri Ageng Nurning) dan Mariyati (Irba Intan Salwa) yang kebagian subplot cinta monyet segitiga.

source: viva.co.id

Terlepas dari masalah dialek yang kerap terdengar kurang pas, Donny Damara dan Kinaryosih berhasil menjadi figur orangtua berkarakter. Donny Damara menjadi ayah yang tegas, mendidik dengan keras, tapi bijaksana. Begitupun dengan Kinaryosih yang tampil lembut, sabar, dan sukses menunjukkan kesan berfisik lemah. Apalagi dengan berhasil nembang “Lela Ledung” secara lirih pada satu adegan, menjadi pendongkrak kesedihan. Tak sedikit penonton yang menangis pada bagian tersebut, maupun pada bagian-bagian selanjutnya yang terkait.

Satu peran lain yang juga memiliki kesan kuat dibawakan oleh Teuku Rifnu Wikana. Lakonnya sebagai ustaz madrasah tempat Dahlan bersekolah memang lebih banyak muncul pada sebagian akhir cerita, namun kekuatan karakternya mampu bersanding dengan tokoh ayah. Terlebih lewat vokal Teuku Rifnu Wikana yang berat, line yang dalam, dan seolah berhasil menancap pada batin penonton.

Terakhir, penampilan Osa Aji Santosa sebagai bintang utama. Pengalamannya bermain pada film bernuansa serupa yaitu “Tanah Surga… Katanya” (2012), menjadi modal kuat untuk membawakan lakon Dahlan dengan maksimal. Interaksi yang ia jalin dengan tokoh-tokoh lain juga terkesan mengalir alami (meskipun tidak sepenuhnya). Karena itu pula, momen terkuatnya dalam “Sepatu Dahlan” justru bukan pada puncak konflik maupun penghujung cerita, namun tersebar di beberapa bagian. Dengan kemampuan aktingnya, film ini memang pantas ditonton bersama keluarga, terlebih untuk menanamkan nilai-nilai positif kepada anak. Ditambah dengan muatan cerita yang cenderung sederhana dan mudah dicerna; tak jauh-jauh dari sepatu. Kendatipun tetap ada sebagian kelompok penonton yang merasa bahwa muatan dalam film ini terlalu ringan untuk meninggalkan kesan mendalam (baca: hambar).

[]